Kamis, 28 November 2024

DIGITALISASI, INTEGRASI DATA DAN AUTODEBET SOLUSI OPTIMALISASI PAJAK NEGARA

Istilah Reformasi Birokrasi sangat sering terdengar di berbagai pidato dan pemberitaan yang seringkali diucapkan oleh pejabat negara. Reformasi birokrasi adalah perbaikan sistem tata kelola pemerintahan untuk menciptakan birokrasi yang bersih, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, tata kelola pemerintahan yang baik dan menghilangkan korupsi, kolusi, serta nepotisme. Reformasi meliputi beberapa aspek seperti penataan kelembagaan, penyederhanaan prosedur, pembinaan kapasitas sumber daya manusia, pengelolaan anggaran dan pemanfaatan teknologi informasi. Diharapkan birokrasi dapat memberikan pelayanan yang lebih cepat, tepat dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. 

Dari uraian singkat di atas ternyata di lapangan banyak mengalami kendala teknis dan operasional. Yang paling besar hambatannya adalah belum maksimalnya pemanfaatan teknologi digital, data tersekat-sekat secara sektoral dan korupsi yang makin merajalela.


Pemanfaatan teknologi digital pada praktek administrasi pemerintahan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi dan kualitas pelayanan publik. Teknologi digital pada pemerintahan seperti e-government, aplikasi layanan daring dan big data, pemerintah dapat mengelola data secara lebih terintegrasi, mempercepat proses administrasi dan menyediakan akses layanan yang lebih mudah bagi masyarakat. Teknologi digital mendukung pengambilan keputusan berbasis data, mengurangi birokrasi manual dan mencegah praktik korupsi melalui sistem yang lebih akuntabel. Contoh implementasi yang sudah dilakukan yaitu layanan perizinan online, sistem informasi pemerintah daerah/e-budgeting, tender online/e-procurement dan portal pelayanan publik lainnya. Pemanfaatan ini memperkuat tata kelola pemerintahan dan mendukung transformasi menuju pemerintahan digital. Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden nomor 82 tahun 2023 tentang Percepatan Transformasi Digital dan Keterpaduan Layanan Digital Nasional. Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Presiden nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.

 

Pajak adalah urat nadi pendapatan negara. Pada postur APBN Tahun Anggaran 2024 dari total rencana pendapatan negara sebesar Rp2.802,3 trilyun memiliki komposisi rencana pendapatan Pajak sebesar Rp2.309,9 trilyun, rencana pendapatan bukan Pajak sebesar Rp492 trilyun dan rencana pendapatan hibah sebesar Rp0,4 trilyun. Dengan kata lain Pajak memiliki persentase 82,42 % dari rencana total pendapatan negara pada APBN Tahun Anggaran 2024.

 

Untuk memaksimalkan pendapatan negara dari sektor Pajak maka Pemerintah menerbitkan Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan PerPajakan, Undang-Undang nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dari ketiga peraturan ini membagi kategori Pajak yang terdiri dari Pajak Negara dan Pajak Daerah. Selain Pajak ada lagi Retribusi Daerah. 

 

Pajak secara umum dikenakan terhadap penghasilan ataupun harta yang dimiliki oleh warga negara sebagai Wajib Pajak. Retribusi secara umum dikenakan terhadap pelayanan atau perijinan yang diterima oleh warga negara sebagai Wajib Retribusi. Setiap Wajib Pajak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Jenis Pajak yang dikelola pemerintah pusat meliputi : Pajak penghasilan, Pajak pertambahan nilai, Pajak penjualan atas barang mewah, bea materai, Pajak bumi dan bangunan (perkebunan, kehutanan dan pertambangan) dan Pajak karbon. Sedangkan jenis Pajak yang dikelola pemerintah daerah meliputi : Pajak kenderaan bermotor, bea balik nama kenderaan bermotor, Pajak kepemilikan alat berat, Pajak bumi dan bangunan perdesaan/perkotaan, biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan, Pajak bahan pakar kenderaan bermotor, Pajak barang dan jasa tertentu, Pajak rokok, Pajak reklame, Pajak makan minum, Pajak penghasil tenaga listrik, Pajak perhotelan, Pajak parkir, Pajak hiburan, Pajak sarang burung walet, Pajak air permukaan, Pajak mineral bukan logam dan batuan. Sedangkan Retribusi terdiri atas : Retribusi jasa umum (pelayanan kesehatan, pelayanan kebersihan, parkir, pasar dan lalu lintas), Retribusi jasa usaha (penyediaan tempat usaha, penyediaan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi dan hasil hutan, parkir luar badan jalan dan penginapan) dan Retribusi perijinan tertentu (persetujuan bangunan gedung, penggunaan tenaga kerja asing dan pertambangan rakyat).

Dari sisi kelembagaan, Pajak Negara dikelola oleh Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak yang memiliki 34 Kantor Wilayah yang berdomisili di setiap ibukota provinsi, 4 Kantor Pelayanan Pajak Besar, 29 Kantor Pelayanan Pajak Madya, 319 Kantor Pelayanan Pajak Pratama dan 204 Kantor pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dikelola oleh Badan Pendapatan Daerah pada Pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kota.

Dirjen Pajak Kementerian Keuangan telah mengembangkan aplikasi Pajak online. Sampai saat ini sudah ada 5 aplikasi meliputi : aplikasi Pajak online e-registration, aplikasi Pajak online e-bupot unifikasi, aplikasi e-filing/e-form/e-SPT Badan, aplikasi Pajak e-faktur dan aplikasi Pajak online e-billing.

Dari semua uraian di atas bisa dikelompokkan menjadi Objek Pajak, Wajib Pajak dan Nilai Pajak. Ketiganya dihubungkan dengan mekanisme kerja penagihan dan pembayaran.

Objek Pajak terdiri dari harta (bergerak dan tidak bergerak) dan sektor usaha yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Wajib Pajak terdiri dari orang perorangan dan badan usaha. Nilai Pajak berdasarkan perhitungan tertentu yang ditetapkan melalui peraturan yang baku dan tetap.

Pendataan Objek Pajak sampai dengan sekarang ini masih semrawut. Data tanah dan bangunan di Badan Pertanahan Nasional belum tentu sama dengan data di Badan Pendapatan Daerah. Semua instansi pemerintah mengelola data sendiri-sendiri. Akibatnya terjadi ketidakefisienan dan beban biaya tinggi atas proses administrasi. Oleh karena itu kementerian Komunikasi dan Digital harus mulai melakukan penyisiran dan penataan seluruh aplikasi yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta BUMN di mana setiap jenis data yang sama harus mulai diintegrasikan dan ditetapkan siapa pemilik data induk. Konsep Satu Data Indonesia menjadi sebuah big data akan sangat mengefektifkan banyak hal. Aplikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara yang dikelola oleh KPK adalah salah satu aplikasi yang paling terkenal namun justru belum memakai sistem integrasi data sehingga Pejabat Negara bisa saja mengisi data yang tidak benar padahal apabila sistem integrasi data dilaksanakan maka banyak data kekayaan yang diperoleh melalui proses impor data seperti dari Badan Pertanahan Nasional (tanah dan bangunan), Samsat (kenderaan) dan tabungan/deposito pada perbankan. Oleh karena itu penataan dan pendataan Objek Pajak harus dimulai dari integrasi data dan aplikasi seluruh instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan BUMN.      

Data Wajib Pajak terkumpul pada data kependudukan pada Dinas Kependudukan Pemerintah Daerah. Data yang hampir sama dikelola oleh banyak instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan BUMN. Semua data yang hampir sama ini juga harus dilakukan proses integrasi data dan aplikasi menuju Satu Data Nasional. Nomor Induk Kependudukan bisa menjadi dasar dari seluruh data dan aplikasi.

Nilai Pajak akan berhubungan dengan proses kerja penagihan dan pembayaran. Bagaimana kita selama ini menagih Pajak dan Retribusi ? Apakah semua data Objek Pajak sudah dilakukan penagihan kepada Wajib Pajak ? Bagaimana cara penagihannya ? Berapa persen dari Wajib Pajak dan Objek Pajak yang dilakukan penagihan ? Dan berapa persen yang membayar tagihan ?

Kita bisa memulai dari pendataan Objek Pajak tanah, bangunan dan badan usaha. Integrasi data tanah, bangunan dan badan usaha ini memiliki satu keperluan yang sama yaitu listrik. Rekonsiliasi data tagihan listrik dan surat kepemilikan tanah dan bangunan merupakan langkah awal yang baik untuk langkah selanjutnya dalam hal integrasi data dan aplikasi. Nomor unik identitas pelanggan listrik disinkronkan dengan nomor surat kepemilikan tanah dan bangunan dan badan usaha melalui nomor induk kependudukan. Dari irisan data tersebut kita bisa melakukan optimalisasi data tanah, bangunan dan badan usaha. Seluruh Objek Pajak hasil rekonsiliasi ini dilakukan penagihan secara online melalui bantuan dari Operator Seluler dan media sosial. Hampir 90 % penduduk dan wilayah sudah terjangkau oleh jaringan internet dan semua golongan umur sudah memakai ponsel berbasis android yang memiliki fasilitas internet. Sehingga proses tagihan melalui cara konvensional sudah bisa kita tinggalkan dan ini merupakan penghematan besar-besaran karena tidak lagi memerlukan dokumen kertas tagihan dan tidak perlu lagi menggaji karyawan penagihan. Demikian juga metode pembayaran sudah seharusnya bisa dilakukan melalui pembayaran digital. Banyak metode pembayaran digital mulai dari mobile banking maupun mata uang digital. Dalam hitungan menit semua tagihan sudah bisa dibayar apabila ada niatan baik untuk membayar tagihan apapun.

Niatan baik dan kesadaran untuk membayar tagihan Pajak dan Retribusi adalah kendala sosial. Bukan dikarenakan ketidakmampuan membayar semata. Kendala sosial ini bisa diatasi dengan sanksi administrasi maupun sanksi sosial bila perlu dilakukan sanksi finansial. Contohnya pada tagihan listrik, setiap keterlambatan pembayaran tagihan listrik di atas tanggal 20 setiap bulannya dikenakan sanksi denda keterlambataan. Dan apabila tidak membayar selama 3 bulan maka akan dikenakan sanksi pencabutan layanan listrik. Apabila menggunakan meteran listrik prabayar maka apabila saldo pulsa listrik habis maka listrik akan mati dengan sendirinya.

Metode manajemen penagihan, pembayaran dan pengenaan saksi pembayaran tagihan listrik ini bisa diterapkan kepada penagihan, pembayaran dan pengenaan sanksi pembayaran tagihan Pajak dan Retribusi. Penagihan bisa dilakukan melalui aplikasi digital dan media sosial berdasarkan data base Objek Pajak dan Nilai Pajak yang ditetapkan setiap awal tahun. Penagihan secara digital bisa diatur secara berkala apakah akan dilakukan setiap hari, setiap minggu atau setiap bulan. Pembayaran Pajak dan Retribusi bisa dilakukan melalui perbankan ataupun melalui mata uang digital. Terhadap pengenaan sanksi perlu dipikirkan apabila tagihan Pajak dan Retribusi pada akhir tahun yaitu pada bulan Desember setiap tahun belum dilakukan pembayaran tagihan Pajak dan Retribusi maka perlu dilakukan pengkajian secara matang untuk diberlakukannya SANKSI AUTODEBET terhadap tabungan ataupun deposito yang dimiliki oleh Wajib Pajak (orang perorang atau badan usaha) pada perbankan nasional atau swasta. Sanksi Autodebet ini memerlukan regulasi dari Pengadilan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan serta Kementerian Keuangan. Apabila sanksi autodebet ternyata Wajib Pajak merasa keberatan maka bisa melakukan komplain secara tertulis yang disampaikan secara online. Apabila komplain tidak diterima maka selanjutnya bisa dilimpahkan ke PTUN.

Kata kunci dari optimalisasi Pajak Negara adalah : digitalisasi, integrasi data dan sanksi autodebet. Bila ketiga kata kunci ini bisa diterapkan secara bertahap dengan memiliki percepatan yang terukur maka jangankan proyek makan siang gratis, bahkan hutang luar negeri yang sudah mencapai USS 427,8 milyar atau setara dengan Rp6.774,3 trilyun bisa kita lunasi dalam jangka waktu tidak sampai 10 tahun.

Semoga.    

Salam Reformasi.

Kaki Bukit Barisan.

Rahmad Daulay

28 November 2024.

***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar