Desa atau sebutan lain di
berbagai daerah telah hadir jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia
terbentuk. Negara menghormati keberadaan tersebut dan memberikan jaminan
keberlangsungan Pemerintahan Desa dalam kerangka dan koridor Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Di dalam UUD 1945 pasal 18 B ayat (2) disebutkan bahwa
negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
Undang-Undang.
1.
E-VOTING PILKADES
Pelaksanaan pemilihan
Kepala Desa dilaksanakan secara serentak secara bergelombang maksimal 3 kali
dalam periodesasi Kepala Daerah. Pelaksanaan pemilihan Kepala Desa ini cukup menguras
tenaga semua pihak baik Pemerintahan Desa, Pemerintahan Daerah maupun pihak
otoritas keamanan. Secara anggaran juga sangat menguras anggaran APBD
Pemerintah Daerah maupun APBDes Pemerintah Desa. Belum lagi tahapan waktu yang
hampir memakan setengah dari masa pelaksanaan anggaran alias kurang lebih 6
bulan tentu akan sangat mengganggu pelaksanaan pembangunan Desa. Kondisi ini
harus dirubah dalam kerangka berfikir efisiensi baik efisiensi anggaran,
efisiensi waktu, efisiensi pembangunan dan efisiensi pengamanan. Harus
dilakukan digitalisasi pelaksanaan pemilihan Kepala Desa dari metode konvensional
menjadi metode digital alias e-voting. Dari segi teknologi tidak terlalu sulit.
Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri bisa bekerjasama dengan salah
satu perguruan tinggi yang memiliki Fakultas IT untuk mendesain aplikasi
e-voting pemilihan Kepala Desa dan sebagai pilot project diujicobakan pada
salah satu Desa dengan tingkat kesiapan data kependudukan paling lengkap namun
hal ini baru bisa diujicobakan setelah pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak.
Untuk persiapan anggaran aplikasi e-voting pemilihan Kepala Desa sudah bisa
difikirkan mulai dari sekarang. Ilmu dan teknologi harus diterapkan ke
masyarakat, jangan hanya terkungkung di balik tembok dan menara kampus.
2.
UJI KOMPETENSI
Harus diakui
bahwa jabatan Kepala Desa adalah jabatan politis tingkat Desa. Tidak diperlukan
kompetensi akademik yang terlalu tinggi untuk menduduki jabatan Kepala Desa.
Namun di sisi lain, regulasi dan tata kelola Pemerintahan Desa semakin lama
semakin rumit untuk dimengerti oleh kalangan masyarakat berpendidikan rendah. Sehingga
perlu difikirkan untuk meningkatkan kualitas SDM Kepala Desa tanpa harus
membuat kriteria yang diskriminatif terhadap persyaratan menjadi calon Kepala Desa.
Metode Uji Kompetensi bisa menjadi metode alternatif untuk menjaring bakal
calon Kepala Desa terbaik. Uji kompetensi cukup dilaksanakan selama setengah
jam dengan jumlah soal 30 soal bersifat pilihan ganda dan bersifat open book
dengan materi Peraturan Pemerintahan Desa. Uji kompetensi menghasilkan 5 calon
terbaik untuk bertarung di pemilihan Kepala Desa. Uji kompetensi bisa
meminimalisir keampuhan politik uang. Kenapa minat kalangan terdidik masih
rendah untuk menjadi Kepala Desa di Desa masing-masing salah satunya
dikarenakan masih saktinya politik uang dalam memenangkan pemilihan Kepala Desa.
Dengan adanya Uji Kompetensi maka akan memberikan harapan kepada kalangan
terdidik di Desa untuk optimis bisa memenangkan kompetensi pemilihan Kepala Desa.
3.
DIKLAT AWAL JABATAN
Pasca pemilihan
Kepala Desa dan sebelum dilaksanakan pelantikan Kepala Desa selayaknya Kepala Desa
terpilih untuk menjalani pendidikan dan pelatihan awal masa jabatan selama 1
minggu secara terisolasi dengan tujuan agar Kepala Desa terpilih memperoleh
wawasan dan keterampilan tentang kepemimpinan dan manajemen Pemerintahan Desa.
1.
SEKRETARIAT DESA
Sebagai sebuah
Pemerintahan maka sudah seharusnya Pemerintah Desa memiliki staf permanen.
Apabila dipandang PNS masih sulit untuk direalisasikan, paling tidak Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dengan masa ikatan kerja yang sama dengan
periodesasi Kepala Desa bisa direalisasikan. Ketiadaan staf permanen ini sangat
terasa pada Sekretariat Desa yang mengurusi anggaran, aset dan
pertanggungjawaban/audit. Apabila dimungkinkan maka Kepala Daerah harus
membantu Kepala Desa dengan menugaskan PNS di lingkungannya untuk menjadi
Sekretaris Desa sehingga penatausahaan Pemerintahan Desa bisa ditangani dengan
baik dan tidak menjadi bulan-bulanan kelompok masyarakat dengan membuat
pengaduan kepada Aparat Penegak Hukum tentang dugaan penyimpangan keuangan Desa
dan pembangunan Desa.
2.
SELEKTIFITAS PERANGKAT DESA
Dari regulasi
tentang keuangan Desa, pembangunan Desa, aset Desa dan pengawasan Desa sangat
terasa betapa diperlukannya kualitas Perangkat Desa yang dibutuhkan setara
kemampuannya dengan PNS. Oleh karena itu walaupun pengaturan kewajiban seleksi
Perangkat Desa sudah dibuat namun masih bersifat terlalu umum sehingga masih
bisa ditembus oleh godaan penyalahgunaan wewenang oleh Kepala Desa sehingga
walaupun bersifat seleksi terbuka namun kenyataannya baik keluarga maupun
pertemanan masih mendominasi jabatan Perangkat Desa. Regulasi Seleksi Perangkat
Desa harus lebih diatur sedemikian teknis bahkan sampai kepada materi dan cara
ujian kompetensinya harus diatur sedemikian teknis sehingga Kepala Desa maupun
pihak-pihak tertentu tidak bisa mengintervensi seleksi Perangkat Desa dan bisa
menghasilkan Perangkat Desa terbaik untuk mengelola Pemerintahan Desa yang
semakin lama semakin menuntut kompetensi yang semakin tinggi.
3.
PERANGKAT DESA TEKNIS
Jabatan Perangkat
Desa perlu diperbanyak dengan melakukan inventarisasi potensi daerah yang
dimiliki. Apabila Desa tersebut kemiliki potensi besar di bidang pertanian maka
wajib dibentuk jabatan Kepala Seksi Pertanian. Demikian juga potensi Desa
lainnya sehingga memungkinkan dibentuk jabatan Kepala Seksi Peternakan, Kepala
Seksi Kelautan, Kepala Seksi Perikanan, Kepala Seksi Pariwisata dan lain
sebagainya.
4.
PENDAMPING DESA JADI STAF AHLI KEPALA DESA
Posisi
Pendamping Desa sangat strategis dalam membantu Kepala Desa. Namun masih
ditemukan satu orang Pendamping Desa harus menangani beberapa Desa sehingga
tidak memiliki waktu yang penuh dalam mendampingi Kepala Desa. Perlu difikirkan
untuk menambah jumlah Pendamping Desa menjadi satu Pendamping Desa untuk 1 Desa.
Serta dimerger dalam Pemerintahan Desa menjadi Staf Ahli Kepala Desa. Dengan
menjadi Staf Ahli Kepala Desa maka Pendamping Desa tersebut mEnjadi wajib
berkantor di Kantor Desa setiap hari mendampingi Kepala Desa dalam menjalankan
Pemerintahan Desa.
5.
UNIT PENGAWASAN INTERNAL BERSERTIFIKAT
Salah satu
kelemahan dari struktur Pemerintahan Desa adalah tidak adanya Unit Pengawasan
Internal. Hal ini harus menjadi perhatian Kementerian Desa dan Kementerian
Dalam Negeri dikarenakan fungsi pengawasan yang diserahkan kepada Inspektorat
Pemerintah Daerah sangat kurang maksimal dikarenakan terutama jauhnya rentang
kendali antara kantor Inspektorat Pemerintah Daerah dengan kantor Desa sehingga
pengawasan melekat sangat sulit dilaksanakan. Kementerian Desa dan Kementerian
Dalam Negeri perlu membentuk struktur dan staf Internal Audit pada seluruh
Pemerintah Desa dengan melakukan rekrutmen dan pelatihan dengan kriteria yang
ketat bekerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembagunan (BPKP). Untuk menjaga independensinya maka gaji beserta
tunjangan internal audit Desa jangan berasal dari APBDes namun langsung dari
Kementerian Desa.
Periodesasi
Jabatan merupakan hal krusial. Periodesasi jabatan dengan masa 6 tahun masa
jabatan untuk 3 kali periodesasi dirasakan terlalu lama dan sangat memungkinkan
terjadinya pejabat yang otoriter dan diktator. Periodesasi jabatan Kepala Desa
cukup 2 kali periode dan serentak dengan pengangkatan dan pemberhentian Badan
Permusyawaratan Desa dan Perangkat Desa. Kelemahan pada regulasi tentang
Perangkat Desa membuat semua Perangkat Desa merasa tidak bisa digantikan
walaupun Kepala Desa telah berganti. Periodesasi serentak pengangkatan dan
pemberhentian Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa dan Perangkat Desa hanya
2 kali periode sangat diperlukan agar proses regenerasi dan kaderisasi di
Pemerintahan Desa berjalan dengan baik.
Pemerintahan Desa
sudah memiliki fungsi dan struktur eksekutif dan legislatif. Namun fungsi
judikatif belum ada secara struktur dan masih dijalankan oleh Kejaksaan Negeri
dan Kepolisian Resort tingkat kabupaten. Kepolisian sudah memiliki struktur
Kepolisian Sektor di tingkat kecamatan namun secara fungsi belum ada kewenangan
judikatif. Demikian juga Kejaksaan Negeri sudah memiliki struktur Cabang Kejaksaan
Negeri yang membawahi beberapa kecamatan namun dirasa masih kurang untuk
menjalankan fungsi judikatif sehingga perlu difikirkan untuk memperbanyak
struktur Kacabjari di daerah. Di samping fungsi judikatif juga untuk
menjalankan fungsi pencegahan dan pendampingan.
Tidak adanya struktur judikatif yang bersentuhan langsung dengan
Pemerintahan Desa membuat Pemerintah Desa terlalu bebas dan menganggap diri
mereka kebal hukum.
Rendahnya gaji
dan tunjangan Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa dan Perangkat Desa
menjadi faktor utama tingginya keinginan untuk melakukan penyalahgunaan
anggaran Desa. Oleh karena itu perlu difikirkan untuk melakukan penyetaraan
gaji dan tunjangan Pemerintahan Desa menjadi setara dengan jabatan setingkat
Eselon IV. Kepala Desa dan Ketua BPD disetarakan dengan gaji/tunjangan Eselon
IV/A sedangkan Perangkat Desa dan Anggota BPD disetarakan dengan gaji/tunjangan
Eselon IV/B. sumber penggajian tentunya harus ditanggung oleh Pemerintah Pusat
dalam berbentuk Dana Perbantuan dari Kementerian Desa sehingga tidak membebani
APBD Pemerintah Daerah karena Pemerintah Daerah juga memiliki banyak kebutuhan
anggaran untuk pembagunan daerah.
***