(Materi yang sama dimuat pada website www.birokratmenulis.org pada link https://birokratmenulis.org/alternatif-penyelesaian-defisit-bpjs-kesehatan/)
Jaminan
kesehatan nasional adalah jaminan yang diberikan oleh negara berupa
perlindungan kesehatan kepada rakyat untuk memperoleh manfaat kesehatan dan
perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada
seluruh rakyat.
Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merupakan badan hukum publik yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan memiliki tugas untuk
menyelenggarakan jaminan kesehatan nasional bagi seluruh rakyat baik rakyat
penerima gaji/upah, usaha sendiri/wiraswasta maupun yang sedang dalam keadaan
tidak bekerja akibat menganggur ataupun faktor usia atau gangguan kesehatan.
BPJS Kesehatan
bersama dengan BPJS Ketenagakerjaan merupakan program pemerintah dalam kesatuan
Jaminan Kesehatan Nasional yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Kewenangan BPJS Kesehatan meliputi seluruh
wilayah Republik Indonesia dan dapat mewakili Indonesia atas nama negara dalam
hubungan dengan badan internasional. BPJS Kesehatan sebelumnya dikenal dengan
nama Askes (Asuransi Kesehatan).
Jaminan
pemeliharaan kesehatan sudah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda. Sejak
zaman kemerdekaan, program asuransi kesehatan kembali dilanjutkan. Awalnya
diterapkan kepada para PNS dan anggota keluarganya. Pada tahun 1968 pemerintah
membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) kepada PNS,
pensiunan dan keluarganya. Pada tahun 1984 pemerintah membentuk Perum Husada
bakti (PHB) untuk melayani jaminan kesehatan bagi PNS, pensiunan, veteran,
perintis kemerdekaan dan keluarganya. Pada tahun 1992 pemerintah membentuk PT
Askes yang mulai menjangkau karyawan BUMN dan pada tahun 2005 melaksanakan
jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin yang kemudian dikenal dengan nama
Askeskin di mana pemerintah menanggung semua iuran untuk masyarakat miskin. PT
Askes juga mengelola Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah). Dan pada tahun 2014
pemerintah membentuk BPJS.
Pada beberapa
pemberitaan diperoleh informasi bahwa BPJS Kesehatan mengalami defisit setiap
tahun. pada tahun 2017 mengalami defisit 9,7 tirlyun. Pada tahun 2018 mengalami
defisit 9,1 trilyun. Pada tahun 2019 defisit melebihi 20 trilyun. Beragam
pendapat yang muncul atas terjadinya defisit BPJS Kesehatan tersebut. Mulai
dari kendala iuran di mana peserta banyak yang tidak disiplin membayar iuran
hingga pada tingginya biaya perobatan pasien. Belum lagi banyaknya isyu miring
tentang penyimpangan pengelolaan anggaran. Telah banyak upaya yang dilakukan
namun defisit BPJS Kesehatan belum bisa teratasi sampai saat ini. Ide tentang
menaikkan iuran masih menjadi satu-satunya solusi walau ide ini sangat tidak
populer di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang belum memungkinkan.
Saya sendiri
memandang bahwa defisit ini bisa diselesaikan dengan tiga cara yaitu :
1.
Reformasi tata
kelola anggaran
2.
Meningkatkan kepesertaan
dan pemasukan iuran
3.
Penegakan hukum
Reformasi tata
kelola anggaran mutlak dilakukan. Salah satu yang perlu dilakukan perubahan
besar-besaran adalah terkait keberadaan Sistem Kapitasi. Dana kapitasi adalah
besaran pembayaran perbulan yang dibayar di muka kepada fasilitas kesehatan
tingkat pertama berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan
jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Dengan kata lain sakit
atau tidak sakit, iuran peserta dipakai setiap bulannya untuk membiayai sistem
kapitasi. Dana kapitasi dimanfaatkan seluruhnya untuk pembayaran jasa pelayanan
kesehatan dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan. Untuk jasa
pelayanan kesehatan (jasa paramedis dan nonmedis) minimal 60 % dari dana
kapitasi, sisanya untuk biaya operasional (obat, alat kesehatan, bahan habis
pakai, operasional ambulans, ATK, peningkatan SDM, pemeliharaan sarana
prasarana, belanja modal dan lainnya). Variabel perhitungan pembagian dana
kapitasi memiliki formula tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Sistem kapitasi
ini harus dihapus. Penyebab pertama adalah adanya anggaran ganda pada dukungan
biaya operasional kesehatan yang mencakup maksimal 40 % dari dana kapitasi. Semua
kebutuhan operasional pelayanan kesehatan sudah ada dari sumber Dana Alokasi
Khusus APBN, dari APBD dan dari dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) APBN. Ketiga
sumber dana tersebut sudah lebih dari cukup untuk membiayai semua kebutuhan operasional
pelayanan kesehatan di seluruh instansi pelayanan kesehatan (puskesmas, rumah
sakit, klinik dan lainnya). Penyebab kedua adalah iuran peserta yang tidak
sakit juga terkuras setiap bulan untuk membiayai sistem kapitasi ini. Saya
memperkirakan kedua sebab ini yang menyebabkan terjadinya beban pengeluaran
yang tinggi dari anggaran BPJS Kesehatan.
Sistem kapitasi
ini diganti saja dengan sistem klaim perobatan. Iuran peserta disimpan semua
dalam kas BPJS Kesehatan. Apabila ada peserta yang sakit dan mendapatkan
pelayanan kesehatan maka semua biaya perobatan akan diklaim dan dibayar pada
bulan berikutnya. Klaim yang harus dibayar meliputi semua komponen perobatan mulai
dari tarif paramedis dan nonmedis yang terkait langsung dengan perobatan, biaya
obat, biaya bahan habis pakai, biaya peralatan yang dipakai dan biaya
administrasi. Menteri Kesehatan harus menyusun ulang besaran tarif medis dan
nonmedis sampai ke tingkatan yang layak sesuai standar biaya hidup yang berbeda
di setiap daerah, harga obat, harga bahan habis pakai, tarif pemakaian alat dan
biaya administrasi. Harus juga dilakukan penyesuaian setiap tahunnya. Sebisa
mungkin dilakukan secara online dan pembayaran nontunai untuk menghilangkan
peluang korupsi. Sistem ini jauh lebih sederhana dan jauh lebih masuk akal
karena tidak ada dana yang terbuang karena anggaran akan terpakai hanya ketika
peserta memakai layanan kesehatan saja. Semua regulasi yang mengatur tentang
sistem kapitasi harus dicabut dan diganti dengan sistem klaim. Memang dibutuhkan
pengkajian yang lebih mendalam untuk menerapkan sistem klaim ini namun sebagai
sebuah alternatif perlu dilakukan ujicoba pada beberapa puskesmas sebagai
sampel pada tenggang waktu tertentu dilakukan perbandingan sehingga diperoleh
data lebih efisien yang mana antara sistem kapitasi atau sistem klaim.
Di sisi lain
perlu dimaksimalkan jumlah kepesertaan dan pemasukan iuran. Setiap warga negara
wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan namun ternyata masih banyak warga negara
Indonesia yang belum terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Perlu upaya kreatif
untuk meningkatkan kepesertaan ini. Di antaranya adalah dengan memanfaatkan
struktur terendah seperti bidan desa, posyandu, poliklinik desa, puskesmas,
klinik dan RSUD dengan mendaftarkan semua pasien yang berobat menjadi peserta
BPJS Kesehatan. Juga memanfaatkan struktur kewilayahan terendah seperti Kepala
Lingkungan, RT/RW, Kepala Dusun, Kepala Desa untuk mewajibkan warganya mendaftar
sebagai peserta BPJS Kesehatan. Biasanya masyarakat yang tidak mampu enggan
mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Di sini diperlukan sosialisasi yang
maksimal bahwa tidak semua peserta BPJS Kesehatan harus membayar iuran.
Sebagian di antaranya justru dibayar oleh negara iurannya, yang dikenal sebagai
peserta PBI (penerima bantuan iuran). PBI ini belum tersosialisasi dengan baik oleh
masyarakat kita.
Warga negara
asing yang sudah bekerja di Indonesia minimal selama 6 bulan juga wajib menjadi
peserta BPJS Kesehatan. Namun pada umumnya warga negara asing lebih menyukai
untuk mengikuti asuransi kesehatan swasta karena imagenya lebih bagus
pelayanannya.
Setiap
perusahaan wajib mendaftarkan semua karyawannya menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Apakah semua perusahaan baik usaha kecil maupun usaha menengah dan usaha besar
sudah mendaftarkan karyawannya menjadi peserta BPJS Kesehatan ? Di sini
diperlukan kerjasama semua pihak terkait untuk memastikan semua perusahaan
wajib mendaftarkan semua karyawannya sebagai peserta BPJS Kesehatan. Pengawas
Ketenagakerjaan dari Kementerian Tenaga Kerja harus mengambil peranan besar
bekerjasama dengan Kementerian Keuangan dalam bentuk sangsi pajak baru di mana
perusahaan yang belum mendaftarkan semua karyawannya sebagai peserta BPJS
Kesehatan dikenakan sangsi penambahan pajak dengan besaran tertentu sehingga
dengan adanya ancaman sangsi ini maka semua perusahaan akan taat pada kepesertaan
BPJS Kesehatan.
Metode
pembayaran iuran BPJS Kesehatan harus dikembangkan dengan pendekatan teknologi
informasi. Terhadap peserta penerima upah dilakukan sistem pembayaran online
langsung dari perusahaan memotong gaji karyawannya dan membayarkan secara masal
iuran BPJS Kesehatan semua karyawannya ke rekening BPJS Kesehatan melalui
perbankan secara online. Terhadap peserta yang merupakan bukan penerima upah
yang merupakan wiraswasta dilakukan metode pembayaran autodebet. Perbankan
harus mengembangkan pengelolaan data rekening peserta BPJS Kesehatan yang mana
apabila peserta memiliki lebih dari satu nomor rekening maka perbankan bisa
melakukan autodebet iuran BPJS Kesehatan ke salah satu rekening milik peserta
BPJS Kesehatan tersebut. Konsolidasi data antar bank sangat dibutuhkan
mengingat nasabah biasanya memiliki rekening di lebih dari satu bank. Sistem
BPJS Kesehatan dan sistem perbankan harus dikembangkan untuk bisa melakukan
autodebet pada rekening yang memiliki saldo tertinggi di antara beberapa nomor
rekening antar bank tersebut. Terhadap peserta yang saldo rekeningnya masih
kurang dari besaran iurannya diberikan status pending dan baru akan autodebet
ketika saldo rekeningnya sudah mencukupi. Sedangkan pembayaran iuran PBI untuk
masyarakat tidak mampu dilakukan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah
secara autodebet juga dari kas negara/daerah ke rekening permbayaran BPJS
Kesehatan.
Adanya 2 BPJS
yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan merupakan pemborosan tersendiri.
Yang pasti terjadi pemborosan kantor, pegawai, operasional di wilayah kerja
yang sama sampai ke tingkat tertinggi. Lebih baik untuk efisiensi maka kedua
BPJS ini dimerger saja karena objek kepesertaannya sama saja. Merger dalam hal
ini termasuk merger layanan.
Upaya terakhir
adalah penegakan hukum. Terhadap pihak-pihak yang secara sengaja melakukan
penyimpangan pengelolaan anggaran yang menyebabkan terjadinya defisit anggaran
diberikan sangsi hukum yang seberat-beratnya. Penegakan hukum ini penting
mengingat defisit BPJS ini bukan hanya dipergunakan untuk kepentingan pribadi
saja namun sudah mengarah ke upaya memperkaya diri secara tidak wajar di atas
pendertaan rakyat.
Ide besar BPJS
Kesehatan untuk memberi perlindungan kesehatan kepada seluruh rakyat harus
didukung dengan kreatifitas dan inovasi tanpa henti dengan pemanfaatan
teknologi. Bukan tidak mungkin kondisi defisit bisa berubah menjadi surplus dan
bahkan bisa investasi ke berbagai bidang kesehatan. Selain perbaikan sistem dan
SDM maka penegakan hukum harus bisa membersihkan organisasi BPJS Kesehatan dari
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Masih banyak anak negeri yang sanggup
menjalankan roda organisasi BPJS Kesehatan menuju cita-cita mulianya.
Rakyat sehat
negara kuat.
Salam
reformasi.
Rahmad Daulay
8 februari
2020.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar