Baru-baru ini pemerintah daerah
dikagetkan dengan rencana penyisiran anggaran APBD oleh Kemendagri pasca
pengangkatan bapak Tito Karnavian menjadi Menteri Dalam Negeri. Kekagetan ini
terutama dikarenakan keadaan saat ini berada pada penghujung pelaksanaan
anggaran APBD tahun 2019 sekaligus persiapan final APBD tahun anggaran 2020.
Rencana penyisiran anggaran APBD
ini ditanggapi pro kontra. Saya pribadi memandang secara positif. Tidak bisa
kita pungkiri bahwa struktur APBD masih jauh dari postur yang ditentukan pada
Pedoman Penyusunan APBD yang regulasinya ditetapkan setiap tahun oleh
Kemendagri. Kesesuaian ini belum pernah diperiksa konsistensinya. Belum lagi
tingginya belanja tidak langsung, belanja pegawai dan belanja barang/jasa sedangkan
belanja modal rata-rata di bawah 50 %. Belanja barang/jasa di sini pengertiannya
adalah belanja barang yang umur penggunaannya di bawah 12 bulan. Belanja
pegawai dan belanja barang/jasa ini merupakan alokasi yang bisa dimainkan untuk
pembiayaan nonbudgeter. Sedangkan pada belanja modal sebagian di antaranya
tidak tepat sasaran dan tidak berdaya guna.
Namun saya melihat bahwa
penyisiran anggaran ini adalah sebuah upaya kuratif atau upaya perbaikan di
hilir, bukan di hulu. Saya memandang walaupun upaya penyisiran anggaran ini
tetap penting namun tidak cukup hanya dengan penyisiran anggaran saja. Perlu
upaya-upaya penting lainnya yang berada di hulu. Di antaranya adalah standarisasi
sistem e-government, penyempurnaan sistem pelaksanaan anggaran, penyempurnaan
sistem seleksi terbuka jabatan dan depolitisasi birokrasi. Kesemuanya terkait
langsung dengan siklus dan ekosistem anggaran.
Anggaran diproses pada aplikasi
e-government. Menyisir anggaran berarti harus juga menyisir aplikasi
e-government. Sistem e-government dimulai dari e-planning, e-budgeting,
e-procurement, e-delivery, e-asset dan e-audit. Hampir semua instansi
pemerintah daerah membangun sistem e-government secara sendiri-sendiri dan
memiliki variasi bentuk dan sistem yang berbeda satu sama lain. Hanya
e-procurement yang terstandarisasi secara nasional yang dikembangkan oleh
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dengan beberapa
sistem aplikasi mulai dari sistem LPSE, sistem RUP, sistem e-katalog dan sistem
lainnya. Semua pemerintah daerah tinggal memakai aplikasi e-procurement. LKPP
dengan mudahnya memantau semua pergerakan aplikasi e-procurement dan siap
memberikan layanan bantuan ataupun konsultasi terhadap permasalahan yang
menyertainya. Sedangkan aplikasi e-government lainnya sangat lokalistik dan
tidak terintegrasi satu sama lain antar pemerintah daerah sehingga pihak
Kemendagri pun kesulitan untuk memantau pergerakan APBD pada e-government.
Untuk efektifitas dan efisiensi maka sebaiknya Kemendagri membangun sebuah
sistem e-government yang terpadu dan terkoneksi satu sama lain dan terstandar
secara nasional sehingga Kemendagri bisa memantau secara online semua pergerakan
APBD termasuk melakukan penyisiran anggaran secara online.