Pengadaan
barang/jasa pemerintah dimulai dari proses perencanaan pengadaan, penyusunan
anggaran, pelaksanaan tender, pelaksanaan kontrak, serah terima pekerjaan dan
masa pemeliharaan. Dalam perjalanannya pengadaan pengadaan barang/jasa penuh
dengan dinamika permasalahan hukum. Dinamika ini bisa diakibatkan oleh
kekalahan dalam proses tender, kualitas proyek yang kurang baik, serah terima
pekerjaan sebelum waktunya, kerusakan bangunan pada masa pemeliharaan dan kerusakan
pada masa pertanggungan kegagalan bangunan. Banyak faktor yang mempengaruhi
terjadinya permasalahan hukum dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Mulai
dari faktor kualitas SDM, kriminalisasi pengadaan, adanya target pemberantasan
tindak pidana korupsi dan persaingan usaha tidak sehat. Namun semua itu tetap
membutuhkan penanganan serius mengingat sampai saat ini sebagian besar ASN
sangat menjauhi penugasan di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah. Di samping
menghindari permasalahan hukum yang akan terjadi, juga ketika terjadi permasalahan
hukum tidak ada pembelaan yang serius dari pimpinan instansi tempatnya bekerja.
Apalagi permasalahan hukum tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk
itu maka diperlukan solusi sistemik dan terstruktur agar di satu sisi proses
pengadaan barang/jasa pemerintah berjalan dengan baik, di sisi lain
permasalahan hukum akibat proses pengadaan barang/jasa pemerintah juga bisa
ditangani dengan baik.
Apapun bentuk pembangunan
yang akan dilaksanakan, baik itu pembangunan di bidang infrastruktur,
pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, peternakan, kelautan, perikanan
dan lain sebagainya selalu diawali dengan tender pengadaan barang/jasa
pemerintah. Selanjutnya dilakukan proses pelaksanaan kontrak, serah terima
pekerjaan, masa pemeliharaan maupun masa garansi. Bentuk layanan masyarakat
yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah juga membutuhkan pengadaan barang
yang merupakan bagian penting dalam pelaksanaan layanan.
Proses pelaksanaan
pengadaan barang/jasa pemerintah dilaksanakan oleh Pengguna Anggaran (PA),
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Unit Kerja
Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ), Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja Pem), Panitia
Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PPHP), Peyedia Barang/Jasa dan unsur penunjang
seperti Panitia Peneliti Pelaksanaan Kontrak, Direksi Teknis, Direksi Lapangan
dan staf pendukung.
Rangkaian pelaksanaan
pengadaan barang/jasa pemerintah dimulai dari proses perencanaan anggaran di Tim
Anggaran Pemerintah, di bawa ke DPR/DPRD, penetapan APBN/APBD, pengumuman
rencana umum pengadaan, penetapan spesifikasi teknis/barang dan harga perkiraan
sendiri (HPS), proses tender, penandatanganan kontrak dan pelaksanaannya,
proses serah terima kegiatan/ hasil pekerjaan dan masa pemeliharaan/masa
garansi.
Pelaksanaan pengadaan
barang/jasa pemerintah masih menjadi primadona dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi. Pengadaan barang/jasa pemerintah memang memiliki banyak
kerawanan penyimpangan, mulai dari penyimpangan prosedur, penyimpangan anggaran
dan penyimpangan kualitas produk. Semua penyimpangan ini bisa terjadi secara
sengaja ataupun tidak disengaja. Semua penyimpangan ini berawal dari
ketidakpuasan atas kekalahan pada proses tender. Fasilitas sanggahan dan
pengaduan memang disediakan setelah penetapan pemenang tender. Mengingat proses
tender masih bersifat administrasi maka pengaduan belum bisa ditindaklanjuti. Sehingga
masih menunggu apakah akan terjadi permasalahan di pelaksanaan kontrak.
Kualitas produk masih menjadi permasalahan utama di pelaksanaan kontrak. Apabila
terjadi penyimpangan kualitas pada pelaksanaan kontrak maka pengaduan pada
pelaksanaan tender sudah bisa ditindaklanjuti dengan pemeriksaan oleh aparat
penegak hukum (APH). Di samping masalah kualitas produk, sering juga terjadi
penyimpangan anggaran berupa penggelembungan harga. Juga bisa terjadi
penggelembungan volume.
Sebagai akibat dari potensi
permasalahan hukum yang sangat luas jangkauannya pada proses pengadaan
barang/jasa pemerintah tersebut maka sebagian besar ASN sangat menjauhi penugasan
di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah. Bukan hanya terjadi di tingkatan
staf tapi juga terjadi pada tingkatan pejabat struktural. PA ataupun KPA akan
berupaya mendelegasikan penandatanganan Kontrak kepada PPK. Sedangkan PPK akan
berusaha juga agar penandatanganan Kontrak dilakukan oleh PA atau KPA. Sehingga
sering terjadi anggaran tidak terserap sebagaimana mestinya baik itu mengalami
keterlambatan maupun tidak terlaksana sama sekali.
Tentunya apabila
penyerapan anggaran terganggu maka proses pembangunan nasional juga akan
terganggu. Untuk itu maka Mendagri dan Kapolri dan Jaksa Agung membuat Memorndum of Understanding (MOU) tentang
Koordinasi Aparat Pengawas Internal Dengan Aparat Penegak Hukum Terkait
Penanganan Laporan Atau Pengaduan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah yang ditindaklanjuti di tingkat Inspektorat Jenderal Kemendagri, Jampidsus
Kejagung dan Kabareskrim Mabes Polri dan seterusnya ditindaklanjuti di tingkat
Gubernur dengan Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kepolisian Daerah dan
selanjutnya ditindaklanjuti di tingkat Bupati/Walikota dengan Kepala Kejaksaan
Negeri dan Kepala Kepolisian Resort. Hanya saja masih sering terjadi pengabaian
MOU tersebut. Namun dengan atau tanpa MOU tetap
saja proses pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi momok yang menakutkan bagi
ASN.
Dengan uraian di atas
disimpulkan bahwa proses pengadaan barang/jasa pemerintah masih diikuti oleh permasalahan
hukum yang menyertainya. Masalah ini dicoba diatasi dengan masuknya pasal
pendampingan permasalahan hukum di Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pasal 84 yang mewajibkan instansi
pemerintah wajib memberikan pelayanan hukum kepada Praktisi Pengadaan dalam
menghadapi permasalahan hukum terkait pengadaan barang/jasa pemerintah. Namun
pelayanan hukum tersebut baru diberikan sejak penyelidikan sampai tahap putusan
pengadilan. Pasal ini masih banyak diabaikan oleh instansi pemerintah mengingat
instansi yang melaksanakan pengadaan barang/jasa pemerintah berbeda dengan
instansi yang melaksanakan pelayanan hukum. Belum lagi kurangnya pemahaman
tentang pengadaan barang/jasa pemerintah oleh pengacara yang disediakan oleh
instansi pemerintah tersebut.
Dalam banyak hal sering
terjadi tidak adanya pelayanan hukum yang diberikan oleh instansi pemerintah
kepada Praktisi Pengadaan yang terkena permasalahan hukum. Sehingga Praktisi
Pengadaan harus mengurus sendiri permasalahannya. Tentu ini membutuhkan
pembiayaan yang tidak sedikit. Mulai dari biaya pengacara, biaya operasional
dan transportasi ke pengadilan tindak pidana korupsi, biaya menghadirkan
saksi-saksi dan saksi ahli. Kesemuanya itu tentu sangat
memberatkan bagi Praktisi Pengadaan. Padahal ketika Praktisi Pengadaan
melaksanakan tugasnya di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah belum tentu
mendapat honorarium dan imbalan yang memadai. Dengan keterbatasan biaya yang
dimiliki tentu tidak bisa membayar pengacara yang memadai dalam menghadapi
permasalahan hukum yang menimpanya.
Untuk itu maka perlu
dilakukan pembiayaan sistemik menyeluruh secara nasional terhadap permasalahan
hukum yang menimpa para Praktisi Pengadaan. Pembiayaan sistemik menyeluruh ini
dalam berbentuk Asuransi Pengadaan dan ditanggung oleh negara dalam komponen
biaya Kontrak. Alokasi biaya Asuransi Pengadaan bisa masuk dalam komponen overhead. Biasanya komponen
keuntungan dan overhead
diberikan sebanyak 15 % dari total keseluruhan nilai Kontrak. Asurasi Pengadaan
ini bisa dibentuk oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
bekerjasama dengan organisasi ahli pengadaan atau bisa juga digabungkan dalam
Badan Pengelola Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagai bentuk layanan baru. Bisa
juga oleh asuransi swasta. Asuransi Pengadaan ini dibayarkan sekali dalam masa
Kontrak dan diberlakukan layanan seumur hidup. Besaran premi Asuransi Pengadaan
bisa disepakati antara 1-3 % bergantung dari besaran anggaran Kontrak. Layanan
yang diberikan berupa semua biaya yang dibutuhkan ketika menghadapi
permasalahan hukum pengadaan barang/jasa pemerintah mulai dari biaya
transportasi, penginapan, konsumsi, baik kepada Praktisi Pengadaan maupun
kepada para saksi, honorarium pengacara, saksi-saksi, saksi ahli dan lain
sebagainya. Pengacara yang dipakai adalah pengacara tingkat nasional. Saksi
ahli yang dihadirkan adalah saksi ahli yang berkualitas nasional baik saksi
ahli teknis pengadaan maupun saksi ahli hukum pengadaan dari pakar hukum
pidana, perdata dan tata usaha negara. Dengan demikian maka apabila terjadi
permasalahan hukum terhadap Praktisi Pengadaan kapanpun itu terjadi, apakah
ketika masih aktif sebagai ASN maupun ketika sudah pensiun maka semua biaya
yang terjadi dalam penanganan permasalahan hukum tersebut menjadi tanggungan
Asuransi Pengadaan.
Negara harus bisa menjamin
ketersediaan layanan penanganan permasalahan hukum secara sistemik yang terjadi
pada para Praktisi Pengadaan. Bila negara tidak menjamin keselamatan hukum dari
para Praktisi Pengadaan maka akan terjadi krisis ketersediaan Praktisi
Pengadaan di tingkatan staf ataupun pejabat pada ASN. Bila ini terjadi maka
penyerapan anggaran akan terlambat atau tidak terserap sama sekali. Ini akan
berakibat pada terganggunya proses pembangunan nasional. Asuransi Pengadaan
adalah salah satu terobosan yang akan merubah wajah penanganan hukum di bidang
pengadaan barang/jasa pemerintah. Asuransi Pengadaan bukan hanya sekedar
solusipembiayaan semata tapi sudah menjadi solusi pembangunan nasional.
Semoga !!!
Salam reformasi
4 Oktober 2019.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar