Pengalokasian anggaran konstruksi di pemerintahan daerah dilakukan
secara bertahap dan terpisah untuk semua tahapan. Pengalokasian anggaran
perencanaan konstruksi, pelaksanaan konstruksi, pengawasan konstruksi dan pengelolaan
kegiatan dilakukan secara terpisah dan sendiri-sendiri. Diakibatkan oleh
lemahnya penguasaan peraturan dan regulasi, kurangnya integritas dan kapasitas sumber
daya manusia, adanya motif tertentu serta hal nonteknis lainnya menyebabkan
pelaksanaan anggaran tidak memenuhi ketentuan regulasi dan peraturan. Proses
penganggaran tidak memenuhi komposisi seperti yang diamanahkan oleh peraturan
yang ada. Bahkan sering terjadi kelalaian atau kesengajaan di mana anggaran
perencanaan konstruksi dan/atau anggaran pengawasan konstruksi tidak
dianggarkan. Kalaupun dianggarkan pelaksanaannya tidak memenuhi ketentuan peraturan.
Hal ini mengakibatkan terabaikannya faktor pertanggungjawaban kegagalan
bangunan. Demikian juga anggaran pengelolaan kegiatan sering terjadi distorsi
penggunaan di mana anggaran dipakai bukan untuk peruntukannya. Sehingga semua
permasalahan tersebut bermuara pada kurangnya kualitas produk konstruksi yang
tidak jarang berujung pada permasalahan hukum akibat pengaduan masyarakat ke Aparat
Penegak Hukum (APH). Oleh karena itu perlu dirumuskan solusi terbaik dan
sistemik sehingga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) mendapat jaminan ketersediaan
anggaran lengkap, penggunaan anggaran secara tepat waktu dan tepat guna serta tidak
terancam permasalahan hukum di kemudian hari.
Sektor jasa
konstruksi merupakan kegiatan untuk mewujudkan bangunan dalam berbagai
bentuknya yang berfungsi sebagai pendukung aktifitas sosial ekonomi dan
kemasyarakatan. Aktifitas sosial ekonomi berbentuk perpindahan barang dan jasa
antar daerah. Sedangkan aktifitas kemasyarakatan berbentuk perpindahan orang
antar daerah, sarana meningkatkan kualitas kesehatan, pendidikan dan sarana
sosial. Juga berperan untuk mendukung tumbuh kembangnya berbagai industri
barang dan jasa dalam mendukung pertumbuhan perekonomian nasional. Industri
barang dan jasa dimulai dari produksi bahan mentah, bahan baku dan bahan jadi
yang tentunya harus dipasarkan ke daerah lain bahkan ke negara lain.
Penyelenggaraan
jasa konstruksi dilaksanakan dengan salah satu landasan yaitu profesionalisme.
Profesionalisme akan mewujudkan hasil pembangunan yang berkualitas, adanya
tertib penyelenggaraan, meningkatkan kepatuhan pada peraturan
perundang-undangan dan terjaminnya keselamatan publik dalam pemanfaatan hasil
pembangunan. Profesionalisme juga menandakan adanya sikap untuk bertidak sesuai
dengan profesi dan menjauhi tindakan yang tidak berhubungan dengan profesi
seperti hubungan politis dan kepentingan ekonomi pihak tertentu.
Penyelenggaraan
jasa konstruksi mutlak membutuhkan penguatan sumber daya manusia baik di pihak
badan usaha maupun di pihak instansi pemerintah. Penguatan sumber daya manusia
ini di samping membutuhkan dukungan anggaran juga membutuhkan dukungan
regulasi. Kapasitas sumber daya manusia akan menentukan kualitas produk
pembangunan yang juga tidak lepas dari kepatuhan terhadap regulasi yang memuat
aturan administrasi dan teknis. Ketidakpatuhan terhadap regulasi akan berujung
pada penurunan kualitas produk jasa konstruksi. Sebagian besar penyimpangan
jasa konstruksi diakibatkan oleh lemahnya kualitas sumber daya manusia.
Pelaksanaan
jasa konstruksi dimulai dari proses penyusunan anggaran. Anggaran konstruksi di
pemerintahan daerah dilakukan secara bertahap dan terpisah untuk semua tahapan.
Pada umumnya konstruksi yang dibangun oleh pemerintah daerah adalah bangunan
sederhana. Hanya sebagian kecil yang termasuk bangunan tidak sederhana seperti
gedung rumah sakit, puskesmas dan gedung olah raga. Bangunan sederhana seperti
jalan, jembatan, drainase, gedung kantor, sanitasi, dan lainnya hanya
memerlukan perencanaan teknis, tidak memerlukan studi kelayakan. Pengalokasian
anggaran diawali dengan alokasi anggaran perencanaan konstruksi. Kemudian
diikuti dengan anggaran pelaksanaan konstruksi, anggaran pengawasan konstruksi
dan anggaran pengelolaan kegiatan yang dilakukan secara terpisah dan
sendiri-sendiri. Dalam penentuan besaran anggarannya seharusnya dilakukan
melalui proses diskusi dan perdebatan baik di tingkat Tim Anggaran Pemerintah
Daerah (TAPD) maupun di tingkat Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Namun yang sering terjadi adalah penentuan besaran anggaran dilakukan
sepenuhnya oleh instansi teknis dengan pertimbangan-pertimbangan yang belum
tentu merujuk pada regulasi dan peraturan yang ada sehingga sering terjadi proses
penganggaran tidak memenuhi komposisi seperti yang diamanahkan oleh Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 22/PRT/M/2018 tentang
Pembangunan Bangunan Gedung Negara.
Sering terjadi
kelalaian atau kesengajaan di mana anggaran perencanaan konstruksi dan/atau
anggaran pengawasan konstruksi tidak dialokasikan anggarannya sehingga
konsultan perencanaan konstruksi tidak melakukan perencanaan konstruksi dan
konsultan pengawasan konstruksi tidak melakukan pengawasan konstruksi. Hal ini
membuat penyedia jasa konstruksi menjadi lebih bebas dalam melaksanakan
penyimpangan di lapangan dikarenakan kurang maksimalnya perencanaan maupun
pengawasan. Ketiadaan anggaran perencanaan membuat pelaksanaan perencanaan
hanya dilaksanakan oleh staf dinas teknis, bukan oleh konsultan perencanaan
teknis. Selain kurangnya kemampuan staf dinas teknis dalam melaksanakan
perencanaan teknis juga sangat dipengaruhi oleh profesionalisme staf dinas
teknis yang tentunya kalah jauh dengan konsultan perencanaan konstruksi. Belum
lagi minimnya dukungan dana serta waktu yang tergesa-gesa menyebabkan proses
perencanaan teknis menjadi semakin rendah kualitasnya. Ketiadaan anggaran
konsultan pengawasan konstruksi menyebabkan pengawasan konstruksi harus
dilakukan oleh staf dinas teknis. Sementara itu staf dinas teknis memiliki
banyak keterbatasan mulai dari keterbatasan waktu, kapasitas, jarak, dukungan
dana dan adanya kesibukan lain membuat penyedia jasa konstruksi menjadi tidak
terawasi dengan baik. Ini akan berakibat penyedia jasa konstruksi merasa bebas
untuk berbuat tidak baik seperti dengan mengurangi kualitas dengan tujuan untuk
menambah banyak keuntungan yng diperoleh. Apalagi bila penyedia jasa konstruksi
ternyata melakukan pinjam meminjam perusahaan sehingga menambah parah
penyimpangan di lapangan dikarenakan perusahaan yang dipakai bukan perusahaan
miliknya sehingga kalaupun nantinya ada masalah yang akan terkena masalah
adalah pemilik perusahaan yang sebenarnya, bukan pihak peminjam perusahaan.
Kalaupun anggarannya
dialokasikan namun pelaksanaannya tidak memenuhi ketentuan Undang Undang nomor
2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi maupun Peraturan Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 8 tahun 2018 tentang pedoman swakelola.
Perencanaan konstruksi dan/atau pengawasan konstruksi sering dilaksanakan
secara swakelola, yang seharusnya dilaksanakan oleh konsultan konstruksi. Hal
ini di samping berpengaruh pada kualitas perencanaan maupun pengawasan, juga mengakibatkan
terabaikannya faktor pertanggungjawaban kegagalan bangunan.
Demikian juga
anggaran pengelolaan kegiatan sering terjadi penyimpangan penggunaan di mana penggunaannya
seharusnya dikelola oleh PPK dalam rangka mendukung dalam menjalankan tugasnya
namun pada kenyataannya dikelola langsung oleh Pengguna Anggaran dan/atau Kuasa
Pengguna Anggaran (PA/KPA) dalam menutupi kebutuhan pembiayaan nonteknis yang
bersifat nonbudgeter dan nonteknis dan tidak jarang untuk pembiayaan politik
praktis. Sehingga semua permasalahan tersebut bermuara pada kurangnya kualitas produk
konstruksi yang tidak jarang berujung pada permasalahan hukum akibat pengaduan
masyarakat ke APH. Perangkat proyek mulai dari PPK, Direksi Teknis, Direksi
Lapangan menjadi jarang terjun ke lapangan diakibatkan ketiadaan dana
operasional. Belum lagi ketiadaan anggaran honorarium sehingga para perangkat
proyek menjadi berharap adanya bantuan dari penyedia jasa konstruksi.
Dengan melihat
uraian di atas maka sistem penganggaran dan pengelolaan program dan kegiatan
yang diatur dalam APBD perlu menjalani modifikasi di mana diperlukan proteksi
sistemik terhadap PPK yang dalam menjalankan tugasnya wajib terlindungi dengan
baik dengan kewajiban adanya alokasi anggaran konsultan perencanaan konstruksi,
alokasi anggaran konsultan pengawasan konstruksi dan alokasi anggaran
pengelolaan kegiatan. Diperlukan sebuah proteksi sistemik oleh regulasi yang
terjamin dengan baik untuk mekanisme anggaran di mana semua anggaran yang
dibutuhkan oleh PPK terpenuhi dengan baik dan sesuai dengan peruntukannya. Proteksi
sistemik ini tidak akan tergantung kepada dukungan pimpinan instansi teknis,
tidak tergantung pada dukungan TAPD dan juga tidak tergantung pada dukungan DPRD.
Proteksi
sistemik ini berbentuk Anggaran Terintegrasi Untuk Kontrak Konstruksi
Pemerintah Daerah. Anggaran Terintegrasi ini berbentuk anggaran dengan bentuk
satu Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) yang memuat anggaran perencanaan
konstruksi, anggaran pelaksanaan konstruksi, anggaran pengawasan konstruksi dan
anggaran pengelolaan kegiatan. Proteksi sistemik ini mensyaratkan adanya
modifikasi sistem pengelolaan keuangan daerah dan sistem pengadaan barang/jasa
pemerintah karena akan menggabungkan empat mata anggaran atau empat DPA menjadi
satu mata anggaran atau satu DPA. Penyatuan ini akan menjamin adanya kendali
penuh PPK atas pelaksanaan perencanaan konstruksi oleh konsultan perencanaan
konstruksi, menjamin kendali penuh atas pelaksanaan pengawasan konstruksi oleh
konsultan pengawasan konstruksi dan menjamin kendali penuh atas dukungan
anggaran pengelolaan kegiatan dalam mendukung pelaksanaan jasa konstruksi. Satu
mata anggaran atau satu DPA akan menjamin ketersediaan anggaran dari empat sub unsur
kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengelolaan
kegiatan. Proteksi sistemik ini akan melindungi PPK dari niatan tidak baik
pimpinannya yang akan mencoba untuk meniadakan anggaran perencanaan konstruksi
dan/atau anggaran pengawasan konstruksi serta penggunaan anggaran pengelolaan
kegiatan untuk yang bukan peruntukannya.
Proteksi
sistemik ini menuntut adanya kedisiplinan dalam pelaksanaan tahapan pelaksanaan
pengadaan barang/jasa pemerintah. Apabila pengesahan APBD di akhir bulan
Nopember dan proses penyusunan Rincian Penjabaran APBD disahkan pada akhir
bulan Desember. Maka proses pemilihan penyedia jasa konsultan perencanaan
maupun proses pemilihan penyedia jasa konsultan pengawasan bisa dilakukan
dengan menerapkan prinsip pelelangan dini atau tender dini di mana baik seleksi
maupun pengadaan langsung dilakukan sebelum DPA disahkan. Setelah DPA disahkan
maka Kontrak perencanaan konstruksi sudah bisa ditandatangani. Bila proses
perencanaan oleh konsultan perencanaan konstruksi berjalan antara dua bulan
maka paling lambat akhir bulan Februari dokumen Rencana Anggaran Biaya (RAB)
dan Spesifikasi Teknis sudah bisa ditandatangani. Dengan demikian maka PPK
sudah bisa memulai proses penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Apabila
survei HPS memakan waktu dua minggu. Dan proses reviu/kaji ulang HPS dan Spesifikasi
Teknis memakan waktu dua minggu maka di bulan April tender konstruksi sudah
bisa dijalankan. Dengan asumsi pelaksanaan tender proyek konstruksi memakan
waktu satu bulan maka di awal bulan Mei sudah bisa dilaksanakan penandatanganan
semua Kontrak konstruksi serta penandatanganan Kontrak konsultan pengawasan
konstruksi. Dengan demikian tersedia waktu delapan bulan bagi PPK untuk
melaksanakan Kontrak dibantu oleh Konsultan Pengawasan Konstruksi dan didukung
dengan anggaran pengelolaan kegiatan. Dengan demikian maka PPK dapat menjalankan
tugasnya dengan baik dan profesional dan produk konstruksi dapat diperoleh
dengan kualitas yang maksimal.
Dengan sistem
Anggaran Terintegrasi seperti diuraikan di atas maka PPK mendapat jaminan dan
terproteksi secara sistemik dalam penyediaan anggaran satu atap dalam satu DPA yang
memuat semua bentuk anggaran yang dibutuhkan mulai dari anggaran perencanaan
konstruksi, anggaran pelaksanaan konstruksi, anggaran pengawasan konstruksi dan
anggaran pengelolaan kegiatan.
Dibutuhkan
pemikiran yang terbuka dalam menyikapi berbagai permasalahan di dunia jasa
konstruksi. Berbagai pemikiran yang lahir dari para praktisi jasa konstruksi
maupun dari para pengamat jasa konstruksi dalam solusi alternatif yang
diberikan cenderung tidak sejalan dengan mekanisme yang berjalan selama ini.
Sistem Anggaran Terintegrasi ini juga berbenturan dengan mekanisme pengelolaan
keuangan daerah yang berjalan selama ini. Untuk itu maka pemikiran tentang
Anggaran Terintegrsi ini harus disinkronisasikan dengan mekanisme tata kelola
keuangan daerah, bukan dengan membenturkannya sehingga target sinergi yang kita
harapkan justru menjadi kontraproduktif apabila kita memandangnya sebagai dua
sisi yang saling bertolak belakang. Sinkronisasi ini akan tercapai apabila kita
memiliki sudut pandang yang sama yaitu sama-sama ingin memperoleh kualitas jasa
konstruksi yang maksimal. Dengan produk jasa konstruksi berkualitas maksimal
ini akan memiliki umur bangunan yang panjang yang sudah barang tentu akan
menghemat pengeluaran negara karena bangunan tersebut tidak mudah rusak dan
dapat dipergunakan dalam jangka waktu yang lama. Juga dapat mencegah terjadinya
permasalahan hukum ataupun korban yang sering menimpa rekan-rekan PPK atas
kerusakan yang terjadi pada produk jasa konstruksi yang pada hakekatnya
diakibatkan minimnya atau tidak adanya anggaran perencanaan konstruksi dan/atau
anggaran pengawasan konstruksi dan/atau anggaran pengelolaan kegiatan. Untuk
itu maka dukungan dari semua pihak sangat dibutuhkan dalam mendukung
terwujudnya Anggaran Terintegrasi ini dalam rangka mewujudkan produk jasa
konstruksi berkualitas tinggi dan pelaksanaan jasa konstruksi yang profesional.
Salam reformasi
!!!
Rahmad Daulay
29 Agustus
2019.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar