Pemerintah melalui Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) menerbitkan Peraturan
Presiden nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan ini untuk menggantikan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 yang
mengatur tentang hal yang sama. Penerbitan peraturan ini didasari oleh dinamika
eksternal yang berkembang demikian pesat terutama perkembangan teknologi
informatika serta adanya tuntutan penyederhanaan dan percepatan pelaksanaan
pengadaan barang/jasa pemerintah percepatan penyerapan anggaran. Di samping
pengembangan ekatalog LKPP juga mengembangkan sistem tender cepat di mana
proses tender bisa selesai dalam 3 hari dengan catatan sistem informasi kinerja
penyedia (SIKAP) telah terisi dengan baik.
Di sisi lain, peraturan ini
mensyaratkan adanya pengembangan kompetensi sumber daya manusia dalam
kelembagaan Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (UKPBJ). Pengembangan
kompetensi sumber daya manusia ini berbentuk kewajiban untuk penjadi pejabat
fungsional kepada pokja pemilihan/pejabat pengadaan yang harus sudah dipenuhi
paling lambat 31 Desember 2020. Dan kewajiban sertifikasi kompetensi kepada
para pejabat pembuat komitmen (PPK), pokja pemilihan dan pejabat pengadaan
paling lambat 31 Desember 2023. Sehingga bisa dipastikan sertifikat keahlian
tingkat dasar pengadaan barang/jasa pemerintah yang berjumlah lebih dari
275.000 yang tersebar di seluruh instansi pemerintah pusat dan daerah tidak
akan berlaku lagi mulai tanggal 31 Desember 2023. Bahkan untuk pokja pemilihan
tidak bisa melakukan pelelangan lagi apabila tidak menjabat sebagai pejabat
fungsional pengelola pengadaan barang/jasa.
Belum ada survei yang valid
apakah para pemegang sertifikat ahli pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut
akan mengurus jabatan fungsional pengelola pengadaan barang/jasa pemerintah dan
akan mengurus sertifikasi kompetensi di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah
tersebut. Banyak faktor dan varibel yang harus diperhitungkan apakah kewajiban jabatan
fungsional pengelola pengadaan barang/jasa pemerintah dan sertifikasi
kompetensi tersebut akan efektif untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan
pengadaan barang/jasa pemerintah. Ataukah akan terjadi yang sebaliknya, akan
terjadi perlambatan atau bahkan stagnasi pengadaan barang/jasa pemerintah di
beberapa instansi pemerintah pusat atau daerah.
Faktor pertama yang harus
dipertimbangkan adalah faktor kesejahteraan. Sulitnya proses untuk memperoleh
sertifikat ahli pengadaan tidak sebanding dengan tingkat kesejahteraan yang
diperoleh ketika menjalankan tugas pengadaan barang/jasa pemerintah. Minimnya
dukungan pimpinan terhadap peningkatan kesejahteraan dan tingginya intervensi
dan niat pelemahan memperparah situasi dan kondisi yang ada. Belum lagi banyak
instansi pemerintah terutama di daerah yang kurang mengurusi jabatan fungsional
menyebabkan sebagian besar ASN pemegang sertifikat ahli pengadaan lebih memilih
terjun dan berkarir di jabatan
struktural. Sehingga ASN yang bertugas di bidang pengadaan barang/jasa
pemerintah lebih banyak bekerja dalam kondisi keterpaksaan dan mungkin tidak
bisa menolak tugas karena adanya tekanan pimpinan.
Faktor kedua adalah tidak
jelasnya jenjang karir. Tidak adanya kejelasan karir terhadap ASN yang bertugas
di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah menyebabkan para ASN pemegang sertifikat
ahli pengadaan lebih memilih jenjang karir lain yang lebih jelas. Hanya ada
beberapa instansi pemerintah yang memprioritaskan para ahli pengadaan untuk
menduduki posisi eselon strategis namun ini tidaklah banyak..
Faktor ketiga dan faktor yang
paling penting adalah faktor kriminalisasi pengadaan. Pengadaan barang/jasa
pemerintah baik itu tender maupun pelaksanaan kontrak masih menjadi primadona
pemberantasan tindak pidana korupsi. Hampir tiap tahun selalu ada pokja
pemilihan maupun pimpro/PPK yang tersangkut masalah hukum di aparat penegak
hukum. Tidak jarang yang menjadi tersangka dan narapidana. Sebagian besar
setelah menjalani pemeriksaan tidak bersedia lagi bertugas di bidang pengadaan
barang/jasa pemerintah. Puncak kriminalisasi terjadi pada tahun 2015 dan 2016
di mana terjadi perlambatan penyerapan anggaran pemerintah akibat minimnya ASN
yang bersedia menjadi pokja pemilihan atau menjadi pimpro/PPK. Lambatnya
penyerapan anggaran ini membuat Presiden prihatin dan harus turun tangan. Pada
bulan Juli 2016 dilakukan pertemuan seluruh Kajati dan kapolda seIndonesia di
Istana Negara di mana pada wktu itu dilakukan pertemuan tertutup dan Presiden
memberikan pengarahan tentang pentingnya percepatan penyerapan anggaran dan
agar kriminalisasi pengadaan dihentikan. Berita selengkapnya ada pada link
berikut https://www.beritasatu.com/nasional/375284/ini-pesan-jokowi-kepada-kapolda-dan-kajati-seindonesia
yang membawa angin segar kepada seluruh praktisi pengadaan. Angin segar itu
kembali bertambah dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara Menteri
Dalam Negeri, Jaksa Agung dan Kapolri nomor 700/8929/SJ nomor
kep-694/A/JA/11/2017 nomor B/108/XI/2017 tentang Koordinasi Aparat Pengawas
Internal Pemerintah (APIP) Dengan Aparat Penegak Hukum (APH) Terkait Penanganan
Laporan Atau Pengaduan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. MOU
tersebut ditindaklanjuti dengan Perjanjian Kerjasama antara Inspektur Jenderal
Kementerian Dalam Negeri, Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus Kejaksaan Agung
dan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri nomor 119-49 tahun 2018 nomor
B-369/F/Fjp/02/2018 nomor B/9/II/2018 tentang Koordinasi Aparat Pengawas
Internal Pemerintah (APIP) Dengan Aparat Penegak Hukum (APH) Dalam Penanganan
Laporan Atau Pengaduan masyarakat Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi Pada
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. MOU tersebut telah ditindaklanjuti di
tingkat Pemerintah Provinsi dengan Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah dan
juga telah ditindaklanjuti di tingkat Bupati/Walikota dengan Kejaksaan Negeri
dan Kepolisian Resort. Inti dari MOU tersebut adalah adanya koordinasi dan
tukar menukar informasi di mana apabila ada pengaduan masyarakat tentang
indikasi tindak pidana korupsi di pemerintah daerah maka yang akan melakukan
pemeriksaan terlebih dahulu adalah Inspektorat. Apabila ditemukan kerugian
negara maka dilakukan pengembalian tuntutan ganti rugi dalam waktu tertentu.
Apabila tidak diperdulikan maka akan diteruskan ke penegak hukum.
Namun pada prakteknya MOU
tersebut belum maksimal penerapannya di beberapa pemerintah daerah sehingga
proses pengadaan barang/jasa pemerintah baik pada pelaksanaan tender maupun pelaksanaan
kontrak masih diwarnai pemeriksaan langsung oleh aparat penegak hukum sehingga
warna kriminalisasi masih terjadi.
Oleh karena itu, LKPP sebagai
pembina pengadaan barang/jasa pemerintah tingkat nasional harus melakukan upaya
sistematis agar ada saling pengertian di antara ekosistem pengadaan sehingga
apabila proses fungsionalisasi pokja pemilihan dan sertifikasi kompetensi terhadap
PPK, pokja pemilihan dan pejabat pengadaan ingin dicapai sesuai target waktu
maka kriminalisasi pengadaan harus dicegah dengan penerapan secara konsisten
MOU antara aparat penegak hukum dengan aparat pengawas internal pemerintah
dengan menciptakan prosedur pengaduan tetap di mana apabila terjadi pelanggaran
terhadap MOU maka ada instansi tempat mengadukannya melalui Inspektur Jenderal
Kementerian Dalam Negeri berkoordinasi dengan Jaksa Agung Muda Bidang
Pengawasan Kejagung maupun Inspektur Pengawasan Umum Mabes Polri. Bila MOU
tidak dijalankan secara konsisten maka diprediksi akan terjadi stagnasi
pengadaan barang/jasa pemerintah karena proses fungsionalisasi dan sertifikasi
kompetensi tidak ada yang mengikuti atau kalaupun ada yang mengikuti tapi
jumlahnya tidak signifikan.
Tender sehat, negara kuat.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
28 Juni 2019.
*
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar