(Materi yang sama dimuat pada website www.birokratmenulis.org pada link http://birokratmenulis.org/mengkritisi-permendagri-nomor-112-tahun-2018-tentang-ukpbj-pemda/).
Pada periode tata kelola pengadaan zaman
Keppres nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah pelaksanaan pengadaan barang/jasa dilaksanakan oleh Panitia
Pengadaan yang diangkat oleh Pengguna Anggaran yang dijabat oleh kepala
instansi. Pada masa ini tidak begitu banyak permasalahan antara kepala instansi
dengan panitia pengadaan mengingat para panitia pengadaan adalah bawahan
langsung dari pengguna anggaran. Dalam artian semua kepentingan terpenuhi dan
berjalan sebagaimana mestinya. Kalaupun ada permasalahan akan ditangani oleh
pengguna anggaran mengingat SK panitia pengadaan ditandatangani oleh pengguna
anggaran sehingga tanggungjawab atas permasalahan yang terjadi melekat pada
jabatan pengguna anggaran.
Pada periode tata kelola pengadaan zaman
Perpres nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
pelaksanaan pengadaan barang/jasa dilaksanakan oleh Kelompok Kerja yang
bernaung di bawah Unit Layanan Pengadaan. Ketidaktegasan tentang regulasi
mengakibatkan banyaknya variasi bentuk kelembagaan ULP mulai dari yang masih
mempertahankan lembaga adhoc (non struktural) maupun berbentuk struktural
seperti Badan Pengadaan, Biro Pengadaan, Bagian Pengadaan ataupun yang
dilaksanakan oleh Biro Pembangunan atau Bagian Pembangunan. Prinsip yang
dipakai di sini adalah mencoba untuk menyetarakan posisi dari pengguna anggaran
disetarakan dengan kepala ULP dan menyetarakan posisi pejabat pembuat komitmen
dengan pokja ULP. Namun penyetaraan posisi ini tidak berjalan mulus akibat dari
eselonisasi yang kalah pada pihak jabatan pengadaan pengadaan.
Pada pemerintahan propinsi, bila
Pengguna Anggaran pada dinas berada pada tingkatan eselon II A sedangkan Kepala
ULP bila dijabat oleh Kepala Biro Pengadaan berada pada tingkatan eselon II B,
dengan kata lain kalah satu tingkat. Lebih parah lagi bila Kepala ULP dijabat
oleh Kepala Bagian Pengadaan yang tingkatannya pada eselon III A.
Pada pemerintahan kabupaten/kota, bila
Pengguna Anggaran pada dinas berada pada tingkatan eselon II B, sedangkan Kepala
ULP bila dijabat oleh Kepala Bagian Pengadaan yang tingkatannya pada eselon III
A.
Dengan posisi kalah tingkatan eselon
seperti ini maka tekanan dan intervensi akan begitu kuat. Namun bila terjadi
permasalahan maka pengguna anggaran tidak punya beban moral untuk menyelesaikan
permasalahan sehingga ULP dan Pokja ULP berjalan sendirian dalam menyelesaikan
permasalahan yang mereka hadapi.
Hanya ada beberapa pemerintahan daerah
yang membentuk Badan Pengadaan. Dengan bentuk kelembagaan seperti ini penyetaraan
tingkatan eselon antara Pengguna Anggaran dan Kepala ULP yang dijabat oleh
Kepala Badan Pengadaan sudah tercapai. Kepala ULP sudah bisa duduk dan berdiri
pada posisi yang sama dengan Pengguna Anggaran.
Pada periode tata kelola pengadaan zaman
Perpres nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang
ditindaklanjuti dengan Perlem nomor 14 tahun 2018 tentang Unit Kerja Pengadaan
Barang/Jasa. Tugas besar yang diemban oleh UKPBJ adalah pelaksanaan tender oleh
Pokja Pemilihan, pengelolaan Sistem Pengadaan Secara Elektronik oleh LPSE,
advokasi permasalahan dan pembinaan SDM. Pembinaan SDM di sini bukan semata
hanya pada anggota UKPBJ namun meliputi keseluruhan pelaku pengadaan mulai dari
Pengguna Anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat
Pengadaan, Pokja Pemilihan, Agen Pengadaan, Panitia Penerima Hasil Pekerjaan,
Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan, penyelenggara swakelola dan
penyedia/perusahaan. Dari tugas besar ini maka bentuk ideal kelembagaan UKPBJ
adalah berbentuk Badan Pengadaan. Posisinya setara antara Kepala UKPBJ dengan
Pengguna Anggaran.
Namun setback terjadi ketika Kementerian
Dalam Negeri menerbitkan Permendagri nomor 112 tahun 2018 tentang Pembentukan
UKPBJ Di Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pengaturan
ini menempatkan UKPBJ di bawah Sekretariat Daerah. Terjadi klasifikasi untuk
pemerintah provinsi UKPBJ kelas A dalam bentuk Biro Pengadaan (eselon II B) dan
Kelas B dalam bentuk Bagian Pengadaan (eselon III A). Klasifikasi untuk
Pemerintah Kabupaten/Kota UKPBJ Kelas A dalam bentuk Bagian Pengadaan (Eselon
III A) dan Kelas B dalam bentuk Sub Bagian Pengadaan (eselon IV A). Klasifikasi
ini berdasarkan hasil perhitungan indikator teknis berupa rata-rata jumlah
paket pengadaan 3 tahun terakhir, rata-rata jumlah paket konstruksi 3 tahun
terakhir, rata-rata jumlah paket pengadaan barang 3 tahun terakhir, rata-rata
jumlah paket jasa konsultansi 3 tahun terakhir, rata-rata jumlah paket jasa
lainnya 3 tahun terakhir, jumlah pemegang sertifikat Ahli PBJ, jumlah OPD,
jumlah penyedia terdaftar pada LPSE, jumlah kelurahan/desa. Kelas A dibentuk
bila total skor variabel lebih dari 500. Kelas B dibentuk bila total skor
variabel maksimal atau di bawah 500.
Setback ini muncul karena pengaturan
bentuk UKPBJ ini tidak menampung aspirasi dari para praktisi dan ahli
pengadaan. Kementerian Dalam Negeri lebih fokus pada pembentukan kelembagaan
UKPBJ berbasis beban kerja 3 tahun terakhir. Kementerian Dalam Negeri tidak
memperhitungkan permasalahan kuantitatif yang terjadi pada setiap tender yaitu
permasalahan intervensi dan kriminalisasi pengadaan. Permasalahan ini tidak
terukur namun dominan dalam pelaksanaan tugas tender barang/jasa. Intervensi
dan kriminalisasi pengadaan menjadi fokus utama perlunya pembentukan UKPBJ yang
independen dalam pengambilan keputusan, bukan hanya permanen dan struktural
semata. Independensi ini bisa dicapai secara ideal apabila para Pokja Pemilihan
berada di bawah UKPBJ Nasional lepas dari kekuasaan kepala daerah. Namun
mengingat ide UKPBJ Nasional belum realistis untuk saat ini maka posisi UKPBJ
paling tidak harus disetarakan dengan posisi Pengguna Anggaran sehingga
walaupun belum bisa lepas dari intervensi dan kriminalisasi namun paling tidak
posisinya tidak kalah dan tidak di bawah Pengguna Anggaran sehingga peluang
intervensi dan kriminalisasi bisa diminimalisir. Apalagi dengan posisi eselon
II maka Jabatan Kepala Badan Pengadaan akan melalui proses lelang jabatan
sehingga tidak mudah bagi kepala daerah untuk mengganti sesuka hatinya bila
hasil pelelangan tidak sesuai dengan keinginannya. Sedangkan model UKPBJ versi
Permendagri nomor 112 tahun 2018 ini posisi Kepala UKPBJ hanya kokoh pada
jabatan Kepala Biro Pemerointah Provinsi karena melalui proses lelang jabatan.
Sedangkan pada posisi lainnya yaitu Kepala Bagian Pengadaan yang hanya eselon
III A atau Kepala Sub Bagian Pengadaan
yang hanya eselon IV A sangat rentan untuk diintervensi dan digonta-ganti
setiap saat tergantung dari hasil tender apakah memuaskan para pihak atau
tidak. Dan model ini rawan mengalami pelemahan kelembagaan.
Oleh karena itu, bila kita ingin
memperbaiki negara ini yang salah satunya melalui perbaikan tata kelola
pengadaan barang/jasa maka selain opsi pembentukan UKPBJ Nasional maka opsi
pembantukan Badan Pengadaan harus kembali dipertimbangkan oleh Kementerian
Dalam Negeri. Kalaupun Kementerian Dalam Negeri ngotot dengan format yang ada
pada Permendagri nomor 112 tahun 2018 maka jabatan Kepala UKPBJ apapun bentuknya
harus melalui seleksi terbuka/lelang jabatan.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
17 Nopember 2018.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar