Pemilu
legislatif adalah sebuah proses untuk memilih wakil rakyat di DPR baik DPR
pusat maupun DPR Daerah. Wakil rakyat dipilih melalui pencalonan dari partai politik.
Embryo wakil rakyat di era modern dimulai pada zaman prakemerdekaan dengan nama
Volksraad yang berarti Dewan Rakyat yang
dibentuk pada tahun 1916 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada awal berdirinya
memiliki 38 anggota di mana 15 di antaranya adalah pribumi, sisanya dari
Belanda dan Timur Asing. Pada akhir tahun 1920 barulah mayoritas anggotanya
berasal dari pribumi. Awalnya hanya memiliki kewenangan sebagai penasehat saja.
Baru pada tahun 1927 Volksraad memiliki kewenangan legislatif. Tidak banyak
produk legislatif yang dihasilkan. Salah satu sebabnya adalah karena sebagian
besar anggota Volksraad dari pribumi lebih gencar menyuarakan kemerdekaan
Indonesia.
Semangat
yang bisa diambil dari keberadaan Volksraad adalah bahwa keanggotaan Volksraad
diambil dari perwakilan rakyat yang benar-benar menyuarakan suara rakyat dan
memiliki kualitas intelektual yang tinggi. Mereka cerminan putra terbaik pada
zamannya. Dengan kata lain tidak bisa sembarangan untuk menjadi anggota
Volksraad.
Setelah
Indonesia merdeka tahun 1945, baru pada tahun 1955 bisa melaksanakan pemilihan
umum secara nasional untuk memilih wakil rakyat dengan institusi yang bernama
Konstituante dengan tugas utama menyusun UUD yang baru. Namun oleh Presiden
Soekarno, melalui Dekrit Presiden 1959 membubarkan Konstituante, kembali ke UUD
1945 dan membentuk MPRS. Meskipun Konstituante tidak berhasil mengesahkan UUD
namun secara historis keberadaan Konstituante dipandang penting sebagai lembaga
wakil rakyat setelah Indonesia merdeka. Konstituante mencerminkan elit politik
pada saat itu yang mayoritas merupakan putra terbaik bangsa dan memiliki
kualitas intelektual yang tinggi.
Seiring
dengan perjalanan waktu, di masa pemerintahan orde baru tahun 1971 dilaksanakan
pemilu yang diikuti 10 partai. Sejak saat inilah mulai dikenal istilah Serangan
Fajar. Kelompok intelektual mulai
tergeser oleh kelompok kepentingan politik dan kepentingan bisnis. Demikian
seterusnya hingga pemilu legislatif di zaman orde reformasi keberadaan kelompok
intelektual semakin terkalahkan oleh kelompok kepentingan politik dan bisnis.
Proses politik dan pemilihan legislatif sudah sangat terasa aroma
transaksionalnya. Kondisinya sudah sangat jauh dari semangat intelektual yang
dimiliki oleh Volksraad dan Konstituante.
Pada
bulan April 2019 akan dilaksanakan pemilihan anggota DPR sebanyak 575 orang,
anggota DPD sebanyak 136 orang dan anggota DPRD untuk provinsi, kabupaten dan
kota untuk periode 2019-2024. Harapan rakyat sangat besar terhadap kualitas
hasil pemilu legislatif ini. Namun harapan yang begitu tinggi ini diduga masih
akan ternodai dengan adanya politik transaksional. Aroma transaksional ini yang
membuat banyaknya putra terbaik bangsa untuk malas mencalonkan diri menjadi
wakil rakyat walaupun pada kenyataannya mereka punya semangat yang tinggi untuk
memperbaiki negeri ini. Sebagian di antara mereka ikut dalam pentas demokrasi
walau dibayang-bayangi minimnya logistik dan ketidakmampuan untuk mengikuti
arus transaksional.
Atmosfer
transaksional ini tumbuh subur diakibatkan oleh kondisi ekonomi sebagian besar
rakyat yang berada pada kondisi ekonomi yang kurang baik. Ditambah dengan
ketidakmampuan dari para calon wakil rakyat untuk memperkenalkan dirinya kepada
rakyat serta kondisi masyarakat yang miskin informasi membuat proses
transaksional dipandang menjadi pilihan yang realistis. Kapan lagi bisa
menikmati pesta yang hanya akan terjadi sekali dalam 5 tahun, begitu kira-kira
pemahaman awamnya.
Namun
kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Nasib bangsa ini sangat
dipertaruhkan pada hasil pemilu 2019. Roda perpolitikan nasional akan
ditentukan oleh hasil pemilu 2019. Kondisi perpolitikan akan saling terkait
dengan kondisi ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Untuk itu maka seluruh elemen
masyarakat harus bersatu padu dalam melakukan kampanye Pemilih Cerdas Pemilu
2019. Gerakan Pemilih Cerdas ini harus bisa mengakomodir kondisi sosial
masyarakat di satu sisi, dan peningkatan kualitas pemilu di sisi lain.
Persentase kaum intelektual harus meningkat jumlahnya dari kelompok kepentingan
politik dan bisnis.
Oleh
karena itu Gerakan Pemilih Cerdas Pemilu 2019 harus bisa mengarahkan rakyat
untuk melakukan :
1.
Menolak
Politik Uang.
Atau;
2.
Ambil
Uangnya, Pilihan Tetap Yang Terbaik.
Gerakan
ini apabila maksimal, akan sangat mengganggu hasil transaksional dan juga akan
berhasil memiskinkan para penganut politik uang karena uang yang ditabur tidak
sebanding dengan hasil yang diperoleh. Namun gerakan ini bukannya tanpa
hambatan. Hambatan terbesar berada pada pemahaman dari masyarakat itu sendiri,
di mana ada pemahaman bahwa apabila telah menerima uang dari seseorang maka
wajib hukumnya untuk memilihnya, akan berdosa apabila tidak memilihnya.
Pemahaman ini harus didobrak dan dibalik menjadi wajib hukumnya tidak memilih
orang yang membagi politik uang dan halal hukumnya mengambil duit politik uang
dengan tujuan untuk mengkalahkannya. Pemahaman ini membutuhkan fatwa dari para tokoh
masyarakat berpengaruh di negeri ini. Suara mereka akan sangat didengar oleh
mayoritas rakyat Indonesia. Bila negeri ini kita sepakati untuk diselamatkan
pada pemilu 2019 maka para tokoh masyarakat berpengaruh di pusat dan daerah harus
turut menjadi pelopor terdepan Gerakan Pemilih Cerdas Pemilu 2019.
Rahmad
Daulay
13
oktober 2018.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar