(Materi yang sama dimuat pada www.birokratmenulis.org pada link http://birokratmenulis.org/tujuh-strategi-pencegahan-korupsi-pbj-pasca-modernisasi/).
Sejarah pengadaan barang/jasa
pemerintah (PBJ) sama tuanya dengan sejarah birokrasi itu sendiri. Ketika
birokrasi pemerintahan masih sangat sederhana maka pengaturan PBJ juga masih
sederhana. Seiring dengan semakin modernnya sistem tata kelola birokrasi maka
pengaturan PBJ juga ikut termodernisasi.
Embryo modernisasi itu ditandai
dengan dibentuknya Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)
dengan dasar hukum Peraturan Presiden Nomor 106 tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sebelum LKPP terbentuk yang bertanggung jawab
terhadap pengelolaan kebijakan PBJ adalah Pusat Pengembangan Kebijakan
Pengadaan Barang dan Jasa Publik di bawah Bappenas dengan produk peraturan
terakhir berupa Keppres nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah beserta seluruh perubahannya.
Era LKPP ditandai dengan lahirnya
Perpres nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagai
pengganti dari Keppres Nomor 80 Tahun 2003. Dengan dasar regulasi tersebut
lahirlah beberapa program berbasis IT seperti Layanan Pengadaan Secara
Elektronik (LPSE), katalog elektronik (e-katalog) dan beberapa program berbasis
IT lainnya.
Program ekatalog yang digagas dan
direalisasikan pada periode 2012/2013 telah banyak membantu mencegah timbulnya
permasalahan besar yang biasanya timbul pada tender alat berat, alat kesehatan
dan obat-obatan. Dengan adanya program ekatalog maka semua produk barang yang tercantum
dalam ekatalog dilaksanakan secara pengadaan langsung tanpa tender dengan
memakai fasilitas kontrak payung antara LKPP dengan produsen atau distributor
barang. Instansi pemerintah tinggal memproses pembelian saja. Saat ini sudah
ribuan jenis barang ada dalam sistem ekatalog.
Program LPSE membuat tender dari
sistem manual menjadi sistem elektronik atau tender online. Seluruh tahapan tender
dilaksanakan secara elektronik tanpa kontak langsung. Namun pada beberapa
tahapan masih bersifat manual seperti proses evaluasi penawaran namun ke depan
sistem akan semakin disempurnakan.
Dengan adanya program ekatalog
dan LPSE sebagian permasalahan penyimpangan pada PBJ sudah dapat dicegah. Namun
apa daya, penyimpangan PBJ masih terus terjadi. Masih ada beberapa lini yang
perlu menjadi perhatian kita bersama, di antaranya : independensi ULP/UKPBJ
(kelembagaan, promosi jabatan, kesejahteraan, perlindungan dan advokasi),
komitmen perusahaan/asosiasi dan pengawasan hulu hilir (APH, BPK/BPKP, KPK).
Independensi ULP/UKPBJ selalu
menjadi pusat perhatian manakala muncul permasalahan hukum pada PBJ. Pada
umumnya ULP/UKPBJ merupakan instrumen dan hanya menjadi korban dari mata rantai
korupsi yang dikendalikan secara non administratif. Kelembagaan menjadi faktor
utama permasalahan. Sebagian besar kelembagaan ULP/UKPBJ masih bersifat adhoc,
berupa gabungan/rekrutmen dari beberapa staf instansi membentuk pokja-pokja pemilihan
dalam naungan ULP/UKPBJ. Sebagian lagi sudah bersifat struktural namun masih
berada di bawah instansi/OPD tertentu, yang pada umumnya di bawah Sekretariat
Jenderal atau Sekretariat Daerah. Sebagian kecil sudah menjadi instansi
tersendiri berupa Badan Pengadaan. Apapun bentuk kelembagaan ULP/UKPBJ masih
dilingkupi kelemahan utama yaitu terbelenggu pada sistem perintah
atasan-bawahan. Ketika kelompok kepentingan merasa tidak nyaman dengan hasil
kerja pokja ULP/UKPBJ maka melalui tangan kekuasaan terjadilah intervensi yang
berujung pada pertukaran/rotasi personel ULP/UKPBJ atau dengan kata lain
pembersihan/sterilisasi ULP/UKPBJ dari unsur idealis. Apalagi bila dilihat minimnya
kesejahteraan dari personel ULP/UKPBJ membuat posisi tawar menjadi semakin
lemah. Personel ULP/UKPBJ yang tidak patuh pada intervensi akan mengalami nasib
tidak baik, dipindah atau dinonjobkan. Kondisi yang ada menunjukkan bahwa
ULP/UKPBJ nyaris tanpa proteksi sama sekali dari siapapun. Hal ini semakin
terlihat ketika terjadi permasalahan hukum. Personel ULP/UKPBJ hanya
bermodalkan Perpres sedangkan APH bermodalkan UU/KUHP. Belum lagi ketiadaan
dana untuk menyewa pengacara atau menghadirkan saksi ahli.
Dari kondisi di atas, ada
beberapa langkah yang harus dilakukan, dan semestinya bisa kita lakukan
bersama, yaitu antara lain :
1.
Penyeragaman Kelembagaan. Semua
kelembagaan ULP/UKPBJ harus sama yaitu berbentuk Badan Pengadaan baik itu di
instansi pusat maupun daerah. Kelembagaan ini harus ditopang dengan regulasi
yang mendukung baik itu Peraturan Presiden untuk instansi pusat maupun
Permendagri untuk instansi daerah. Kelembagaan Badan Pengadaan akan menjamin
sebagian besar kebutuhan seperti anggaran, SDM, pembinaan, sarana prasarana dan
lainnya. Untuk mewujudkan kelembagaan ini membutuhkan intervensi dari lembaga
eksternal birokrasi dan yang paling kita harapkan intervensinya adalah dari KPK
Bidang Pencegahan.
2.
Pola Promosi Jabatan. Dengan
seragamnya kelembagaan Badan Pengadaan di semua instansi pusat/daerah maka SDM
PBJ bisa meniti karir baik dari pusat ke daerah maupun dari daerah ke pusat,
antar daerah maupun antar instansi pusat. Baik karir struktural maupun karir
fungsional. Promosi jabatan ini harus dikawal penuh oleh instansi pengawasan
seperti BPK/BPKP maupun KPK Bidang Pencegahan di mana setiap terjadi
rotasi/mutasi jabatan di Badan Pengadaan maka baik SK Mutasi Jabatan maupun
berkas Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan) harus dikonsultasikan
terlebih dahulu ke LKPP, BPK/BPKP dan hasil konsultasi dilaporkan ke KPK Bidang
Pencegahan yang apabila semua telah menyetujui baru dilakukan rotasi/mutasi
jabatan. Tanpa pengawasan ketat seperti ini maka bisa saja Badan Pengadaan
mengalami pelemahan atau sterilisasi sehingga walaupun secara kelembagaan kuat
namun kerpos di dalam.
3.
Kesejahteraan. Kesejahteraan
menjadi isu krusial agar personel ULP/UKPBJ tidak tergoda untuk melakukan
penyimpangan. Kita bisa berkaca pada regulasi PermenPU nomor 45/PRT/M/2007
tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara pada Lampiran
Prosentase Komponen Biaya Pembangunan Bangunan Gedung Negara Klasifikasi Tidak
Sederhana. Regulasi tersebut mengatur besaran komponen biaya perencanaan
konstruksi, biaya manajemen konstruksi, biaya pengawasan konstruksi dan biaya pengelolaan
kegiatan dalam berbagai variasi anggaran pembangunan fisik. Contohnya untuk
anggaran pembangunan fisik kisaran 100-250 milyar rupiah maka komponen biaya
perencanaan konstruksinya antara 2,72-2,5 %, komponen biaya manajemen
konstruksinya antara 2,19-2 %, komponen biaya pengawasan konstruksinya antara
1,78-1,76 % dan komponen biaya pengelolaan kegiatannya antara 0,58-0,31 %. Dengan
pola ini kita tinggal menambah komponen honorarium ULP/UKPBJ pada persentase
berapa (angka 0,25 % cukup realistis) atau menggabungkannya dalam komponen
biaya pengelolaan kegiatan dengan menambah persentasenya.
4.
Perlindungan. ULP/UKPBJ sulit
untuk menghindar dari adanya intervensi karena birokrasi identik dengan adanya
perintah atasan-bawahan. ULP/UKPBJ akan merasa terjaga dari intervensi apabila
ada intervensi tandingan dari luar birokrasi. Dalam hal ini KPK Bidang
pencegahan bekerjasama dengan BPK/BPKP pada tingkatan struktur yang sesuai
harus membentuk Tim Gabungan untuk melindungi ULP/UKPBJ dengan cara
mengintervensinya dalam bentuk pertemuan dan koordinasi berkala, laporan awal
dan laporan akhir tender serta layanan konsultasi. Bentuk-bentuk intervensi
tandingan eksternal ini akan bisa melindungi ULP/UKPBJ dalam menangkis
intervensi atasan atau kelompok kepentingan pengusaha. Tim Gabungan ini bisa
dibentuk di setiap provinsi dan bisa merekrut alumni ULP/UKPBJ senior untuk
membantu pembinaan ULP/UKPBJ.
5.
Advokasi. Bagaimanapun juga
UU/KUHP mengatur tentang tindak lanjut pengaduan masyarakat. Namun atas
beberapa pertimbangan maka APH (kejaksaan dan kepolisian) dengan Kemendagri
membuat sebuah MOU yg isinya bahwa semua pengaduan masyarakat harus diserahkan
terlebih dahulu kepada Inspektorat Jenderal/Inspektorat Daerah untuk pemeriksan
awal yang apabila hasil pemeriksaan awal menunjukkan adanya tindak pidana yang
apabila kerugian negaranya tidak dikembalikan maka kasusnya akan diserahkan ke
APH. Hal ini juga telah diatur dalam Perpres nomor 16 tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pasal 77.
6.
Komitmen perusahaan/asosiasi.
Peserta tender adalah perusahaan. Sebagian perusahaan berusaha memenangkan
tender dengan cara pinjam tangan kekuasaan atau dengan kata lain intervensi
perusahaan. Dalam banyak hal ini terbukti efektif untuk memenangkan tender,
namun keabsahan hasil tendernya akan sangat diragukan. Dan ini tidak sehat
untuk jalannya sebuah pemerintahan yang baik dan iklim usaha yang sehat. Untuk
itu, apabila komitmen anti korupsi dari ULP/UKPBJ telah disepakati maka perlu
juga dilakukan membangun komitmen anti korupsi dari pihak perusahaan. Lembaga eksternal
pemerintahan birokrasi seperti BPK/BPKP, KPK Bidang Pencegahan perlu merumuskan
formula dan sistem pencegahan korupsi dalam bentuk komitmen bersama dengan
seluruh perusahaan yang bernaung dalam beberapa asosiasi perusahaan terutama LPJK/LPJKD
agar dalam mengikuti tender maka semua perusahaan akan bersaing secara sehat,
tanpa mengintervensi ULP/IKPBJ, tanpa meminta restu pimpinan instansi
pemerintah dan tanpa cara tidak sehat lainnya sehingga perusahaan tidak perlu
mengeluarkan cost tertentu untuk memenangkan tender. Hal ini juga akan bisa
memperbaiki kualitas produk proyek.
7.
Pengawasan Hulu-Hilir. Lembaga
eksternal birokrasi (BPK/BPKP, KPK Bidang Pencegahan) juga harus melakukan
pengawasan hulu-hilir. Jangan hanya fokus mengawasi ULP/UKPBJ saja tapi juga
mengawasi pimpinan tertinggi birokrasi dan legislatif di semua tingkatan. Pertemuan
dan rapat secara berkala perlu dilakukan dalam upaya menjaga komitmen dan
konsistensi pencegahan korupsi. Bila secara berkala para pimpinan instansi
bertemu tatap muka dengan perwakilan KPK Bidang pencegahan akan beda atmosfernya
dengan tidak pernah bertemu sama sekali.
Demikian kira-kira beberapa
langkah yang bisa kita lakukan bersama, tentunya seharusnya bisa kita lakukan,
demi terwujudnya sistem pencegahan korupsi di bidang PBJ. Pengadaan yang sehat
adalah mimpi kita semua. Dan kita berharap uraian di atas bukan sekedar
retorika belaka ataupun aktifitas intelektual semata namun bisa membuka pikiran
para pembuat kebijakan untuk mengkaji usulan-usulan di atas agar bisa
diterapkan dan dunia pengadaan tidak terus-terusan menjadi bulan-bulanan berbagai
pihak tanpa punya tempat mengadu. Kita berharap huru-hura pengadaan akan
berakhir di tahun 2018 ini dan menjadikan pekerjaan PBJ sebagai tugas yang
menyenangkan.
Saya sendiri berharap adanya diskusi
yang berkelanjutan untuk lebih menyempurnakan uraian di atas.
Rahmad Daulay
11 September 2018.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar