Sudah menjadi kebiasaan bahwa di
samping identik dengan baju baru dan kue baru, maka Hari Raya Idul fitri juga
sudah identik dengan THR.
Apa itu THR (Tunjangan hari Raya)
?
Bagi anak-anak, THR adalah
pemberian dari para orang tua yang rumahnya disinggahi dalam rangka
silaturrahmi lebaran berupa uang kertas baru dari bank yang nominalnya beragam
mulai dari Rp. 5 ribuan sampai Rp. 100 ribuan. Tak jarang mereka sudah pandai
memilih rumah mana yang menjadi tempat vaforit.
Bagi PNS dan pejabat negara, THR
adalah resmi semacam gaji sebesar gaji pokok tambah tunjangan, mirip gaji
ke-14. Mulai dari yang terkecil sampai dengan yang terbesar.
Bagi para bawahan, THR adalah
bagi-bagi rezeki dari pimpinan atas dukungannya selama ini dalam bekerja.
Bagi para atasan, THR adalah
bantuan dari bawahan dalam rangka menutupi pengeluaran yang nauzubillah
banyaknya.
Sebagai niatan baik dari
Pemerintah bahwa PNS dan pejabat negara diberi THR sebesar gaji pokok tambah
tunjangan dengan tujuan membantu menutupi pengeluaran dalam rangka puasa dan
lebaran. Sehingga diharapkan tidak terjadi lagi perilaku menyimpang dalam
menutupi pengeluarannya. Perilaku menyimpang ini bisa mengarah pada indikasi
korupsi atau indikasi gratifikasi. Apalagi bila ada catatan khusus dari pihak
tertentu apabila salah satu jenis THR di atas tidak terealisasi. Bagi para
bawahan yang tidak memperoleh bagi-bagi THR dari atasannya diprediksi akan
berdampak pada kinerjanya mengingat atasan dipandang makan sendiri. Bagi para
atasan yang tidak memperoleh bantuan THR dari bawahannya maka diprediksi dalam
proses mutasi jabatan akan memperoleh catatan khusus. Bahkan diduga aliran THR
ini sudah berproses antara birokrasi dengan luar birokrasi. Dari dan atau ke
birokrasi. Namun yang perlu diingat bahwa kondisi ini tidak berlaku umum. Masih
ada di sebagian instansi yang tidak memperdulikan dan tidak ambil pusing
tentang THR atasan-bawahan ini namun ini jumlahnya masih kalah jauh dengan yang
dimaksud di atas.
Sekilas bahwa fenomena THR ini
sebagai sesuatu yang lumrah saja, rutinitas sekali setahun, memeriahkan
lebaran. Namun pernahkah kita memikirkan betapa bagi seorang atasan atau
bawahan yang mencoba bekerja sesuai aturan main dan tidak korupsi atau
gratifikasi, bagaimana mereka memerankan perannya di tengah lautan ombak THR
ini ?
KPK melalui surat edarannya telah
melarang segala macam bentuk gratifikasi kepada seluruh instansi pusat dan
daerah menjelang lebaran. Surat edaran ini ditanggapi beragam. Namun saya
melihat Surat Edaran ini sulit untuk direalisasikan mengingat derasnya arus
kebutuhan dalam berbagai bentuknya di kalangan birokrasi.
Saya melihat, sebelum kita
berbicara tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, lebih
baik kita bicarakan dulu bagaimana membedah dan mengkaji fenomena THR atasan-bawahan
ini. Apabila THR atasan-bawahan saja belum bisa kita cegah dan berantas maka
tidak ada gunanya kita membicarakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
KPK dan elemen reformasi lainnya
perlu untuk melakukan survei menyeluruh tentang THR atasan-bawahan ini dengan
mengambil sampel beberapa instansi penting baik di pusat maupun di daerah.
Survei ini penting untuk membedah fenomena THR atasan-bawahan ini. Berapa
putaran uang yang beredar, berapa uang yang harus dicari dari berbagai sumber,
apa saja sumber THR ini, berawal dari mana dan berakhir di mana, sektor apa
saja yang bisa menumbuhkembangkannya, untuk apa saja THR tersebut dibelanjakan,
apa-apa saja resiko yang terjadi apabila tidak dilaksanakan, dan lain
sebagainya. Hasil survei ini akan menjadi bahan pertimbangan dalam mencegah
terjadinya THR atasan-bawahan di tahun 2019 yang akan datang.
Bagaimanapun juga pemberian THR
resmi sebesar gaji pokok ditambah tunjangan bagi para PNS dan pejabat negara
belum mampu mencegah terjadinya THR atasan-bawahan. THR resmi bagi para bawahan
tidak mencukupi dalam menutupi pengeluarannya sehingga masih mengharapkan THR
dari atasannya. THR resmi bagi para atasan juga tidak mencukupi dalam menutupi
pengeluarannya sehingga masih diperlukan setoran THR dari para bawaahnnya.
THR resmi yang tidak mencukupi
akan berkorelasi dengan besaran gaji pokok dan tunjangan resmi bagi para PNS
dan pejabat negara. Apakah gaji pokok dan tunjangan resmi tersebut sudah sesuai
dengan batas kebutuhan minimal kelayakan hidup untuk memenuhi sandang, pangan,
papan, pendidikan, kesehatan ? Untuk seorang PNS golongan I A masa kerja 0
tahun gaji pokoknya hanya sebesar Rp. 1.486.500 dan golongan I D masa kerja 27
tahun gaji pokoknya hanya sebesar Rp. 2.558.700. Untuk golongan II A masa kerja
0 tahun gaji pokoknya hanya sebesar Rp. 1.926.000 dan golongan II D masa kerja
33 tahun gaji pokoknya hanya sebesar Rp. 3.638.200. untuk golongan III A masa
kerja 0 tahun gaji pokoknya hanya sebesar Rp. 2.456.700 dan golongan III D masa
kerja 32 tahun gaji pokoknya hanya sebesar Rp. 4.568.800. untuk golongan IV A
masa kerja 0 tahun gaji pokoknya hanya sebesar Rp. 2.899.500 dan golongan IV E
masa kerja 32 tahun gaji pokoknya hanya sebesar Rp. 5.620.300. Dari uraian ini
terlihat bahwa tata cara penggajian PNS masih sangat jauh dari cukup untuk
hidup layak secara sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Dengan
golongan tertinggi masa kerja terlama gaji pokoknya hanya Rp. 5.620.300 atau
kurang dari Rp. 200.000 sehari. Bisa dibayangkan apabila dia tidak memiliki
jabatan maka tidak akan memperoleh tunjangan jabatan dan tunjangan kinerja.
Sehingga dengan berdasarkan ini saja adalah masuk akal apabila THR dari atasan
masih sangat diharapkan oleh para bawahan.
Untuk itu maka apabila kita masih
berharap untuk mencegah dan memberantas korupsi maka langkah awalnya adalah
mencegah dan memberantas THR atasan-bawahan. Dan ini akan bisa tercapai apabila
standar kebutuhan hidup minimalnya (sandang, pangan, papan, pendidikan,
kesehatan) sudah terpenuhi. Struktur penggajian PNS yang sekarang masih jauh
dari standar kebutuhan hidup minimum. Apalagi yang bekerja di perkotaan yang
tingkat kebutuhan hidupnya jauh lebih mahal lagi. Jangan pernah kita berharap
adanya pencegahan dan pemberantasan korupsi apabila sistem penggajiannya
sendiri masih belum mendukung untuk itu.
Permasalahan THR adalah
permasalahan kita semua. Bila PNS dan pejabat negara sudah berhasil kita buat
untuk tidak perlu memikirkan THR lagi di tahun 2019 maka birokrasi sudah bisa
kita harapkan terlepas dari beban korupsi. Dan birokrasi sudah bisa kita
harapkan untuk maksimal dalam melayani kebutuhan rakyat.
Salam reformasi.
14 juni 2018
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar