(Materi yang sama dimuat pada website www.birokratmenulis.org pada link http://birokratmenulis.org/mimpi-indah-munculnya-unit-layanan-pengadaan-nasional/).
Unit Layanan Pengadaan yang biasa
dikenal dengan singkatan ULP merupakan salah pekerjaan yang dijauhi di
birokrasi terutama di pemerintah daerah. ULP memiliki saudara kandung yaitu
Layanan Pengadaan Secara Elektronik yang biasa disingkat LPSE. ULP bekerja
secara online dengan memakai fasilitas yang dikelola LPSE. Proses teknis
pelelangan dilaksanakan oleh Kelompok Kerja ULP yang biasa disingkat Pokja ULP.
Salah satu prinsip dasar
pembentukan LPSE adalah untuk menghapus kontak langsung antara peserta lelang
dengan Pokja ULP. Sebelum LPSE dibentuk, pelaksanaan pelelangan hampir 100 %
bersifat manual di mana kontak langsung antara peserta lelang dengan Pokja ULP
(dulu panitia lelang) berlangsung. Kontak langsung ini diduga menjadi sarana
terjadinya penyimpangan dalam proses pelelangan. Bahkan di beberapa tempat
terjadi proses menghalang-halangi peserta lain untuk sampai di tempat pemasukan
penawaran baik itu dengan mengganggu perjalanan ataupun menciptakan kerumunan
massa sehingga peserta lelang lainnya tidak bisa mencapai kotak pemasukan
penawaran secara tepat waktu.
Dengan lahirnya LPSE maka seluruh
kontak langsung antara peserta lelang dengan Pokja ULP dihapuskan dan
digantikan dengan proses online mulai dari pengumuman pelaksanaan pelelangan
sampai pada tahapan sanggahan. Sedangkan pengaduan masih bersifat manual ke
(seharusnya) APIP (aparat pengawasan internal pemerintah).
Namun, apa daya, penghapusan
kontak langsung antara peserta lelang dengan Pokja ULP ternyata hanya pada proses
pelaksanaan tahapan pelelangan saja. Sedangkan di luar proses tahapan
pelelangan itu masih terus terjadi baik kontak inisiatif kedua belah pihak
maupun salah satu pihak mendatangi pihak lain. Bahkan sering terjadi kantor
atau rumah Pokja ULP didatangi untuk intervensi secara baik-baik maupun ancaman
kekerasan/premanisme. Akibatnya Pokja ULP harus bekerja bersembunyi di luar
kota. Belum lagi intervensi dari pimpinan kepada Pokja ULP. Bahkan terhadap ULP
Mandiri ataupun ULP Permanen Struktural intervensi ini tidak terelakkan karena
sudah menjadi takdir birokrasi bahwa hubungan atasan-bawahan dengan intervensi
perbedaannya tipis sekali. Pokja ULP yang akomodatif terhadap intervensi
tentunya akan nyaman di birokrasi namun rentan terhadap permasalahan hukum apabila
akomodatif tadi mengarah pada permainan penyimpangan pengadaan barang/jasa.
Namun apabila Pokja ULP menjaga independensinya tentu akan berseberangan dengan
intervensi sehingga mengakibatkan posisi Pokja ULP rentan terhadap mutasi
jabatan ataupun dicap pembangkang.
Dari pengamatan di sekitar maupun
secara online melalui media sosial ditemukan bahwa masih banyak keluhan tentang
independensi yang terintervensi yang menyebabkan banyaknya PNS yang enggan
ditugaskan menjadi Pokja ULP. Bahkan nyata terjadi PNS yang diutus untuk
mengikuti ujian sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah secara
sengaja tidak meluluskan dirinya agar terlepas dari beban penugasan di ULP. Sementara
di sisi lain semua proyek tidak akan terlaksana apabila proses pelelangan tidak
terselesaikan. Di sisi lain proses pengadaan barang/jasa pemerintah masih
merupakan salah satu prioritas (primadona) penindakan korupsi bagi aparat
penegak hukum termasuk di dalamnya KPK.
Mengingat pentingnya kelancaran
dan kenyamanan bekerja pada pengadaan barang/jasa pemerintah, juga pentingnya
pemberantasan korupsi di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah, perlu disusun
formula pencegahan sistemik agar permainan petak umpet antara Pokja ULP dan
aparat penegak hukum (APH) tidak terjadi terus-terusan. Kalau sudah menjadi
salah satu target operasi, rasanya privacy sebagai seorang warga negara rasanya
sudah hilang. Bahkan keluar malam untuk beli sate di pasar kumuh saja menjadi
tidak bebas karena dikira akan terjadi transaksi di tempat jual sate. Atau
minjam duit ke teman akibat gaji tidak cukup di akhir bulan dituduh sedang
transaksi atau gratifikasi.
Saya sendiri melihat bahwa
pemutusan kontak langsung antara peserta lelang dengan Pokja ULP melalui sarana
LPSE harus terus ditingkatkan. Yang perlu dicari formulanya adalah memutus
kontak langsung antara Pokja ULP dengan semua pihak yang mengintervensi proses
lelang yang harus dicarikan formulanya. Faktor utama munculnya intervensi yang
secara alami terjadi adalah teritorial yang sama antara Pokja ULP dengan pihak
pengintervensi. Faktor lainnya adalah hubungan atasan-bawahan. Teritorial dan
hubungan atasan-bawahan ini apabila masih menyertai proses pelelangan maka
sampai 50 tahun ke depan hidup sebagai Pokja ULP tidak akan pernah nyaman.
Saya menilai bahwa apabila kita
sepakat untuk menciptakan ULP yang nyaman dan tenteram maka masalah teritorial
dan hubungan atasan-bawahan harus dihapuskan. Untuk itu maka ULP Nasional
menjadi sangat relevan untuk dibentuk.
ULP Nasional secara SDM direkrut
dari seleksi SDM ULP seluruh pemerintah pusat dan daerah dengan standarisasi
dan spesialisasi yang ditentukan sebelumnya. ULP Nasional secara struktur
mebawahi ULP Regional dan ULP UPT (unit pelaksana teknis). ULP regional
membawahi beberapa provinsi. ULP UPT membawahi beberapa kabupaten/kota.
Sedangkan kementerian ditangani langsung oleh ULP Pusat.
Mekanisme kerjanya adalah
sebagaimana biasanya Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) (dulu pimpro) menyampaikan
HPS, Spesifikasi dan rancangan kontrak kepada ULP UPT pada pemerintah daerah
atau ULP Pusat pada kementerian. ULP UPT/Pusat melakukan pengkajian ulang
bersama dengan PPK. Bila berkas sudah dinyatakan lengkap maka ULP UPT/Pusat
menyerahkan berkas kepada ULP Nasional untuk dilakukan penugasan kepada Pokja
ULP untuk melakukan proses pelelangan sebagaimana biasa. Uniknya, ULP Nasional
memberi penugasan secara rahasia kepada Pokja ULP yang berbeda pulau dengan PPKnya. Misalnya PPK berada
pada instansi pemerintah daerah di pulau Sumatra maka ULP yang dipilih adalah
dari Pemerintah Daerah di Kalimantan atau Sulawesi misalnya. Sehingga dengan
demikian peserta lelang tidak tahu mau kepada siapa akan melakukan intervensi.
Demikian juga para pejabat asal proyek juga akan bingung akan mengintervensi
pada siapa. Demikian juga pimpinan daerah yang bertempat yang sama dengan ULP
yang ditugaskan juga tidak tahu bahwa di daerahnya sedang melelang paket proyek
daerah lain karena sifat rahasia penugasan dari ULP Nasional ke Pokja ULP.
Apalagi status kepegawaian Pokja ULP bukan lagi PNS Daerah tapi sudah PNS
terpusat di ULP Nasional.
Sedangkan paket proyek di
kementerian akan dilelangkan oleh ULP dari kementerian lainnya atau apabila
spesialisasi keahliannya tidak memungkinkan maka akan dilelang oleh ULP daerah
yang kapasitasnya berimbang dengan ULP kementerian.
Dalam hal ini diperlukan
standarisasi dokumen pelelangan dan standarisasi evaluasi pelelangan yang lebih
detil mengingat tidak sedikit kementerian melakukan tambahan persyaratan
administrasi dan teknis khas kementerian mereka untuk melengkapi persyaratan
pada dokumen lelang standar yang diterbitkan oleh LKPP (Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).
Untuk menjaga integritas dari SDM
maka diberikan remunerasi yang memadai dan tambahan penghasilan lainnya
sehingga mereka bisa kebal terhadap godaan materi. Juga dilengkapi dengan
sistem cek dan recek yang sistemik dan adanya lembaga penjaga kode etik di mana
setiap pelanggaran kode etik akan diberikan sangsi yang tegas untuk menjada
integritas dan independensi serta moral kerja. Juga dilakukan rotasi tempat
kerja agar menghalangi tumbuhnya sifat kekeluarkgaan dengan lingkungan
sekelilingnya. Sedangkan mekanisme audit dilakukan secara online.
ULP Nasional ini terlihat indah,
karena ini masih merupakan mimpi indah bagi kita semua. Saya berharap mimpi ini
bisa ditanggapi oleh para pengambil kebijakan terutama dari pihak aparat
penegak hukum yang bergerak di bidang pencegahan korupsi.
Pengadaan sehat, negara kuat.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
25 februari 2018.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar