(Materi yang sama dimuat pada website www.birokratmenulis.org pada link https://birokratmenulis.org/menggagas-asuransi-atas-kriminalisasi-pengadaan/).
Defenisi dari Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah
kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh Kementerian/Lembaga/Daerah/Institusi
yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh
kegiatan untuk memperoleh barang/jasa.
Sedangkan salah satu defenisi dari Asuransi adalah suatu
perjanjian antara dua pihak atau lebih, yang mana pihak penanggung mengikatkan
diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ketiga yang mungkin
akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan.
Bila kita membaca Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015
tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pasal 115 ayat (3) yang menyebutkan Pimpinan
Kementerian/Lembaga/Daerah/Institusi wajib memberikan pelayanan hukum kepada
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen/Unit Layanan
Pengadaan/Pejabat Pengadaan/Panitia Penerima Hasil Pekerjaan/Pejabat
Penandatangan Surat Perintah Membayar/Bendahara/Aparat Pengawasan Internal Pemerintah
dalam menghadapi permasalahan hukum dalam lingkup Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah. Sedangkan pada ayat (4) menyebutkan khusus untuk tindak pidana dan
pelanggaran persaingan usaha, pelayanan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) hanya diberikan hingga tahap penyelidikan. Bagi saya ayat (4) ini terlalu
abstrak dan tidak memandang terjadinya kemungkinan kriminalisasi.
Dari beberapa pemberitaan 70 persen kasus tindak pidana
korupsi itu bersumber dari proyek pengadaan barang/jasa. Bisa dibayangkan apa
yang akan dihadapi para praktisi pengadaan apabila seluruh atau sebagian dari
70 % tersebut benar-benar ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
Dugaan tindak pidana korupsi pada proses pengadaan
barang/jasa pemerintah harus dipandang secara objektif dan proporsional.
Apabila kesalahan pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah seluruhnya
dipandang secara pidana oriented maka apabila seluruh praktisi pengadaan
mengadakan mogok nasional atau moratorium pengadaan maka dipastikan seluruh
proses pembangunan akan terhenti seketika. Maka dari itu kesalahan pada proses
pengadaan barang/jasa pemerintah harus dibedah sedemikian rupa sehingga dapat
dipetakan antara kesalahan administrasi, kesalahan perdata, kesalahan pidana. Atau
dipetakan di mana kesalahan akibat ketidaktahuan, kurangnya pengalaman,
paksaan/intervensi dalam berbagai bentuknya atau memang kesengajaan.
Bila kita lihat kenyataan empiris di lapangan. Tidak bisa
dipugkiri bahwa tidak sedikit kasus pengadaan barang/jasa pemerintah yang
diduga mengalami kriminalisasi. Tidak sedikit juga diduga adanya proses
dikorbankan demi keselamatan pihak lain. Dan tidak bisa dipungkiri juga bahwa
memang banyak juga yang nyata-nyata ada tindak pidana korupsi. Dari semua itu negara
melalui Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 pasal 115 mewajibkan pimpinan
instansi negara untuk memberikan pelayanan hukum. Namun itu semua hanya indah
di angan-angan. Pada kenyataannya pelayanan hukum itu banyak yang hanya
angan-angan belaka. Dan tidak ada tindakan hukum terhadap pimpinan instansi
negara yang tidak melaksanakan amanah Perpres nomor 54 tahun 2015 pasal 115
tersebut. Satu persatu para praktisi pengadaan harus berurusan dengan permasalahan
hukum. Tidak sedikit materi yang harus dikeluarkan untuk membiayai permasalahan
hukum tersebut. Perpres nomor 4 tahun 2015 pasal 115 hanya membuat sakit hati
sebagian praktisi pengadaan yang berproses di permasalahan hukum. Mereka harus
mencari pengacara sendiri. Harus membiayai seluruh proses persidangan yang
harus diikutinya. Tidak jarang pengadilan berada jauh dari kediamannya. Belum
lagi biaya untuk menghadirkan saksi ahli yang berpengalaman. Dan kesemuanya
juga belum menjamin bisa lepas dari jeratan hukum. Tidak sedikit yang gugur
harus masuk bui.
Oleh karena itu, atas nama keadilan sosial, permasalahan
ini harus diselesaikan. Pelayanan hukum yang diwajibkan oleh Perpres nomor 4
tahun 2015 pasal 115 tersebut harus diterjemahkan lebih konkrit lagi. Saya
memandang situasi permasalahan hukum yang dihadapi oleh para praktisi pengadaan
sudah masuk pada kategori tanggung jawab hukum sesuai defenisi Asurasi di atas.
Pelayanan hukum yang diwajibkan oleh Perpres nomor 4 tahun 2015 ayat 115 salah
satunya adalah penyediaan dana Asuransi Pengadaan pada anggaran APBN/APBD. Di
samping pembiayaan hukum lainnya.
Permasalahannya adalah Asuransi Pengadaan ternyata belum
pernah ada dalam pentas sejarah perasurasian nasional. Namun dari uraian di
atas, sudah saatnya gagasan Asuransi Pengadaan ini direalisasikan.
Lembaga-lembaga terkait seperti LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah), IAPI (Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia), APPI (Asosiasi Pengacara
Pengadaan Indonesia) dan BPJS Ketenagakerjaan harus duduk satu meja untuk
membicarakannya. Apakah akan membentuk 1 jenis asuransi baru atau digabung
dalam asuransi ketenagakerjaan itu tidak masalah. Yang penting realisasinya.
Dari lebih 700 Kementerian/Lembaga/Daerah/Institusi ternyata
telah membentuk lebih dari 500 ULP (Unit Layanan Pengadaan). Masing-masing ULP
memiliki lebih dari satu Pokja ULP (Kelompok Kerja ULP). Masing-masing Pokja
ULP memiliki minimal 3 anggota. Bila kita asumsikan 1 ULP memiliki 2 Pokja ULP.
Dan masing-masing Pokja ULP memiliki 3 orang anggota. Maka 500 X 2 X 3 = 3.000
orang unsur ULP. Belum lagi unsur PPK, PA/KPA, PPHP, PPSPM dan unsur lainnya.
Dengan premi Rp. 1 juta (asumsi Rp. 100 ribu/bulan) maka sudah terkumpul dana
abadi sebesar Rp. 3 milyar dari unsur ULP pertahun. Belum lagi unsur lain.
Premi dibayar selama praktisi pengadaan aktif dalam proses pengadaan
barang/jasa pemerintah. Sedangkan klaim asuransi berlangsung seumur hidup.
Dengan kata lain premi yang dibayarkan selama aktif di pengadaan barang/jasa
akan menanggung seluruh biaya menghadapi permaslahaan hukum selama seumur
hidupnya.
Pengadaan sehat, negara kuat.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
1 juni 2017.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar