(Materi yang sama dimuat pada website www.birokratmenulis.org pada link https://birokratmenulis.org/paradigma-statis-dan-intervensi-yang-dapat-berujung-pada-kriminalisasi/)
Asosiasi Pengacara Pengadaan
Indonesia (APPI) DPW Sumatra Utara melaksanakan Diskusi Café APPI pada 21 April
2017 di Medan dengan tema : “Kriminalisasi Pengadaan Barang dan Jasa, Paradoks
Pembangunan Ekonomi dan Penegakan Hukum”. Pikiranku kembali melayang pada
kriminalisasi pengadaan secara empiris.
Pengadaan barang/jasa mengalami
perubahan yang mendasar sejak LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik)
dilaunching pada tahun 2010 dan secara tegas diwajibkan paling lambat tahun
2012 yang dicantumkan dalam Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemeritah. Perbedaan utama adalah pada pelelangan manual
keseluruhan tahapan pelelangan dilaksanakan secara manual. Pada pelelangan
secara elektronik seluruh tahapan pelelangan dilaksanakan secara elektronik
atau dengan kata lain tender online.
Namun perubahan itu hanya berputar
pada metode pelelangan. Sedangkan perilaku dan atmosfer ekosistem pengadaan
tidak mengalami perubahan yang berarti. Pada masa tender manual, seluruh
dinamika ekosistem pengadaan masih bisa diimbangi oleh praktisi pengadaan
dikarenakan sifat manual yang dimilikinya. Namun pada masa tender online di
mana sifat online yang dimiliki membuat pelelangan tidak memiliki batas ruang
wilayah dan tidak memiliki fleksibilitas dalam mengkotak-katik dokumen
penawaran. Akibatnya dinamika pada ekosistem pengadaan tidak terimbangi oleh
praktisi pengadaan.
Bagian yang paling berpengaruh
dari ekosistem pengadaan adalah peserta pelelangan dan pengaruh birokrasi.
Pada pelaksanaan pelelangan
online, seluruh perusahaan dari Sabang sampai Merauke bisa memasukkan penawaran
secara online. Persaingan menjadi begitu bebas. Praktisi pengadaan dihadapkan
pada ketidakberdayaan untuk melakukan penyimpangan mengingat semua dokumen
bersifat online dan mengendap secara permanen pada sistem LPSE. Dengan kata
lain tak bisa dikotak-katik. Namun perilaku sebagian peserta lelang masih
berparadigma lelang manual di mana apabila mereka kalah dalam pelelangan adalah
merupakan hasil permainan dan hasil kecurangan memenangkan perusahaan tertentu.
Akibatnya dengan atau tanpa melaksanakan mekanisme sanggahan maka terjadilah
proses pengaduan oleh peserta lelang yang kalah kepada Aparat Penegak Hukum
(APH). Walaupun pada Perpres nomor 54 tahun 2010 sudah diatur tentang mekanisme
pengaduan yang seharusnya disampaikan kepada Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah (APIP).
Sedangkan dari pengaruh birokrasi
juga mengalami paradigma yang nyaris sama. Unsur birokrasi tertentu, yang
biasanya lebih kuat powernya dari para praktisi pengadaan, melakukan intervensi
kepada praktisi pengadaan, dengan kata lain harus memenangkan perusahaan
tertentu pada pelelangan. Praktisi pengadaan dihadapkan pada ketidakberdayaan
di mana pada umumnya praktisi pengadaan hanya berani memenangkan perusahaan
yang memang layak untuk menang dan tidak memiliki keberanian untuk memenangkan
yang seharusnya kalah. Sifat pelelangan online yang permanen tidak bisa
mengakomodir permintaan dan intervensi birokrasi. Akibatnya birokrasi
menganggap bahwa praktisi pengadaan adalah anak buah yang tidak patuh, tidak
loyal dan tidak bisa menjalankan perintah atasan. Sehingga jabatan yang
dimiliki oleh praktisi pengadaan menjadi goyah dan tak jarang jabatan harus
dilepaskan.
Kriminalisasi dan ketidakstabilan
jabatan membuat para PNS menjadi tidak berminat untuk berkiprah di bidang
pengadaan barang/jasa. Apalagi pada periode 2015-2016 sebagai puncak dari
kriminalisasi pengadaan dan ditandai dengan penyerapan anggaran terendah dalam
sejarah bangsa ini. Hal ini membuat Presiden sebagai Kepala Pemerintahan
menjadi gerah dan harus mengumpulkan seluruh Kapolda dan Kejati se-Indonesia pada
selasa tanggal 19 Juli 2016 di Istana Negara Jakarta. Pada pengarahannya
Presiden memberikan Instruksi antara lain : diskresi tidak boleh dipidanakan,
administrasi tidak boleh dipidanakan, kerugian negara yang ditetapkan BPK diberi
peluang pengembalian selama 60 hari, kerugian negara harus konkrit dan tidak
mengada-ada, dan terakhir tidak diekspose ke media secara berlebihan sebelum
dilakuka penuntukan. Namun, pada kenyataannya masih ada APH yang tidak mematuhi
Instruksi Presiden tersebut.
Dari uraian singkat di atas, saya
merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut :
1. Kontak langsung dan hubungan kedinasan birokrasi harus diputus.
ULP harus dilepaskan dari hubungan birokrasinya. Dengan kata lain ULP harus
independen. Hal ini hanya bisa dicapai apabila ULP dikendalikan secara nasional
oleh LKPP atau Kemendagri. Permohonan tender disampaika oleh PPK kepada ULP
Nasional. ULP Nasional menugaskan personil membentuk tim pokja pengadaan yang
unsurnya dari luar propinsi asal PPK dan keanggotaannya dirahasiakan dan tidak
dipublikasikan. Dengan demikian intervensi peserta lelang dan intervensi
birokrasi bisa dihilangkan.
2. Perlunya internalisasi Instruksi Presiden ke dalam berbagai UU
di bidang penegakan hukum seperti UU Tipikor, UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHP
dan lain sebagainya. Demikian juga perlu interkoneksi dari berbagai UU di
bidang penegakan hukum tersebut dengan UU Administrasi Pemerintahan. Dalam hal
ini harus ada pihak yang mengambil inisiatif untuk uji materi seluruh UU
penegakan hukum tersebut ke Mahkamah Konstitusi sehingga seluruh UU penegakan
hukum tersebut selaras dan searah dengan Instruksi Presiden dan UU Administrasi
Pemerintahan.
3. Perlunya pembentukan Asuransi Pengadaan. Asuransi Pengadaan ini
memiliki mekanisme kerja menyerupai BPJS Kesehatan di mana setiap praktisi
pengadaan yang telah membayar premi asuransi pengadaan apabila mengalami
permasalahan hukum di bidang pengadaan otomatis akan mendapat layanan advokasi
hukum mulai dari pemanggilan pertama sampai pada fasilitas saksi ahli di
berbagai keahlian di pengadilan.
4. Pembentukan Penyidik Pengadaan. Selama ini kita kenal adanya
Saksi ahli Pengadaan yang direkrut oleh LKPP secara nasional. Ada juga Saksi
Ahli Pengadaan pribadi non-LKPP. Perlu juga dikembangkan Penyidik Pengadaan
yang bisa direkrut dari mantan praktisi pengadaan yang telah berpengalaman sebagai
mitra kerja APH dalam melakukan proses penyidikan dan penyelidikan. Keberadaan
Penyidik Pengadaan bisa mengarahkan APH agar tidak larut dalam pidanaisme.
5. Rekrutmen praktisi pengadaan ke dalam KPK. Akan sulit bagi KPK
untuk merumuskan program pencegahan korupsi di bidang pengadaan barang/jasa
apabila personil KPK di bidang pencegahan justru minim pengalaman di bidang
pengadaan barang/jasa. Oleh karena itu perlu kiranya KPK merekrut para veteran
pengadaan untuk memperkuat tim pencegahan korupsi di bidang pengadaan
barang/jasa. Karena sebagaimana dengan adagium yang menyatakan bahwa hanya para
mantan pelaku yang paham bagaimana mencegah terulangnya kesalahan.
Demikian beberapa pokok pikiran
yang bisa disampaikan dalam diskusi singkat kali ini. Mudah-mudahan forum yang
singkat ini bisa memberikan sumbangsih pemikiran terhadap perkuatan pengadaan
barang/jasa dalam upaya percepatan pembangunan nasional.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
19
April 2017
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar