(Materi yang sama dimuat pada website www.birokratmenulis.org pada link https://birokratmenulis.org/refleksi-pasca-rakor-pencegahan-korupsi-di-sumut/)
Pada hari kamis-jumat tanggal 6-7
April 2017 dilaksanakan Rapat Koordinasi Pencegahan Korupsi Terintegrasi di
Propinsi Sumatra Utara antara KPK dengan seluruh Kepala Daerah dan Ketua DPRD
se-Sumatra Utara. Acara meliputi beberapa paparan narasumber, e-planning, MOU
dan diskusi beberapa kelompok kerja. Rapat kerja ini merupakan salah satu dari
konsekuensi dibentuknya Satgas KPK di Sumatra Utara, satu dari enam Satgas KPK
yang dibentuk di enam propinsi tertentu.
Rakor kali ini lebih banyak
diwarnai modernisasi/elektronisasi birokrasi ditandai dengan paparan
e-budgeting dari Pemerintah Propinsi Sumatra Utara. Elektronisasi birokrasi
yang biasa dikenal dengan e-government merupakan salah satu upaya pencegahan korupsi
di mana dengan menggunakan teknologi informasi maka beberapa sisi manual
birokrasi tergantikan oleh sistem informasi. Dalam hal ini apabila persyaratan
yang dibutuhkan telah terpenuhi maka otomatis sistem akan bergerak sendiri
sampai mencapai akhir proses. Pencegahan korupsi yang bisa dicapai adalah hilangnya
proses menghambat-hambat dengan berbagai alasan. Misalnya di sektor perijinan
usaha, perencanaan anggaran dan lain sebagainya.
Salah satu paparan yang
dilaksanakan adalah paparan dari Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah. LKPP dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 dan
pelantikan kepengurusan LKPP dilaksanakan pada tahun 2008. LKPP kini berusia 9
tahun. Beberapa produk LKPP yang fenomenal adalah Unit Layanan Pengadaan (ULP),
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dan elektronik katalog (e-katalog),
di samping beberapa program lainnya. Paparan Kepala LKPP pada Rakor di Medan
dikarenakan terbatasnya waktu yang diberikan yaitu hanya 15 menit membuat ruang
gerak paparan menjadi sangat terbatas. Kepala LKPP hanya sempat mengupas
kelembagaan ULP yang belum independen dan menjelaskan keberadaan e-katalog.
Pengadaan barang/jasa di ULP
masih merupakan salah satu titik sentral terjadinya tindak pidana korupsi.
Pembenahan yang tepat dan terintegrasi dengan lingkunganya, yang biasa dikenal
dengan ekosistem pengadaan, akan efektif mencegah terjadinya tidak pidana
korupsi di sektor pengadaan barang/jasa. Upaya perkuatan kelembagaan ULP terus
diupayakan. Pada Rakornas ULP di Makasar tahun 2016 menghasilkan kesepakatan
untuk membentuk Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah. Sebelumnya ULP ada yang
bersifat adhoc, ada yang melekat pada fungsi salah satu instansi (biasanya pada
Biro/Bagian Administrasi Pembangunan atau Biro/Bagian Perlengkapan), ada juga
sebagai unit kerja dari instansi (Biro/Bidang/Bagian Pengadaan Barang/Jasa). Seandainya
Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah terbentuk maka fungsinya bukan hanya sebatas
tender menender proyek saja tapi juga mencakup fungsi pembinaan,
monitoring/evaluasi, penelitian dan pengembangan serta advokasi permasalahan
hukum. Dengan kata lain Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah merupakan miniatur
LKPP di daerah. Hanya saja dalam Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2016
tentang Perangkat Daerah memiliki atmosfer yang tidak mendukung pembentukan
Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah sehingga ketika pemerintah daerah melakukan
reorganisasi perangkat daerah tahun 2016 maka isu pembentukan Badan Pengadaan
Barang/Jasa Daerah tidak mendapat dukungan yang berarti.