Era
pemerintahan desa diawali dengan terbitnya UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Pemerintahan
desa dibentuk dengan spirit di mana desa telah berkembang dalam berbagai bentuk
sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri,
dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan
pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Pemerintahan desa didefenisikan sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Keberadaan pemerintahan desa semakin dikukuhkan dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang Juklak UU Desa. Peraturan
turunan di tingkat menteri juga sudah banyak diterbitkan.
Pada
APBN Perubahan tahun 2015 dialokasikan dana desa sebesar Rp. 20,77 trilyun atau
3,23 % dari total APBN. Di mana seharusnya alokasi dana desa adalah sebesar 10
% APBN. Bila dibagikan kepada seluruh desa yg berjumlah 72.944 desa maka setiap
desa memperoleh masing-masing Rp.284 juta. Pada APBN tahun 2016 dialokasikan
dana desa sebesar Rp.46,98 trilyun atau 6,5 % dari total APBN. Masih jauh dari
angka 10 %. Bila dibagikan kepada seluruh desa maka setiap desa akan memperoleh
Rp.565 juta perdesa. Sedangkan pada APBN tahun 2017 dialokasikan dana desa
sebesar Rp.60 trilyun dengan jumlah desa sebanyak 74.954 sehingga rata-rata
dana desa perdesa sebesar Rp.800 juta perdesa.
Pada fase 1 tahun pemerintahan
desa ini perlu dilakukan beberapa introspeksi, bila perlu dalam bentuk
otokritik demi perbaikan pemerinthaan desa itu sendiri.
Saya sendiri memendang perlu
perbaikan dari aspek regulasinya.
Yang pertama perlu perbaikan
adalah status perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari sekretariat desa,
pelaksana kewilayahan dan pelaksana teknis. Perangkat desa berstatus non PNS.
Pemerintahan desa tidak lepas dari tata kelola pemerintahan, terutama tata
kelola keuangan, aset, SDM dan audit. Tata kelola pemerintahan ini harus
kontinu dalam artian harus terarsip dengan baik dan dapat diakses sampai paling
tidak antara 10-15 tahun ke depannya. Dengan status perangkat desa yang non PNS
maka dapat dipastikan bila terjadi pergantian kepala desa yang membawa
konsekuensi pergantian perangkat desa maka akan terjadi diskontinu tata kelola
pemerintahan terutama tata kelola keuangan, aset, SDM dan audit. Tentu ini
tidak akan sehat dalam sebuah pemerintahan. Ini juga akan menyebabkan putusnya
akses informasi terhadap adanya penyelewengan pada kepemimpinan kepala desa
sebelumnya akibat pergantian perangkat desa. Untuk itu maka perlu dipikirkan
adanya staf permanen perangkat desa yang tidak ikut berganti akibat bergantinya
kepala desa. Dalam hal ini sekretariat desa harus memiliki staf permanen. Dan
menurut saya sekretariat desa seharusnya berunsurkan PNS dan bekerja
sebagaimana standar pemerintahan umum di desa. Sehingga informasi tentang
keuangan, aset, SDM dan audit bisa diperoleh dalam setiap kepemimpinan kepala
desa.
Yang kedua yang perlu perbaikan
adalah jenis belanja dana desa. Dengan alokasi Rp.800 juta perdesa akan
meningkatkan jumlah dan jenis barang yang akan dibelanjakan. Bukan tidak
mungkin akan dibelanjakan kepada aset bergerak maupun tidak bergerak yang
harganya ratusan juta rupiah. Bukan tidak mungkin desa akan berniat membeli
mobil dinas kepala desa atau membeli peralatan permesinan untuk BUMDesa. Sampai
saat ini pemerintahan desa belum memiliki panduan tentang jenis barang yang
boleh dan tidak boleh dibelanjakan. Dalam keadaan ketiadaan panduan maka akan
ada potensi untuk munculnya kesalahan dan dikhawatirkan akan berujung ke
kesalahan pidana. Sebelum itu terjadi maka perlu kiranya Kemendagri menerbitkan
buku panduan jenis barang yang boleh dan tidak boleh dibelanjakan.
Yang ketiga yang perlu perbaikan
adalah peraturan tentang pengadaan barang/jasa desa. Dengan angka Rp. 800 juta
perdesa maka bukan tidak mungkin desa akan membelanjakan anggaran pada barang
atau konstruksi dengan nilai di atas Rp200 juta. Peraturan pengadaan
barang/jasa di desa yang sekarang ini masih terlalu sederhana dan bernada padat
karya. Perlu pengaturan tentang tender desa, katalog desa serta perlu tidaknya
sertifikasi pada pengelola pengadaan di desa.
Yang keempat yang perlu perbaikan
adalah tentang pendamping desa. Belum semua desa memiliki pendamping desa. Dalam
hal ini perlu percepatan pengadaan pendamping desa. Bila perlu pemerintah
daerah diberi kewenangan untuk mengusulkan pendamping desa. Harus diakui bahwa
minat para sarjana untuk menjadi pendamping desa masih sangat kurang. Untuk itu
perlu disiasati agar dalam proses perkuliahan agar dibuat mata kuliah
PKL/magang menjadi pendamping desa selama 1 semester dengan beban 2 SKS sebagai
mata kuliah pilihan. Hal ini akan mendorong para mahasiswa berkenalan dengan
pemerintahan desa dan bagi yang berminat menjadi kepala desa atau perangkat
desa. Tentunya pemerintahan desa harus dipandang oleh para sarjana sebagai
lapangan kerja yang baru yang lebih menantang dikarenakan memiliki fungsi
sosial kemasyarakatan.
Yang kelima yang perlu diperbaiki
adalah pola hubungan tata negara antara Kementerian Desa dengan struktur
pemerintahan daerah. Tentu dari aspek rentang kendali adalah tidak mungkin bagi
Kementerian Desa untuk bisa memantau dan membina 74.954 desa seIndonesia.
Diperlukan pola hubungan kerja dengan pemerintah daerah. Atau dengan membentuk
UPT disetiap pemerintah daerah.
Demikian kira-kira hal yang perlu
mendapat pembenahan berbasis regulasi. Kita berharap dana desa tidak bergerak
liar. Regulasi adalah pagar agar dana desa dipergunakan sesuai tujuan berbangsa
dan bernegara dalam upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
28 Desember 2016.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar