Bila kita baca UU nomor 31 tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 2 maka ditemukan
defenisi dari korupsi yaitu setiap orang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Bila dilihat pada posisi
lebih awal lagi bahwa tindak pidana korupsi akan menghambat pembangunan
nasional, menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional. Maka
disusunlah UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan harapan lebih efektif
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Pergerakan pemberantasan korupsi
bila dipandang dari kacamata UU nomor 31 tahun 1999 sudah tidak konsisten lagi
kepada tujuan penyusunannya yaitu pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Sebagian besar pemberantasan korupsi justru berbentuk penindakan korupsi baik
yang dilakukan oleh KPK maupun Kejaksaan dan Kepolisian.
Dari defenisinya, korupsi akan
menghambat pertumbuhan ekonomi. Akhir-akhir ini, gerakan pemberantasan korupsi
berbentuk penindakan korupsi justru tidak linear dengan peningkatan pertumbuhan
ekonomi dalam bentuk penyerapan anggaran. Penyerapan anggaran identik dengan
perputaran anggaran terutama di sektor pengadaan barang/jasa pemerintah. Aktor
utama penyerapan anggaran adalah panitia
tender dan pimpro. Proyek bisa dikerjakan apabila proses tender berjalan dan
kontrak kerja berjalan. Gerakan pemberantasan korupsi justru tidak linear
dengan percepatan penyerapan anggaran. Yang terjadi justru sebaliknya. Sebagian
besar PNS tidak bersedia menjadi aktor penyerapan anggaran (panitia tender dan
pimpro). Kalaupun ada yang bersedia, ternyasta tidak akan bertahan lama.
Derasnya arus penindakan korupsi sampai menyentuh wilayah administrasi dan
teknis membuat ranah pidana sudah melewati batas kewajaran. Dan ini
mengakibatkan anggaran tidak terserap dan tersimpan di kas negara/daerah.
Bahkan sampai pada triwulan ketiga tahun anggaran berjalan sebagian anggaran
negara belum terserap dengan baik.
Hal ini membuat risau presiden.
Beberapa kali pertemuan presiden dengan kepala daerah serta pimpinan aparat
penegak hukum seIndonesia digelar. Terakhir pada tanggal 19 Juli 2016 yang lalu
yang mengevaluasi lima kebijakan. Namun toh belum ada perubahan yang
signifikan. Diagnosa belum sesuai dengan obatnya.