Mulai tahun 2015 Pemerintah
Provinsi akan mengambil alih pengelolaan Sekolah Menengah Atas dan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMA/SMK) dari Pemerintah Kabupaten/kota. Hal itu mempedomani
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang menyatakan
pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota yang salah satunya adalah pembagian urusan pemerintahan bidang
pendidikan yang menyatakan bahwa manajemen pengelolaan SMA/SMK berada di tangan
pemerintah provinsi, sementara pemerintah kabupaten/kota hanya menangani
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Di sisi lain, Rencana Strategis
(Renstra) Depdiknas 2005-2009 menyatakan bahwa rasio pendidikan menengah
kejuruan dan pendidikan menengah umum ditargetkan sebesar 50:50 pada tahun 2010
dan 70:30 pada tahun 2015. Namun kenyataan sampai saat ini jumlah SMU masih
jauh lebih banyak dari SMK.
Para pelajar tamatan SMU
cenderung untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi terutama setingkat
S1. Sedangkan pelajar tamatan SMK cenderung untuk melanjutkan pendidikan ke
politeknik atau mengikuti pendidikan kursus praktis untuk dipakai sebagai bekal
mencari pekerjaan.
Mari kita lihat situasi sosial
saat ini. Suasana menjelang bulan Ramadhan. Bulan puasa identik dengan kenaikan
harga kebutuhan pokok. Permintaan meningkat yang menyebabkan harga naik.
Sehingga perlu tambahan pasokan barang dalam waktu yang singkat untuk
menormalkan kembali harga pasar. Pasokan dalam waktu singkat hanya bisa
ditempuh lewat impor barang pangan.
Tahun lalu kta mengimpor beras
lebih dari 200 ribu ton, jagung lebih dari 2 juta ton, kedelai lebih dari 1,5
juta ton, gandum lebih dari 4,5 juta ton, tepung terigu lebih dari 60 ribu ton,
gula pasir lebih dari 50 ribu ton, gula
tebu lebih dari 2 juta ton, garam lebih dari 1 juta ton. Dan komoditi pangan
lainnya yang semuanya tidak mampu kita penuhi sehingga harus impor. Bayangkan berapa
juta orang lapangan kerja yang bisa kita ciptakan bila impor bahan pangan ini
bisa kita rubah menjadi swasembada pangan.
Momentum bulan puasa harus kita
manfaatkan untuk memulai menyusun strategi jangka pendek swasembada pangan
berbasis SMK. Pengelolaan SMK di bawah Pemerintah Propinsi seharusnya akan
memperkuat pengembangan SMK dalam kaitannya dengan target swasembada pangan. Bila
kita serius untuk memenuhi rasio 70:30 maka pemerintah propinsi harus
menggenjot pertambahan SMK berbasis pangan (SMK pertanian, SMK peternakan, SMK
perkebunan, SMK kehutanan, SMK perikanan, SMK kelautan dll). Tahun ajaran baru
harus dimulai dengan penambahan SMK baru berbasis pangan. Mengingat basis
pangan berada di pedesaan dan kabupaten maka lokasi penambahan SMK berbasis
pangan seharusnya di pedesaan dan kabupaten. Hal ini harus diimbangi dengan
penambahan guru baru, fasilitas laboratorium, lahan. Untuk itu maka pemerintah
propinsi harus dibantu oleh Kementerian Pendidikan dan perbankan serta lembaga
bantuan keuangan lainnya agar swasembada pangan berbasis SMK ini bisa dicapai.
Sebagai sebuah SMK maka seharusnya kurikulum didominasi oleh praktek kerja,
bukan hanya belajar mengajar teori di kelas. Seluruh lahan kosong, lahan
gundul, lahan kritis, sungai, danau dan laut harus menjadi objek praktek
seluruh SMK berbasis pangan.
Apabila rasio 70;30 ini telah
tercapai maka pemerintah propinsi harus memikirkan peningkatan status SMK
berbasis pertanian menjadi perguruan tinggi setingkat D-1. Jangan pernah
memikirkan dari mana dana untuk itu. Total dana yang digunakan untuk impor
pangan jauh lebih dari cukup untuk meningkatkan status SMK menjadi perguruan
tinggi setingkat D-1. UU mengamanahkan bahwa minimal 20 % anggaran pemerintah
harus dialokasikan ke sektor pendidikan. Saat ini angka 20 % masih termasuk
gaji guru. Seharusnya angka 20 % di luar gaji guru. Variasi dana BOS (bantuan
operasional sekolah) juga harus didukung untuk meningkatkan daya dukung SMK
terhadap swasembada pangan ini. Yang tidak kalah pentingnya adalah 1.000
perusahaan dan orang terkaya di negeri ini wajib membantu permodalan dan
pemasarannya.
Nusantara begitu subur. Lahan begitu
luas. SDM ratusan juta jiwa. Sebuah paradoks kehidupan bernegara apabila kita
terus-terusan impor bahan pangan.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
1 juni 2016.
- * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar