Bila kita menelaah UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Pada pasal 1 nomor 3 disebutkan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi
adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi
melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 6 menyebutkan KPKmempunyai
tugas : a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi ; b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi ; c. melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi ; d. melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi ; dan e. melakukan monitor
terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Pasal 14 menyebutkan dalam
melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang : a. melakukan pengkajian terhadap sistem
pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah ; b. memberi
saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan
jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi;
Saya mencoba menggarisbawahi pada pasal 1 nomor 3 bahwa
mencegah terlebih dahulu disebutkan sebelum memberantas korupsi. Dan upaya koordinasi, supervisi dan monitor
lebih dahulu disebutkan sebelum penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan. Pada pasal 6 saya menggaris bawahi melakukan tindakan pencegahan
tindak pidana korupsi dan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sedangkan pada pasal 14 saya menggaris bawahi memberi saran kepada pimpinan
lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan.
Dalam beberapa waktu akhir-akhir ini KPK sudah melakukan
koordinasi dengan beberapa lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung, Mabes
Polri, BPK dan instansi lainnya. Semua itu dalam rangka sinergi dalam
pemberantasan korupsi. Namun belum pernah saya melihat dan mendengar KPK
berkoordinasi dengan lembaga atau instansi dalam rangka meningkatkan koordinasi
pencegahan korupsi.
Pada seleksi pimpinan KPK jilid 4 tahun 2015 yang lalu ada
suatu hal yang menarik yaitu terpilihnya Agus Raharjo mantan Kepala LKPP (Lembaga
Kebijakan Pengadaan barang/Jasa Pemerintah). Isu pencegahan korupsi yang
menjadi andalan dari Agus raharjo cukup menarik perhatian di Komisi III DPR. Sehingga
KPK jilid 4 dipandang sebagai era pencegahan korupsi.
Namun, hingga beberapa bulan perjalanan KPK jilid 4, belum
terlihat sama sekali warna dari pencegahan korupsi yang menjadi isu andalan
Ketua KPK. Ini menarik. Di satu sisi ternyata pasal-pasal dalam UU KPK masih
didominasi oleh materi penindakan korupsi. Di sisi lain belum ada perombakan
pada unsur pimpinan dan staf pada deputi bidang pencegahan. Ditambah dengan
belum adanya koordinasi yang fokus pada lembaga dan instansi yang berpotensi
mengembangkan pencegahan korupsi. Dalam hal ini maka sudah waktunya disusun
Peraturan Pemerintah tentang Pengembangan Visi Pencegahan yang sudah barang
tentu draft Peraturan Pemerintah tersebut harus disusun oleh KPK sendiri.
Satu benang merah dari terpilihnya Agus Raharjo adalah secara
kebatinan seharusnya KPK bersinergi dengan LKPP dalam pengembangan visi
pencegahan korupsi. Semua isu yang dibawakan oleh Agus Raharjo pada saat seleksi
pimpinan KPK di Komisi III DPR adalah semuanya merupakan program di LKPP. Dan
mayoritas program LKPP adalah dalam rangka pencegahan tindak pidana korupsi. Sudah
waktunya KPK menyusun formula pencegahan korupsi bekerjasama dengan LKPP. Dan
ini merupakan amanah dari UU KPK pasal 14.
Namun saya melihat kalaupun sinergi antara KPK dan LKPP
dibangun untuk saat ini maka anatomi LKPP sendiri belum mendukung baik dari
segi kuantitas maupun rentang kendali. Indonesia memiliki 34 pemerintah
propinsi, 412 pemerintah kabupaten, 93 pemerintah kota, 34 kementerian, 30
lembaga non kementerian, 119 BUMN dan 9 lembaga negara. Kesemuanya tunduk pada
peraturan yang dibuat LKPP dalam hal pengadaan barang/jasa pemerintah.
Sedangkan anatomi LKPP itu sendiri 1 sekretariat utama, 1
inspektorat dan 4 deputi. Diperkirakan jumlah staf LKPP hanya sekitar 200
orang. Dengan anggaran tahun 2016 di bawah 200 milyar (data RUP tahun 2016). Dengan
total staf dan anggaran yang demikian, bagaimana mungkin kita bisa berharap
pada LKPP dalam rangka pencegahan korupsi yang bersinergi dengan KPK ?
Bagaimana LKPP harus menyikapi permintaan konsultasi dan pendampingan dari
ribuan ULP, LPSE dan PPK/pimpro seIndonesia ? Sedangkan ribuan ULP, LPSE dan
PPK/pimpro seIndonesia tersebut menyandarkan harapannya kepada LKPP agar mereka
tidak terjerat kepada masalah hukum ataupun tertimpa kriminalisasi pengadaan ? Jujur
saja, saat ini banyak perangkat organisasi pengadaan yang harus gigit jari
akibat permohonan pendampingan tidak bisa dipenuhi oleh LKPP akibat
keterbatasan staf.
Saya sendiri tetap berharap sinergi KPK – LKPP tetap harus
direalisasikan dengan syarat LKPP harus dimekarkan. LKPP sebagai sebuah lembaga
harus dirobah menjadi Badan yaitu Badan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
(BKPP). Perpres nomor 106 tahun 2007 harus dirobah. Dengan berbentuk badan maka
LKPP bisa membentuk perwakilan di seluruh propinsi, atau paling tidak bisa
membentuk perwakilan regional. Mimpi indah LKPP tentang pembentukan Diklat Barang/jasa,
Badan Penyelesaian Sengketa Pengadaan, vertikalisasi ULP dan LPSE, pengembangan
peran dan fungsi saksi ahli pengadaan serta agen pengadaan bisa terealisasi. Badan
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah akan menjadi instansi yang kuat
dalam mengemban tugasnya sebagai mitra kerja utama KPK dalam mewujudkan visi
pencegahan korupsi. Dengan adanya kantor perwakilan di daerah maka rentang
kendali pencegahan korupsi akan semakin luas. Untuk ini maka wajar apabila LKPP
yang sudah menjadi Badan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa pemerintah diberi
alokasi anggaran kurang lebih 5 trilyun demi suksesnya visi pencegahan korupsi.
Sedangkan efek domino dari visi pencegahan korupsi ini adalah percepatan
penyerapan anggaran.
Semoga KPK bisa menerima saran ini dan meneruskannya
kepada Presiden.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
28 februari 2016.
- * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar