Pada salah satu pertemuan tingkat
pimpinan negara ini, diungkap beberapa data dan fakta bahwa tujuan bernegara
yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur sedang menghadapi ujian berat.
Hingga akhir bulan agustus 2015,
serapan belanja modal dalam APBN baru berada pada kisaran 20 %. Bulan September
2015 berada pada kisaran 55 %.
Hingga bulan Mei 2015, dana APBD
seIndonesia mengendap pada kas daerah yang umumnya berada pada bank Pembangunan
Daerah sebanyak 256 trilyun. Dan pada bulan Agustus 2015 dana tersebut
membengkak menjadi 273 trilyun.
Baik secara nasional maupun lokal
daerah, dana tersebut apabila dibelanjakan akan sangat membantu perputaran
ekonomi, apalagi dengan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional
sekarang ini.
Ada beberapa faktor penyebab
lambatnya penyerapan anggaran APBN/APBD. Faktor dominan adalah adanya ketakutan
luar biasa dari pejabat pusat dan daerah. Pada umumnya akibat terlalu seringnya
gonta ganti peraturan sehingga untuk mengikuti perkembangan peraturan dan
mempelajari peraturan baru serta kekhawatiran akan melakukan kesalahan
menyebabkan para pejabat birokrasi dan pengelola proyek (pimpro dan panitia
lelang) menjadi sangat lamban dalam melaksanakan program dan kegiatan pada
lingkup tugasnya. Kesalahan memahami dan menerapkan peraturan sering kali
berujung pada permasalahan hukum atau dengan kata lain kriminalisasi hukum
administrasi negara. Namun bagaimanapun juga roda birokrasi harus terus berputar.
Para pejabat birokrasi dan pengelola proyek harus tetap menjalankan tugasnya.
Nah, dalam menjalankan tugasnya ini banyak terjadi ketidaksempurnaan pekerjaan.
Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya ketidaksempurnaan pekerjaan baik
itu faktor intern maupun faktor ekstern.
Dalam pelaksanaan tender proyek
misalnya tidak sedikit peserta tender yang kalah selalu berusaha membuat
pengaduan. Minimal niatnya untuk membuat repot panitia tender. Akibat terlalu
mudahnya membuat pengaduan ditambah tidak adanya sangsi terhadap pengaduan yang
asal-asalan membuat panitia lelang sangat direpotkan oleh pengaduan dari pihak
yang kalah. Dan tidak sedikit yang menjadi korban. Padahal pada Peraturan
Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pasal 117
ayat (2) menyatakan bahwa pengaduan tender disampaikan kepada Aparat Pengawasan
Intern Pemerintah APIP) disertai bukti-bukti kuat.
Dalam pelaksanaan kontrak
misalnya tidak sedikit kualitas proyek yang di bawah standar. Salah satu faktor
adalah rendahnya pemahaman dan pengalaman para pengelola proyek tentang
manajemen proyek. Faktor lain adalah tidak sedikit perusahaan yang memang nakal
dan ingin mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan
kualitas pekerjaan dan tanpa mempertimbangkan pimpro akan menjadi korban. Di
sini diperlukan standarisasi baik di ringkat pengelola proyek maupun di tingkat
perusahaan. Apabila pada suatu instansi tidak memiliki PNS yang kompeten untuk
menjadi pimpro maka agar diwajibkan meminjam PNS dari instansi lain untuk
menjadi pimpro. Demikian juga secara berkala perusahaan harus menjalani audit
terutama audit SDM. Karena sering kali SDM sebuah perusahaan berubah-ubah
padahal pada saat pelaksanaan tender dan pelaksanaan kontrak antara
administrasi dan kenyataan seharusnya tidak ada perbedaan.
Dalam beberapa forum resmi saya
sudah sering mengusulkan agar mekanisme pengaduan ini diseragamkan antar
instansi negara. Dalam mekanisme pengadaan barang/jasa pemerintah telah diatur
bahwa masyarakat boleh menyampaikan pengaduan ke aparat pengawas internal
pemerintah (Inspektorat) disertai bukti-bukti yang kuat. Praktek yang sering
terjadi adalah pengaduan jarang memiliki bukti kuat dan pada umumnya hanya
sekedar pokoknya mengadu dengan tuduhan tanpa bukti permulaan sama sekali. Tidak
sedikit pengaduan berbentuk sangat umum dan luas yang mengakibatkan instansi
pemerintah yang diadukan kewalahan menjelaskan pertanyaan yang sangat luas
jangkauannya. Untuk mengatasi hal ini maka perlu diatur mekanisme pengaduan dan
saringan yang sistemik sehingga pengaduan tidak membuat repot pejabat birokrasi
dan pengelola proyek. Saya sendiri mengusulkan agar pengaduan diatur sedemikian
rupa sehingga apabila pengaduan terbukti tidak benar maka ada sangsi yang jelas
terhadap pengadu. Bagaimanapun juga pengaduan yang asal-asalan akan
memperlambat proses pembangunan negara dan memperlambat penyerapan anggaran
dalam rangka mensejahterakan masyarakat.
Di samping itu harus ada pemisahan
yang jelas terhadap jenis-jenis pengaduan. Secara garis besar pengaduan terbagi
dalam tiga kategori. Kategori pertama pengaduan administratif. Kategori kedua
pengaduan perdata. Kategori ketiga pengaduan pidana. Dalam sebuah kesalahan
tentu mengandung ketiga unsur kesalahan tersebut namun harus dilihat aspek mana
yang dominan, aspek administrasikah ? aspek perdatakah ? aspek pidanakah ? Dari
ketiga kategori tersebut juga harus dilakukan pemisahan yang tegas tugas dan
fungsi Inspektorat (Inspektorat Jenderal dan Inspektorat Daerah), BPKP, BPK,
PTUN dan lembaga penegak hukum. Apabila unsur kesalahan administrasi dan teknis
maka penegak hukum seharusnya menyerahkan penanganannya kepada Inspektorat.
Sedangkan apabila unsur kesalahannya bersifat perdata agar menyerahkan
penanganannya kepada PTUN atau Arbitrase.
Hal di atas harus dilakukan
secara hati-hati. Jangan sampai terjadi langkah-langkah percepatan penyerapan
anggaran justru membuat birokrasi merasa kebal hukum dan semakin leluasa
membuat kesalahan. Maka sangsi administrasi, teknis dan sangsi perdata harus
konsisten dilaksanakan.
Di sisi lain, perlu kiranya pertemuan
antar instansi nrgara (birokrasi, lembaga audit, lembaga penegak hukum) yang
baru-baru ini dilaksanakan untuk melakukan follow up dalam bentuk melahirkan
peraturan baru serta merevisi beberapa peraturan yang sudah ada. Apabila
berbentuk UU maka perlu dilahirkan PERPU sambil menunggu revisi UU yang baru.
Penindakan korupsi harus memprioritaskan sasaran utama pada dalang korupsi dan
invisible hand, bukan kepada petugas administrasi yang sering menjadi korban
keadaan.
Satu hal lagi yang perlu
diperhatikan adalah percepatan penciptaan lapangan kerja baru agar pihak-pihak
yang selama ini menjadikan kesalahan-kesalahan birokrasi sebagai alat untuk
memeras birokrasi bisa mencari lapangan kerja baru yang bisa memenuhi kebutuhan
hidupnya. Pihak yang seperti ini apabila tidak mau dibina agar dilakukan
penindakan tegas dengan tuduhan menghambat pembangunan.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
12 november 2015
- * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar