Ujian nasional akan berlangsung pada
13-15 April untuk SMU/SMK sederajad dan 4-7 Mei untuk SMP sederajad. Sedangkan
untuk tingkat SD tidak diberlakukan UN. Berbeda dengan tahun tahun sebelumnya,
UN kali ini tidak mencekam lagi. UN sudah tidak lagi menjadi penentu kelulusan.
Perbandingan hasil UN dan ujian sekolah sudah 50 : 50. Kelulusan siswa
diserahkan kepada sekolah masing-masing.
UN sekarang apa adanya. Ini akan
menghilangkan stress pikiran yang menyertai UN tahun sebelumnya. Dulu yang stress
bukan hanya siswa peserta ujian, tapi juga kepala sekolah yang apabila ada
siswanya yang tidak lulus ujian maka jabatannya akan terancam dicopot. Demikian
juga Kepala Dinas Pendidikannya. Ujung-ujungnya kepala daerah juga ikut stress
karena akan merasa malu kepada pemda tetangga bila ada di daerahnya siswa yang
tidak lulus ujian. Apalagi kepala daerah incumbent akan merasa popularitasnya
berkurang apabila kelulusan tidak 100 %. Kesibukan mendadak para guru yang
mengawasi ujian secara diam-diam dikerahkan mengajari siswa yang ujian tidak
akan terdengar lagi.
Di sisi lain, UN apa adanya ini
telah memicu sebagian besar siswa untuk merasa tidak perlu lagi belajar
mati-matian menghadapi UN. Sebagian kecil (?) malah merasa UN ada atau tidak
ada sepertinya tidak ada bedanya, toh pasti lulus, pikirnya. Demikian juga di
kalangan guru dilanda hal yang sama. Yang akan belajar mati-matian hanyalah
beberapa persen siswa yang termasuk kategori pintar dan kutu buku serta berniat
melanjutkan ke perguruan tinggi. Dan sekolah yang akan serius menghadapi UN
diperkirakan hanya pada sekolah tertentu seperti sekolah favorit.
Bila kita perhatikan angka
partisipasi kasar untuk jenjang perguruan tinggi maka hanya 23 % total siswa
yang berkesempatan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Artinya 77 %
tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Dari 77 % tersebut sebagian di antaranya
memasuki dunia kerja, sebagian lagi terombang-ambing menjadi pengangguran,
sebagian mencoba berwirausaha dan sebagian memasuki kehidupan berumah tangga.
Biasanya yang berminat
melanjutkan ke pendidikan tinggi adalah tamatan SMU. Sedangkan yang siap
memasuki lapangan kerja adalah tamatan SMK. Dengan angka 23 % yang melanjutkan
ke perguruan tinggi maka persentase tamatan SMU yang tidak melanjutkan
pendidikan ke perguruan tinggi cukup besar jumlahnya.
Jumlah SMU di Indonesia sebanyak
10.765 unit sekolah. Sedangkan jumlah SMK sebanyak 7.592 unit sekolah.
Perbandingan ini tidak linear dengan jumlah perguruan tinggi dengan kata lain
andai semua pelajar ingin melanjutkan ke perguruan tinggi minimal setingkat D-1
maka jumlah perguruan tingginya tidak mencukupi.
Untuk itu maka UN selain
berfungsi sebagai instrumen pemetaan kondisi pendidikan nasional juga harus
dipergunakan sebagai instrumen memproyeksi jumlah dan komposisi pendirian dan
pengembangan perguruan tinggi.
Yang pertama yang harus dicermati
adalah bahwa sebagian dari tamatan SMU/SMK ingin langsung memasuki dunia kerja.
Selain faktor ekonomi juga faktor keinginan pribadi. Apalagi telah berkembang
pemahaman bahwa apabila telah memiliki uang maka pendidikan yang lebih tinggi
bisa diikuti sambil bekerja. Hal ini harus diimbangi dengan meningkatkan jumlah
SMK baru di seluruh pelosok negeri. SMK baru ini harus disesuaikan dengan
potensi daerahnya sehingga jangan sampai semua SMK baru ditempatkan di ibukota
kabupaten. Sedangkan pada tamatan SMU yang belum memiliki keterampilan teknis
bisa belajar praktis di lembaga latihan kerja. Untuk ini maka lembaga latihan
kerja baik milik pemerintah maupun swasta harus didirikan di seluruh pelosok
negeri.
Yang kedua yang harus dicermati
adalah sebagian besar tamatan SMU/SMK berada di pedesaan. Sedangkan sebagian
besar perguruan tinggi berada di perkotaan, terutama di ibukota provinsi. Maka akan
terjadi urbanisasi besar-besaran dari desa ke kota dalam rangka menempuh
pendidikan tinggi. Dan setelah selesai menempuh pendidikan tinggi lebih
cenderung mencari pekerjaan di kota. Untuk itu maka perlu dikembangkan
pendirian perguruan tinggi setingkat D-1 sampai D-3 berbasis pedesaan seperti
jurusan pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, perikanan dengan
kombinasi mata kuliah praktek wirausaha berbasis pedesaan tersebut. Sedangkan
status SMK perlu dikaji untuk dikembangkan menjadi setingkat D-1 sesuai
jurusannya. Di satu sisi ini akan dapat menghambat laju urbanisasi. Di sisi
lain akan dapat meningkatkan kualitas pembangunan desa. Serta mendukung
ketahanan pangan.
Yang ketiga adalah beasiswa
pendukung kesehatan dan pendidikan desa. Aparat birokrasi pedesaan terutama di
bidang pendidikan dan kesehatan selalu kurang karena PNS yang ditugaskan ke
desa sebagian besar berasal dari kota sehingga ketika bertugas di pedesaan
tidak betah dan berusaha mengurus kepindahan kembali ke kota asalnya. Perlu
dipikirkan beasiswa ikatan dinas di bidang pendidikan (guru) dan kesehatan
(dokter, bidan, perawat) di mana siswa terbaik dari desa tersebut diberikan beasiswa
ikatan dinas dengan kata lain setelah selesai pendidikan akan bertugas di
desanya selama jangka waktu ikatan dinas misalnya selama 10 tahun. Pola ini
akan lebih murah daripada Kemenkes membuat program dokter spesialis masuk desa
atau dokter PTT yang gajinya lebih tinggi dari gaji seorang kepala RSUD. Atau
bidan desa yang gajinya lebih tinggi dari gaji bidan desa PNS. Juga akan lebih
efektif karena dengan berasal dari desa tersebut dipastikan akan lebih betah
tinggal di desanya. Apabila telah melewati masa ikatan dinas diperbolehkan
pindah ke kota sebagai pemberian kesempatan untuk mengembangan karir yang lebih
baik.
UN sebagai sebuah parameter harus
menghasilkan terobosan baru, bukan hanya sekedar kotak katik angka angka.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
11 april 2015.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar