Salah satu gejala perkotaan
adalah kemacetan. Hilir mudik manusia dengan segala macam tujuan dan urusan
melewati jalan yang sama. Ketika arus manusia dalam kenderaan tidak tertampung
dengan baik oleh luas jalan maka terjadilah kemacetan. Kenderaan melaju seperti
siput.
Kemacetan secara instan
diselesaikan dengan membangun jalan tol. Bagi yang tidak sabar ataupun dikejar
waktu maka pengendara akan memilih jalan tol sebagai solusi kemacetan. Jalan
tol tidaklah gratis, harus bayar. Jalan tol dikelola secara bisnis. Setiap ruas
jalan tol memiliki harga tersendiri.
Sayang sekali, ternyata jalan tol
juga memiliki kelemahan yang terkait langsung dengan waktu. Transaksi biaya
pemakaian jalan tol menjadi salah satu titik lemah pemakaian jalan tol. Angka
biaya yang harus dibayar ternyata menimbukan masalah tersendiri. Nilai nominal
biaya pemakaian jalan tol sangat tidak bersahabat dengan waktu. Angka yang bukan kelipatan puluhan
ribu atau kelipatan lima ribu rupiah menimbulkan masalah baru. Bayangkan, bila
antrian pembayaran pemakaian jalan tol dengan angka Rp. 8.500 misalnya, sopir
harus merogoh saku untuk mengambil uang, sering kali tidak memakai uang pas,
bahkan mungkin karena penghasilannya besar maka uangnya semua lembaran ratusan
ribu. Tentu ini akan memakan waktu beberapa menit untuk transaksi pembayaran.
Bila saja satu kenderaan memakai waktu transaksi 3 menit maka antrian sepanjang
10 mobil akan memakan waktu 30 menit. Belum lagi uang logam Rp. 500 sudah tidak
begitu familier lagi bagi banyak orang.