Bila kita lihat visi KPK yaitu
menjadi lembaga penggerak pemberantasan korupsi yang berintegritas, efektif dan
efisien. Dan bila lihat misi KPK yang pertama, kedua, keempat dan kelima yaitu
koordinasi dengan instansi pemberantasan korupsi, supervisi dengan instansi
pemberantasan korupsi, pencegahan dan monitoring. Dari visi misi ini bisa
dinilai bahwa visi misi tidak akan tercapai bila KPK hanya bekerja sendirian. KPK
harus bekerjasama dengan instansi pemberantasan korupsi lainnya. Sayang sekali
instansi pemberantasan korupsi hanya dipandang pada kepolisian dan kejaksaan
semata. Instansi pemberantasan korupsi harus diperluas bukan hanya sebatas
kepolisian dan kejaksaan tapi juga meliputi BPK, BPKP dan Inspektorat
(Inspektorat Jenderal dan Inspektorat Daerah).
Nah, bagaimana kalau kerjasama
ini nyaris tidak ada dan kalaupun ada nyaris tidak efektif ? Maka terjadilah
hubungan antagonis antar sesama instansi pemberantasan korupsi. Kisruh hubungan
KPK-Polri adalah puncak gunung es betapa KPK ingin bergerak sendirian di depan.
Semua orang ingin korupsi diberantas. Bahkan para koruptorpun ingin korupsi
diberantas. Masalahnya adalah dengan cara yang bagaimana ?
Unsur dan komposisi pimpinan KPK
sangat mempengaruhi gerak dan gaya KPK. Semua periode kepemimpinan KPK justru
tidak mencerminkan hukum tidak tertulis dalam dunia perkorupsian yaitu : “bahwa
yang bisa memberantas korupsi hanyalah para pelaku dan korbannya”. Saya tidak
bermaksud mengeneralisir masalah. Namun saya ingin memberi contoh kecil.
Instansi yang paling dekat dengan birokrasi adalah Inspektorat, baik itu
Inspektorat Jenderal maupun Inspektorat Daerah. Unsur yang mengisi Inspektorat
tersebut terdiri dari 2 golongan besar yaitu PNS Inspektorat murni artinya
sejak CPNS sampai sekarang terus bertugas di Inspektorat. Satu golongan lagi
yaitu PNS pindahan artinya PNS yang telah malang melintang di berbagai instansi
di luar Inspektorat. Dalam melakukan pemeriksaan baik pemeriksaan rutin maupun
pemeriksaan khusus, PNS Inspektorat murni terlihat kurang memahami permasalahan
di luar aspek keuangan. Tapi PNS pindahan justru jauh lebih memahami baik
pemahaman teknis administratif maupun modus-modus gerakan korupsi termasuk
mutasinya. Kalau Inspektorat saja kondisinya sudah seperti itu, bagaimana
dengan pemahaman instansi di luar birokrasi seperti kejaksaan, kepolisian, BPK,
BPKP dalam memahami modus gerakan korupsi birokrasi baik untuk pencegahan
maupun penindakan ?
Unsur pimpinan KPK yang pernah
ada meliputi kejaksaan, kepolisian, LSM, pengacara, akademisi. Mereka semua
berada di luar birokrasi. Semuanya akan dominan untuk bergerak dalam penindakan
korupsi. Karena untuk melakukan pencegahan tidak bisa karena modus dan
pergerakan korupsi mereka tidak paham secara mendalam. Dengan unsur dan
komposisi seperti ini maka sampai kapanpun juga KPK tidak akan efektif
melakukan pencegahan korupsi.
Oleh karena itu atas nama visi
dan misi KPK maka unsur komposisi dan unsur pimpinan KPK harus direformasi.
Unsur pimpinan KPK pada saat seleksi oleh panitia seleksi harus menambah
persyaratan yaitu bukan hanya sekedar memahami hukum juga harus memahami
birokrasi. Dan yang paling memahami birokrasi adalah kaum birokrat.
Unsur dan komposisi pimpinan KPK
harus dibakukan, minimal unsur kepolisian, kejaksaan dan birokrasi harus
terwakili dalam unsur pimpinan KPK. Unsur dari kejaksaan dan kepolisian menjadi
wajib di samping untuk menghindari gesekan-gesekan yang tidak perlu juga untuk
memenuhi misi KPK yaitu koordinasi dan supervisi sesama instansi pemberantasan
korupsi. Unsur dari birokrasi menjadi wajib atas dasar di samping sebagai
simpul monitoring penyelenggaraan negara juga untuk mempercepat pergerakan
pencegahan korupsi. Dengan kata lain pemberantasan korupsi harus mengedepankan
pola kemesraan antar instansi pemberantasan korupsi.
Saya ingin memberi satu contoh
kasus yaitu kasus yang lagi hangat adalah dugaan anggaran siluman pengadaan UPS
di pemprov DKI. Dari sudut pandang penindakan korupsi maka akan dilakukan
pemeriksaan terhadap berbagai pihak. Dan diduga akan ditemukan perbedaan antara
harga pasaran dan harga kontrak UPS tersebut. Dari dugaan tersebut akan diambil
kesimpulan adanya dugaan mark up. Dan para pelaku mulai dari pimpro, panitia
lelang, rekanan ataupun kepala dinas akan menjadi pihak yang akan paling terkena
penindakan korupsi. Biasanya akan berakhir seperti itu. Atas dasar kebiasaan
inilah banyak PNS yang tidak bersedia menjadi pimpro, panitia lelang dan
perangkat proyek lainnya. Tapi akan jauh berbeda dengan gaya pencegahan korupsi.
Pencegahan korupsi akan bergerak dari hulu, bukan dari hilir. Apa itu UPS ? UPS
dalam bahasa pasaran adalah baterai penyimpan listrik yang biasa dipakai untuk
perangkat yang menggunakan listrik. Pada umumnya perangkat komputer dan
internet selalu didampingi oleh UPS. UPS dengan spesifikasi dan merk yang sama
di mana-mana harganya akan hampir sama. Perbedaaan harga antar daerah hanyalah
faktor ongkos transportasi. Artinya bila harganya nyaris sama kenapa harus
ditenderkan ? Bukankah cukup dengan menerbitkan sebuah standar harga barang
nasional ? Maka atas dasar inilah dibuat program kataloq elektronik yang biasa
dikenal dengan istilah e-kataloq yang dikembangkan oleh Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barng/Jasa Pemerintah (LKPP). Seharusnya semua barang pabrikan baik
itu pabrikan berbentuk barang mekanikal/elektrikal maupun pabrikan sandang
pangan seperti pupuk, bibit, obat dan lainnya. Sayang sekali program e-kataloq
belum digerakkan secara total football, masih lebih banyak himbauannya.
Sedangkan pemberantasan korupsi tidak bisa lewat himbauan atau kesadaran tapi
lewat pemaksaan. E-kataloq harus digerakkan dengan pemaksaan. Sistem pengadaan
barang/jasa pemerintah dengan pola pelelangan baik itu pelelangan umum,
pelelangan terbatas ataupun pelelangan sederhana untuk semua barang pabrikan
harus dihapus. Dengan dihapusnya pelelangan untuk barang pabrikan maka semua
instansi pemerintah akan dipaksa untuk melakukan pengadaan lewat media
e-kataloq. Pemaksaan ini harus diimbangi dengan penyederhanaan pola kerja
e-kataloq terutama untuk input data tentang barang, spesifikasi dan harga.
Sistem harga baku harus dirubah dengan menambah faktor error harga sebesar 10 %
maksudnya selisih harga 10 % antar daerah seharusnya masih bisa ditolerir, atau
dengan pemberlakuan koefisien daerah. Penyedia barang juga harus fleksibel
dalam artian penyedia barang tidak harus terdaftar dalam e-kataloq. Yang masuk
daftar e-kataloq cukup kelompok distributor saja dan penyedia barang akan
berhubungan dengan distributor. Bila hanya distributor yang bisa menyediakan
barang tentu akan mematikan sektor usaha kecil. Jadi, berapapun dugaan biaya
siluman yang dianggarkan nantinya akan tersaring sendiri di pengadaan barang
via e-kataloq. Pola pencegahan korupsi seperti ini akan juga meminimalkan
gesekan antar pihak yang berbeda kepentingan.
Nah. Lebih efektif mana pola
penindakan korupsi atau pola pencegahan korupsi ?
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
1 maret 2015.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar