Pada 31 Desember 2014, kala itu waktu sudah menunjukkan pukul 21.30
WIB. Aku berkemas-kemas, lepas dari kepenatan bekerja, dari rumahku bersiap
menuju rumah orang tua, karena anak-anak libur sekolah maka anak istri berlibur
di rumah orang tua. Ku meluncur di jalan lintas tengah sumatra dan akan
menempuh perjalanan 2 jam menuju rumah orang tua menjumpai anak istri di tempat
neneknya. Sengaja aku memilih perjalanan malam, untuk menikmati sepinya malam
dan hembusan angin malam. Syukurlah cuaca normal dan tidak hujan. Kenderaan melaju
dengan kecepatan sedang. Ketika melewati jalan yang mulus, terasa ngantuk
karena kenderaan melaju nyaman. Namun itu tidak terlalu lama karena sebagian
besar jalan banyak tambalannya dan sebagian sudah bergelombang. Rasa ngantuk
hilang akibat goncangan kenderaan. Memang benar kata pepatah bahwa segala
sesuatu diciptakan ada gunanya. Tuhan mentakdirkan jalan berlubang dan
bergelombang untuk menghilangkan ngantuk. Perlu juga dilakukan penelitian
secara statistik berapa perbandingan kecelakaan di jalan mulus dan di jalan
berlubang dan jalan bergelombang. Dasar Indonesia, semua dikamuflasekan.
Kenderaan melaju perlahan, semilir angin merasuki paru-paru.
Anganku menerawang. Mulai dari kesemrawutan bernegara sampai kesemrawutan
berdaerah. Wow, kesemrawutan berdaerah. Betapa banyak daerah yang ingin
memekarkan diri, dan betapa banyak daerah induk dan daerah pemekaran
terseok-seok dalam menjalankan otonomi daerah, sebagian di antaranya bermasalah
secara hukum. Otonomi daerah telah mengejawantahkan dirinya menjadi egoisme
sektoral. Lupa bahwa dirinya sebagai pemerintahan daerah adalah daerahnya
pemerintah pusat. Hal yang sama juga terjadi di mana pemerintah pusat lupa
bahwa dirinya sebagai pemerintah pusat adalah pusatnya pemerintahan daerah. Penataan
tata kelola birokrasi yang dijanjikan pemerintahan Jokowi-JK belum menunjukkan
hasilnya sama sekali. Tentu berat karena kabinetnya yang dipimpin menterinya
saja yang berubah sedangkan mesin birokrasinya masih dengan orang yang sama.