Tragis, set back, dan berbagai istilah lainnya dialamatkan kepada
DPR atas disetujuinya RUU pemilukada tak langsung menjadi UU.
Bila kita kaji secara objektif, pemilukada langsung memang telah
menorehkan banyak catatan hitam, mulai dari kualitas kepala daerah terpilih, tingginya
biaya politik, jual beli proyek dan jabatan untuk bayar hutang biaya
pemilukada, sampai pada kasus hukum yang menanti untuk dijerat oleh penegak
hukum. Di tingkat masyarakat sendiri sudah terjadi inflasi politk uang di mana
di beberapa daerah harga politik uang sudah menembus angka tiga ratus ribu
rupiah.
Namun bila kita kaji juga, pemilukada tak langsung yang pernah
terjadi adalah di zaman orde baru. Satu hal positif dari pemilukada tak
langsung adalah stabilitas politik. Namun yang perlu dipertanyakan adalah
stabilitas politik yang kembali diimpikan itu takkan pernah terwujud karena
sistem politik telah berubah. Orde baru dikuasai oleh mayoritas tunggal
sedangkan sekarang dikuasai oleh mayoritas koaliasi multipartai yang terbukti
tidak solid.
Catatan hitam pemilukada langsung diprediksi akan tetap mewarnai pemilukada
tidak langsung. Apalagi sistem trias politica akan timpang dan kesetaraan
politik juga akan timpang akibat kepala daerah terpilih akan merasa wajib
membalas jasa para pemilihnya. Apalagi tidak sedikit kepala daerah beken yang
menolak sistem pemilukada tidak langsung.
Bagaimanapun juga pemilukada sebagai salah satu anak kandung
reformasi harus tetap diselamatkan. Namun saya melihat bahwa pilihannya tidak
terpaku pada pemilukada langsung atau pemilukada tidak langsung.
Dalam kondisi masyarakat yang masih jauh dari sejahtera dan
pendidikan yang masih rendah apalagi politik prayabar yang terus mengalami
inflasi maka diperlukan pengurangan hiruk pikuk pesta demokrasi namun bukan
dalam bentuk peniadaan demokrasi.
Beberapa titik krusial yang harus diperbaiki dalam pemilukada
langsung sudah harus segera dipikirkan formula penyelesaiannya.
Yang pertama adalah kualitas calon kepala daerah. Rekrutmen calon
kepala daerah oleh partai harus melibatkan panitia seleksi independen yang
dibentuk oleh partai dan pemerintah. Panitia seleksi independen bekerja
berdasarkan azas kualitas dan menghasilkan 3 calon terbaik untuk diserahkan
kepada partai memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi calon partai. Selain
berorientasi kualitas juga meniadakan biaya perahu politik.
Yang kedua adalah menghidupkan kembali calon independen yang mana
proses seleksinya juga melibatkan panitia seleksi independen bentukan
pemerintah. Bila perlu calon independen lebih dari satu orang.
Yang ketiga adalah memotong mata rantai politik uang. Politik uang
melibatkan donatur, pemindahan uang tunai skala besar dan menengah, distribusi
uang dan broker suara. Pola paling efektif untuk memotong mata rantai ini
adalah operasi intelijen. Pada masa periode pemilukada perlu dibentuk operasi
intelijen anti politik uang di mana deteksi dini diterapkan pada siapa donatur,
transportasi apa untuk pemindahan uang skala menengah dan besar, kapan dan di
mana distribusi uang terjadi dan siapa broker suaranya. Prioritas utama adalah
menangkap basah truk atau kenderaan yang membawa uang skala menengah dan
besarnya. Sedangkan melutus distribusi uang dilakukan dengan meniadakan
struktur tim kampanye di tingkat desa/kelurahan ke bawah. Tim kampanye paling
rendah cukup dibentuk di tingkat kecamatan. Sedangkan para broker suara
direkrut baik sebagai informan atau anggota panitia pengawas.
Yang keempat adalah perkuatan anggota panitia pengawas dan
jajarannya. Panitia pengawas harus ditambahkan dari unsur aparat keamanan dan
penegak hukum. Dan ini terkait langsung dengan daya dukung pemutusan mata
rantai politik uang.
Yang kelima adalah percepatan e-voting. E-voting mutlak diperlukan
dalam rangka memangkas habis permainan manipulasi suara oleh penyelenggara
pemilukada di semua tingkatan perhitungan.
Saya tidak bermaksud untuk mengembalikan sistem demokrasi dari
pemilukada tak langsung kembali ke pemilukada langsung. Saya sendiri mencoba
merekonstruksi pemilukada. Saya tertarik dengan model pemilukada di DKI
Jakarta. DKI jakarta hanya menjalankan pemilukada gubernur, sedangkan walikota
dipilih oleh gubernur.
Saya menawarkan sistem pemilukada langsung di tingkat propinsi
untuk memilih gubernur. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota untuk memilih
bupati/walikota dilakukan secara rekrutmen terbuka, dilakukan melalui panitia
seleksi independen, diuji oleh DPRD dan beberapa perwakilan masyarakat dan
kecamatan, 3 calon terbaik dipilih oleh panitia seleksi independen dan diserahkan
kepada gubernur untuk memilih salah seorang di antaranya untuk menjadi
bupati/walikota. Sistem ini harus didukung oleh pembenahan pola hubungan
kabupaten/kota dengan propinsi di mana perlu diatur berapa kabupaten/kota yang
harus dibawahi oleh satu propinsi. Di sini diperlukan pemekaran propinsi secara
besar—besaran di mana saya memandang efektifitas pembinaan dan rentang kendali
akan lebih eifisen apabila satu propinsi membawahi antara 6 sampai 8
kabupoaten/kota saja. Sehingga semua propinsi gemuk yang memiliki banyak
kabupaten./kota harus dimekarkan sampai terbentuk propinsi yang langsing. Bila jumlah
kabupaten/kota ada 530 kabupaten/kota maka akan ada antara 66 sampai 88
propinsi dan dengan demikian hanya akan ada maksimal 88 pemilukada gubernur
dalam 5 tahun. Bila bisa diatur serentak akan menghasilkan efisiensi biaya.
Pola ini akan mengurangi tensi politik demokrasi daerah, perkuatan
output demokrasi berbasis kualitas dan akan lebih menjamin pencapaian
kesejahteraan masyarakat.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
27 september 2014
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar