Kemdikbud kembali menerbitkan kebijakan kontroversial yaitu
pembatasan masa kuliah maksimal 5 tahun. Walau kebijakan ini akan diberlakukan
2 tahun kemudian namun hampir bisa dipastikan semua mahasiswa akan menolak
kebijakan tersebut.
Dalam hal ini, Kemdikbud tidak mempertimbangkan kepentingan yang
lebih luas dan hanya mempertimbangkan kepentingan yang sempit berupa waktu
rata-rata kelulusan mahasiswa program sarjana, besaran subsidi negara untuk
mahasiswa dan kuota mahasiswa baru.
Bila kita kaji secara akademik maka beban belajar sebanyak 144 SKS yang
apabila seorang mahasiswa bisa meluluskan sebanyak 18 SKS setiap semester maka
beban total 144 SKS akan diselesaikan selama 8 semester. Namun bila mahasiswa bisa
menyelesaikan sebanyak 16 SKS setiap semester maka beban 144 SKS akan bisa
diselesaikan selama 9 semester. Apabila dikaji lebih jauh lagi maka apabila
mahasiswa hanya bisa menyelesaikan 15 SKS dalam setiap semester maka beban 144
SKS akan bisa diselesaikan dalam 10 semester alias 5 tahun. Di sini Kemdikbud
memandang bahwa sangat masuk akal apabila batasan waktu maksimal 5 tahun akan
bisa diselesaikan oleh mahasiswa tanpa ada kesulitan sama sekali. Batasan waktu
ini selain akan menghemat subsidi negara kepada mahasiswa juga akan
memperbanyak kuota dan daya tampung perguruan tinggi dalam menerima mahasiswa
baru.
Uraian di atas tentunya sangat akademik oriented alias pendidikan
oriented. Kemdikbud mungkin terlalu bersemangat dalam membangun negara ini sehingga
akibat terlalu bersemangat maka akhirnya lupa bahwa perguruan tinggi memiliki
tri darma perguruan tinggi yaitu penelitian, pendidikan dan pengabdian
masyarakat. Bahkan pendidikan yang dimaksud masih berkutat pada pendidikan
dalam kelas. Bagaimana dengan pendidikan praktek baik di laboratorium ataupun
di lapangan dalam berbagai disiplin ilmu ? Bagaimana dengan pendidikan dan
penanaman semangat wirausaha ? Bagaimana memepersiapkan mahasiswa pasca
pendidikan ?
Belum lagi kita bicara masalah penelitian. Apalagi membahas
perguruan tinggi sebagai kawah candradimuka calon pemimpin bangsa. Atau bla bla
bla lainnya.
Saya melihat bahwa mahasiswa terbagi dalam 3 kategori besar yaitu
kategori profesional, kategori wirausaha dan kategori politis. Kategori
profesional terlihat dari cita-citanya yang ingin bekerja di perusahaan sesuai
bidang disiplin ilmu yang dimilikinya. Kategori wirausaha terlihat dari
tingginya naluri bisnis yang dimilikinya baik terkait dengan disiplin ilmunya
atau tidak. Sedangkan kategori politis terlihat dari tingginya semangat
berorganisasi baik di kampus ataupun di luar kampus.
Pembatasan masa kuliah maksimal selama 5 tahun, walaupun Kemdikbud
memiliki niatan baik namun tetap saja tidak bisa terhindar dari kecurigaan
politis di mana pembatasan masa kuliah ini akan mempersempit atau bahkan
menghilangkan ruang gerak para aktifis mahasiswa yang bergaya
kepolitik-politikan. Dan bila kecurigaan ini benar maka bukan saja akan
merugikan sang mahasiswa karena akan memiliki kemampuan yang terlalu spesialis
namun juga akan merugikan negara karena negara ini akan kehilangan salah satu
kawah candradimuka calon pemimpin bangsa.
Saya melihat bahwa perguruan tinggi harus tetap konsisten pada
khittahnya yaitu tri darma perguruan tinggi. Namun juga harus kita sadari bahwa
kampus bukan ajang politik atau demontrasi semata. Bila mengutip kalimat yang
pernah dilontarkan Daoed Joesoef mantan Menteri Pendidikan era tahun 1980-an
yang menggagas kebijakan NKK BKK (normalisasi kehidupan kampus – badan
koordinasi kemahasiswaan) yaitu : “bahwa mahasiswa adalah bukan manusia rapat
umum”.
Bila kita lihat ke dalam kampus maka selain struktur pendidikan
berupa rektorat, dekanat dan jurusan maka ada juga struktur organisasi
mahasiswa yang pararel dengan struktur pendidikan yaitu senat/dewan mahasiswa
perguruan tinggi, himpunan mahasiswa fakultas dan himpunan mahasiswa jurusan.
Sedangkan di luar kampus ada organisasi ekstra kampus baik yang berdiri sendiri
atau di bawah/underbow partai politik atau organisasi massa. Yang perlu
dipikirkan adalah bagaimana membagi tugas antara semua organisasi ini ? Saya
melihat bahwa semua organisasi memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan
khittahnya yaitu tri darma perguruan tinggi namun tak mungkin untuk
melaksanakan ketiga-tiganya secara bersamaan. Harus ada pembagian tugas dan
skala prioritas. Saya menilai bahwa fungsi pendidikan dan fungsi profesional
diserahkan kepada struktur pendidikan dan himpunan mahasiswa jurusan. Fungsi
wirausaha sesuai disiplin ilmu diserahkan kepada himpunan mahasiswa fakultas.
Fungsi wirausaha di luar disiplin ilmu diserahkan kepada senat/dewan mahasiswa
perguruan tinggi. Sedangkan fungsi politik diserahkan kepada organisasi ektra
kampus. Dalam kondisi normal maka mahasiswa akan dihadapkan pada
pilihan-pilihan akan kemana berkiprah. Namun dalam kondisi tidak normal maka organisasi
mahasiswa yang politis akan bergabung dengan organisasi kampus dalam menyikapi
permasalahan bangsa dan negara. Setelah masalah selesai mereka akan kembali
kepada kesibukan sebelumnya dan rutinitas sebelumnya. Dari sini saya melihat
bahwa upaya depolitisasi kampus tidak akan linear dengan upaya depolitisasi
mahasiswa. Reformasi 1998 menunjukkan depolitisasi kampus gagal dalam
melaksanakan depolitisasi mahasiswa. Karena politik terutama di saat-saat
kritis adalah panggilan hati nurani mahasiswa sebagai lapisan terdidik bangsa
ini. Serahkan saja minat mahasiswa kemana akan mengembangkan dirinya dan
sediakan sarana prasarana yang memadai untuk menyemai benih dan bakat dalam
dirinya.
Selain pembagian tugas, juga perlu strategi lain agar mahasiswa
tidak berlama-lama di kampus. Bila mahsiswa hanya bisa lulus 13 SKS persemester
maka diperlukan waktu 11 semester untuk menutaskan beban 144 SKS. Dan bila
mahasiswa hanya bisa lulus 11 SKS persemester maka diperlukan waktu 14 semester
untuk menyelesaikan beban 144 SKS. Permasalahan yang dihadapi mahasiswa bukan
hanya perkuliahan atau organisasi saja. Ada juga permasalahan ekonomi, sosial
dan faktor lainnya. Jadi tidaklah bijak apabila pembatasan waktu maksimal
kuliah 5 tahun diberlakukan. Akan lebih bijaksana apabila diberlakukan besaran
SPP bertingkat di mana pada periode semester 1 s/d semester 10, periode
semester 11, periode semester 12, periode semester 13 dan periode semester 14 memiliki
besaran SPP yang berbeda yang harus ditanggung mahasiswa. Semakin lama kuliah
maka besaran SPP semakin tinggi yang artinya beban subsidi negara semakin
berkurang. Sehingga di satu sisi kepentingan Kemdikbud bisa terakomodir namun
di sisi lain kepentingan mahasiswa dalam semua kategori juga terakomodir. Sedangkan
bagi aktifis mahasiswa yang memiliki beban dan tanggung jawab organisasi yang
demikian besar dan tidak memungkinkan baginya untuk belajar secara normal dan
bisa lulus mata kuliah maka diperlukan kebijakan dan peraturan agar mahasiswa
tersebut wajib mengambil cuti beberapa tahun sesuai kebutuhan sehingga masa
perkuliahannya tidak terbuang sia-sia.
Dengan demikian maka makna “maha” pada mahasiswa benar-benar
terpancar dalam kehidupan keseharian dan bukan seperti pelajar lagi.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
24 september v2014.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar