Pemerintahan baru Jokowi JK saat ini dihantui oleh persoalan BBM di
mana alokasi anggaran sangat membatasi ketersediaan BBM sedangkan konsumsi BBM
tidak bisa dibatasi dikarenakan BBM merupakan salah satu kebutuhan dasar baik
untuk mobilitas sosial maupun perdagangan barang dan jasa. Bila anggaran dan
subsidi BBM masih tetap seperti sekarang ini maka diperkirakan pada bulan November
2014 anggaran untuk BBM akan habis. Sedangkan solusi jangka menengah dan jangka
panjang berupa pengembangan energi alternatif masih membutuhkan persiapan dan
waktu. Tentu ini tidak bisa menyelesaikan masalah saat ini.
Salah satu solusi jangka pendek yang telah dijalankan adalah
pembatasan distribusi BBM ke SPBU dan penghapusan distribusi BBM di DKI
Jakarta.
Pembatasan distribusi BBM ke SPBU akan menghemat konsumsi BBM. Juga
akan membuat ketersediaan BBM mungkin bisa bertahan sampai akhir tahun 2014.
Namun di sisi lain, terbatasnya distribusi BBM membuat kepanikan konsumen yang
menyebabkan antrian panjang di hampir semua SPBU. Tentu ini akan berpengaruh
besar terhadap ongkos produksi dan kelancaran transportasi barang dan jasa.
Memang dilematis. Meningkatnya kondisi ekonomi masyarakat membuat
daya belinya ikut meningkat dan mampu membeli kenderaan, paling tidak dengan
cara cicilan. Hal ini membawa konsekuensi meningkatnya kebutuhan akan BBM oleh
kenderaan. Di sisi lain, meningkatnya konsumsi BBM tidak diimbangi dengan
kemampuan produksi minyak nasional sehingga kebutuhan BBM dalam negeri harus
dipenuhi dengan impor. Dari sini kondisi ini menyedot anggaran negara untuk
subsidi BBM.
Subsidi BBM ini ternyata tidak pilih kasih dan tidak tebang pilih.
Subsidi BBM dinikmati oleh semua lapisan masyarakat termasuk masyarakat yang
mampu dan yang sangat mampu. Dari sini muncul inspirasi untuk mengurangi
subsidi BBM dan mengalihkannya ke sasaran yang lebih tepat seperti pendidikan,
kesehatan dan infrastruktur pedesaan.
Hanya saja menaikkan harga BBM membawa efek psikologi yang luar
biasa. Katakanlah harga premium dinaikkan dari Rp. 6.500/liter menjadi Rp. 8.500
atau dinaikkan 30 %. Ternyata kenaikan 30 % ini tidak paralel dengan kenaikan harga
barang dan jasa. Katakanlah misalnya ongkos angkutan umum sebelum BBM dinaikan
seharga Rp. 3.000 maka dengan kenaikan harga BBM sebesar 30 % seharusnya ongkos
angkutan umum pasca kenaikan harga BBM naik 30 % menjadi Rp. 3.900 namun
ternyata kenaikan ongkos transportasi tersebut melebihi dari 30 %. Demikian
juga untuk komoditi barang dan jasa lainnya. Sehingga metode pengurangan
subsidi BBM secara merata kepada seluruh lapisan masyarakat membawa konsekuensi
kenaikan harga barang dan jasa dengan kata lain daya beli masyarakat menjadi
turun.
Bila kita amati jenis BBM maka secara umum terdiri dari pertamax,
premium dan solar. Pertamax dan premium dikonsumsi oleh sebagian besar
kenderaan pribadi. Sedangkan solar dikonsumsi oleh sebagian besar kenderaan umum
dan sarana angkutan barang dan jasa. Bila memang spiritnya adalah mengalihkan
subsidi BBM yang kurang tepat menjadi lebih tepat sasaran maka adalah tidak
pantas apabila BBM jenis solar dinaikkan harganya. Akan lebih tepat apabila BBM
jenis premium saja yang dinaikkan. Namun ini juga akan menimbulkan masalah baru
di mana kenderaan pribadi akan cenderung untuk mengkonsumsi premium daripada
pertamax. Maka timbul pemikiran baru di mana tidak perlu secara resmi menaikkan
harga BBM jenis premium yang akan menimbulkan efek psikologi pasar. BBM jenis
premium dinaikkan harganya secara tidak resmi dengan mengoplos premium dengan
pertamax fifty fifty dengan harga rata-rata di antara keduanya. Bila premium
berharga Rp. 6.500 dan pertamax berharga Rp. 10.500 maka harga rata-rata di
antara keduanya adalah Rp. 8.500. Cara ini akan lebih aman daripada menaikkan
secara resmi harga premium dari Rp. 6.500 menjadi Rp. 8.500.
Memang masih diperlukan data konkrit berapa nilai subsidi yang bisa
dikurangi apabila pola oplosan premium – pertamax ini yang digunakan namun yang
pasti secara sosial akan terhindari munculnya psikologi pasar dan psikologi
massa. Juga akan lebih tepat sasaran karena premium dikonsumsi mayoritas
kenderaan pribadi.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
29 agustus 2014.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar