Salah satu program kerja tahunan
KPK adalah pengumpulan data laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN).
Kegiatan ini sering kami adekdotkan dengan kenapa yang dikumpulkan hanya
laporan harta saja sedangkan laporan hutang tidak dilaporkan padahal tidak
sedikit pejabat negara yang banyak hutangnya terutama pejabat negara yang
tergolong bersih dan tidak berbakat korupsi.
Dari segi jumlah pejabat negara
tentu SDM KPK tidak akan sebanding dengan jumlah LHKPN yang akan diteliti. Bisa
dibayangkan seluruh pejabat struktural dan pejabat fungsional pemerintah pusat
dan pemerintah daerah harus mengisi dan menyerahkan LHKPN dan dikirimkan ke
KPK. Pada satu daerah otonom kabupaten saja bila memiliki 40 instansi maka akan
ada sekitar 40 orang eselon 2, sekitar 200 orang eselon 3 dan sekitar 600 orang
eselon 4, belum lagi pejabat fungsional.
Bila daerah otonom berjumlah 34 pemerintah propinsi dan 530 pemerintah
kabupaten/kota bisa dibayangkan berapa jumlah pejabat daerah. Belum lagi pejabat
pemerintah pusat. Ini masih perkara jumlah. Belum lagi tata cara pengisian data
di mana kebenaran datanya banyak yang diragukan karena diduga akan ada
penyembunyian data harta atau adanya harta beratas nama orang lain.
Bagaimanapun juga program LHKPN
dibuat dengan niatan mulia namun dengan keterbatasan KPK terutama keterbatasan
jumlah SDM maka perlu dipikirkan koordinasi pengelolaan data LHKPN. Saya
tertarik dengan kerjasama pengelolaan data LHKPN dengan Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) dan Baznas dalam artian data LHKPN dijadikan dasar dalam melakukan audit
pembayaran pajak dan zakat mal pejabat negara. Zakat mal hanya dikhususkan
kepada pejabat negara muslim. Objek pajak, objek zakat mal dan data LHKPN
adalah setali tiga uang. Semua data LHKPN digandakan di mana 1 rangkap
diserahkan kepada DJP dan 1 rangkap lagi diserahkan kepada Baznas. Semua berkas
LHKPN dikelola oleh DJP untuk diteliti apakah semua harta pejabat negara
tersebut telah dibayar pajaknya atau tidak. DJP menyebarkan data LHKPN kepada
struktur di bawahnya untuk diteliti sebagaimana mestinya. Hasil pengolahan data
dari DJP tersebut dikembalikan lagi kepada KPK. Sedangkan data LHKPN yang
diserahkan kepada Baznas akan dikelola Baznas untuk mengetahui berapa besaran
zakat mal yang harus dibayarkan oleh pejabat negara. Baznas akan bekerjasama
dengan struktur di bawahnya seperti Bazda yang tersebar di seluruh kabupaten/kota.
Hasil pengolahan data oleh Baznas diserahkan kembali oleh Baznas kepada KPK.
KPK mengolah kembali hasil pengolahan
data dari DJP dan Baznas tersebut untuk kemudian dikembalikan kembali kepada
lembaga negara pusat dan daerah asal pejabat negara tersebut untuk dimintakan
bukti pembayaran pajak dan zakatnya. Untuk tanda bukti pembayaran pajak cukup
mudah pengurusan dan pembuktiannya. Yang agak rumit adalah tanda bukti
pembayaran zakat mal karena sebagian dari pejabat negara membayar zakal mal
langsung kepada yang berhak menerima zakat mal tanpa tanda terima. Tanda terima
biasanya diperoleh apabila pembayaran zakat mal diserahkan kepada Bazda. Untuk
itu perlu diatur agar pejabat negara membayar zakat mal sebagian atau
keseluruhan kepadas Bazda saja. Walaupun telah terbiasa membayar langsung
kepada yang berhak menerima zakat mal tidak salah apabila dibuatkan tanda
terimanya berupa kwitansi. Walau tanda terima berbentuk kwitansi ini sangat
rawan untuk dipalsukan maka perlu dilakukan pembuktian secara acak dimana
apabila ada pejabat negara yang memalsukan kwitansi pembayaran langsung zakat
mal tersebut akan terkena sangsi denda atau pencopotan dari jabatan. Bisa saja
pejabat negara tidak tertarik membayar zakat mal ke Baznas/Bazda karena tidak
ada program yang jelas dan menarik. Untuk itu perlu kiranya Baznas/Bazda
menyusun program kerja yang jelas dan menarik sehingga pejabat negara tertarik
untuk membayar sebagian atau keseluruhan zakat malnya ke Baznas/Bazsda.
Yang jadi masalah adalah
keterkaitan antara pajak dan zakat mal. Apakah dilakukan pembedaan yang tegas
antara zakat mal dan pajak atau dilakukan penyetaraan di mana pajak adalah
merupakan sebagian dari zakat mal dalam artian kewajiban zakat mal kira-kira
2,5 % harta dikurangi pajak maka selisihnya yang wajib dibayarkan ke Baznas/Bazda.
Semua tanda bukti pembayaran
pajak dan zakat mal ini diserahkan kepada kantor DJP terdekat dan kantor
Baznas/Bazda terdekat. Pengolahan data tanda bukti pembayaran pajak dan zakat
mal ini dirangkum secara kelompok lembaga pusat dan daerah dan diserahkan
kembali ke KPK. Terhadap pelanggaran tidak membayar pajak dan zakat mal diatur
kemudian secara bersama oleh KPK, DJP dan Baznas.
Audit pajak dan zakat mal
berbasis LHKPN ini bisa dikembangkan dari hanya pejabat negara kepada rakyat
keseluruhan dengan menggunakan instrumen data e-KTP dalam artian data e-KTP
ditambahkan dengan harta kekayaan yang dimilikinya dan data pembayaran pajak
dan zakat mal yang telah dilakukan.
Defenisi korupsi harus
dikembangkan di mana tidak membayar pajak merupakan korupsi kenegaraan dan
tidak membayar zakat mal merupakan korupsi keagamaan. Keduanya wajib mendapat
hukuman yang setimpal.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
21 Juli 2014.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar