Korban kekerasan masih menghiasi
dunia pendidikan nasional. Belum hilang ingatan kita tentang kekerasan pada
saat ospek di salah satu perguruan tinggi teknik di Jawa Timur di penghujung
tahun 2013 yang menewaskan salah satu peserta ospek. Kini kita dihadapkan pada
kenyataan bahwa pada salah satu perguruan tinggi kedinasan di bawah Kementrian
Perhubungan terjadi lagi mahasiswa tewas akibat kekerasan para seniornya.
Bagaimanapun harus ada yang
bertanggung jawab terhadap ini semua. Secara teknis operasional maka seniornya
yang telah menyebabkan juniornya tewas harus mendapat hukuman yang setimpal.
Namun secara institusional juga harus ada yang bertanggungjawab. STIP sebagai
sebuah institusi pendidikan yang dipimpin oleh seorang rektor. Saya tidak tahu
apakah saya yang kurang informasi atau tidak namun sampai saat ini saya belum
melihat ada statement resmi dari rektor apakah itu sebagai sebuah penyesalan
atas kejadian, permintaan maaf atau bahkan sebuah pengunduran diri sebagai
bentuk tanggung jawab institusi. Saya melihat bahwa tindakan kekerasan para
senior terhadap junior merupakan sebuah atmosfer yang berkembang pada kampus
tersebut dan iklim ini walaupun tidak ada restu secara resmi dari pihak
penguasa kampus namun berkembangnya tradisi kekerasan ini tidak bisa dilepaskan
dari tanggung jawab pimpinan kampus. Apalagi apabila tradisi ini pada akhirnya
melanggar HAM yaitu hak untuk hidup dengan layak secara kemanusiaan, baik
secara langsung maupun tidak langsung rektor harus menunjukkan tanggung jawab.
Memang mengundurkan diri bukan penyelesaian masalah dan tidak sebanding dengan
tewasnya mahasiswa namun sebagai sebuah wujud tanggung jawab dan untuk edukasi
moral maka pengunduran diri rektor menjadi sebuah keharusan. Rektor tidak boleh
berlindung di balik alasan bahwa kejadian ini di luar kendali kampus dan hanya
sekedar kecelakaan. Mengingat STIP sebagai sebuah perguruan tinggi kedinasan di
bawah Kementrian Perhubungan maka sikap dan pernyataan resmi Menteri Perhubungan
sangat dinantikan masyarakat luas terutama para pemerhati pendidikan.
Pada saat yang bersamaan kita
dipertontonkan bagaimana seorang Perdana Menteri Korea Selatan menunjukkan rasa
tanggung jawabnya atas tenggelamnya sebuah kapal feri yang menyebabkan ratusan
korban meninggal dengan cara mengundurkan diri. Tentu rakyat akan membandingkan
sikap ksatria seorang Perdana Menteri Korea Selatan dengan para petinggi di
negeri ini. Seharusnya Presiden menegur Menteri Perhubungan dan memerintahkan
pencopotan rektor. Pencopotan rektor ini penting agar rektor selanjutnya
melakukan evaluasi menyeluruh dan menjamin kejadian serupa tidak akan terjadi
lagi.
Tidak mudah mengurai akar
permasalahan tradisi kekerasan di kampus baik kampus kedinasan maupun kampus umum.
Salah satu paradoks terhadap tradisi kekerasan ini adalah adanya kebanggaan
terhadap aksi kekerasan sebagai instrumen penanaman rasa cinta kampus.
Lemahnya pengawasan pihak rektor
terhadap dinamika mahasiswa serta adanya restu terselubung dari para senior
ataupun alumninya membuat tradisi kekerasan menjadi terlestarikan. Mata rantai
ini harus diputus. Tradisi kekerasan harus ditetapkan sebagai sebuah
pelanggaran HAM dan ini harus ditanamkan kepada seluruh mahasiswa terutama
kepada angkatan junior. Semangat pemberontakan melawan pelanggaran HAM harus
dikobarkan. Salah satu penyebab yang harus dihilangkan adalah adanya
ketergantungan dari junior kepada senior. Pola hubungan ketergantungan ini menjadi
kuat karena proses pembelajaran melibatkan senior untuk mengajari junior.
Seluruh pola hubungan pembelajaran harus dibuat sebagai sebuah hubungan
pendidikan profesional murni. Semua unsur pendukung tradisi kekerasan baik di
tingkat dosen, asisten dosen, mahasiswa yang menduduki fungsi pengajar harus
dinetralkan bila perlu dilucuti wewenangnya. Terakhir bentuk pengawasan yang
dikembangkan adalah melalui pola intelijen intern. Intelijen intern ini bekerja
mendeteksi bibit-bibit kekerasan. Data intelijen intern ini harus didukung
dengan kewenangan memberi peringatan sampai kepada ancaman pemecatan kepada
senior yang mencoba menghidupkan tradisi kekerasan. Interaksi antara junior dan
senior harus diminimalkan. Terutama interaksi dalam bentuk perkumpulan yang
bisa memaksakan terjadinya tindak kekerasan. Apalagi apabila perkumpulan ini
berbasis kedaerahan.
Di sisi lain, rektorat harus
mendesain pola pembinaan kemahasiswaan yang bisa menggantikan tradisi kekerasan
ini. Bagaimanapun juga pendidikan tinggi kedinasan seperti STIP adalah
pendidikan tinggi berbasis profesi. Seharusnya tradisi akademik maupun tradisi
kemahsiswaan yang dikembangkan adalah tradisi profesi. Iklim kekerasan
seharusnya tidak ada hubungannya dengan tradisi profesi. Bila perlu seluruh
junior diberi pelajaran ilmu beladiri sehingga ketika akan terjadi aksi
kekerasan senior maka para junior bisa membela dirinya.
Di penghujung masa bakti sebagai
pimpinan negara, tentunya tewasnya mahasiswa di perguruan tinggi milik negara
menjadi kado negatif terhadap presiden. Ada baiknya Presiden mengunjungi kampus
STIP, bertemu dengan semua civitas akademik terutama mahasiswa junior.
Sekaligus mencopot rektor dan menunjuk pelaksana tugas rektor serta menggali
masukan dan aspirasi dari seluruh mahasiswa tentang tradisi kekerasan ini
dengan berdialog langsung dengan mahasiswa.
Potret buram pendidikan nasional
sudah terlalu banyak. Belum terlambat bagi kita untuk membenahi semuanya.
Tujuan kemerdekaan yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa harus diwujudkan
di mana salah satunya melalui penghapusan tradisi kekerasan dalam kampus.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
28 April 2014.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar