Berselang 1 hari setelah
pelaksanaan pemilu legislatif disusul dengan hasil quick count pada malam
harinya yang menghasilkan 3 partai yang memperoleh suara di atas 10 % hari-hari
kita disibukkan oleh berita ramainya safari politik dan silaturrahmi politik
yang dilakukan oleh tokoh-tokoh partai. Hal ini sebagai penjajakan untuk
rencana koalisi menuju pemilu presiden. Bila memakai hasil quick count maka
diperkirakan maksimal 4 poros koalisi. Diperkirakan keempat poros tersebut meliputi
poros pendukung Jokowi, ARB, Prabowo dan dari partai Islam.
Bila kita berkaca dari masa lalu
di mana kabinet disusun bukan berdasarkan presidensial murni dengan kata lain
campuran antara kabinet presidensial dan parlementer di mana presiden menyusun
kabinet dengan mengakomodir perwakilan partai koalisi. Salah satu tujuan
kabinet koalisi adalah untuk pengamanan di parlemen. Namun pengalaman
menunjukkan bahwa koalisi kabinet ternyata tidak linear dengan koalisi
parlemen. Dalam beberapa kasus justru anggota koalisi menjadi oposisi di
parlemen, sementara partai oposisi menjadi koalisi di parlemen. Artinya tujuan
kabinet koalisi ternyata tidak efektif sepenuhnya di parlemen. Pengalaman lain
menunjukkan bahwa koordinasi antar menteri sedikit banyaknya dipengaruhi
hubungan antar partai. Koordinasi yang seharusnya terwujud di kabinet ternyata
menunjukkan hal lain di mana sering terjadi ketidakkompakan antar menteri. Tentu
ini selain membuat repot presiden juga akan mengorbankan kepentingan rakyat
karena kerja kabinet menjadi tidak maksimal.
Nah, dari uraian singkat di atas
saya melihat safari dan silaturrahmi politik yang sedang berjalan bila
tujuannya untuk membuat kabinet koalisi maka hasilnya tidak akan jauh berbeda
dengan pengalaman kabinet sebelumnya. Oleh karena itu perlu kiranya keberadaan
kabinet koalisi dipikirkan kembali keberadaannya. Perlu dilakukan opini
pembentukan zaken kabinet atau kabinet profesional dengan meminimalkan unsur
koalisi dalam kabinet. Hal ini bisa terjadi apabila poros koalisi berjumlah
banyak sehingga memunculkan calon presiden yang banyak, dalam hal ini poros
koalisi bisa berjumlah 4 poros dan akan mengajukan 4 pasangan capres/cawapres. Poros
manapun yang menang nantinya akan menghasilkan politik balas jasa dan bagi
kursi menteri dalam jumlah sedikit. Misalnya jumlah menteri nantinya 30 orang
maka menteri koalisi cukup 10 menteri sedangkan 20 menteri lagi dari profesional
dan pakar di bidangnya sehingga kabinet bisa dominan zaken kabinet. Defenisi
menteri profesional ini harus dipertegas di mana menteri profesional tidak
harus menteri nonpartai tapi bisa dari partai manapun, bahkan bisa dari partai
yang menyatakan diri oposisi karena semua partai memiliki orang-orang kelas
berat yang tidak diragukan lagi kadar keprofesionalan dan kadar
kenegarawanannya. Artinya bila menteri koalisi diajukan partai untuk dipilih
presiden maka menteri profesional apabila berasal dari partai bukan partai
mengajukan nama tapi presiden dalam posisi sangat bebas memilih orang partai
yang profesional masuk dalam kabinetnya.
Satu hal lagi yang perlu
dipikirkan adalah totalitas kerja menteri dalam kabinet. Sulit untuk diterima
akal sehat apabila seorang menteri tidak sibuk dan punya waktu banyak untuk
mengurusi yang lain seperti partai misalnya. Maka kabinet mendatang harus
mengedepankan totalitas kerja di mana apabila menteri dari partai ternyata
adalah pejabat di partai maka jabatan di partainya harus dilepaskan demi
konsentrasi dalam totalias kerjanya. Orang partai yang menjadi menteri dimutasi
saja ke posisi dewan pembina atau bentuk lainya.
Bagaimanapun juga kondisi kabinet
masa lalu harus dijadikan pelajaran berharga untuk bangsa ini. Pelaksanaan
pemilu legislatif yang masih menunjukkan kekurangan di sana sini juga harus
diambil pelajaran ke depan. Pelajaran paling menarik adalah bagaimana mungkin
bisa terjadi coblos masal dan masuk dalam berita media elektronik. Saya sendiri
berharap penyempurnaan e-KTP bisa menjadi basis data untuk penerapan e-voting
pada pemilu serentak pileg/pilpres tahun 2019 nantinya. E-voting akan jauh lebih
murah, akuntabilitas tinggi dan meniadakan kecurangan di berbagai tahapan
perhitungan. Perkara rakyat yang dikhawatirkan tidak melek teknologi itu bukan
alasan karena rata-rata rakyat sudah terbiasa dengan HP, televisi dan internet.
Bahkan orang tuapun sudah banyak yang menjadi aktifis warnet main game
anak-anak.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
16 april 2014.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar