Kala itu saya sedang melaju di
jalanan dalam perjalanan antar kabupaten melewati jalan lintas tengah Sumatra.
Ketika melewati salah satu ruas jalan, terlihat beberapa alat berat ukuran
kecil sedang beroperasi untuk melakukan pemeliharaan jalan berupa penambalan
jalan berlubang. Sesaat saya membayangkan sebuah profesionalisme kerja
mengingat jalan lintas tengah Sumatra adalah jalan nasional yang merupakan
jalan di bawah pengelolaan Kementrian PU. Namun bayangan saya tentang
profesionalisme kerja tersebut buyar seketika ketika kenderaan yang kami naiki
bergoncang, ternyata goncangan diakibatkan melewati tambalan jalan. Terlihat
permukaan jalan bopeng-bopeng, diperparah oleh tambalan jalan yang tidak datar
dengan permukaan jalan semula. Saya mencoba menerka kira-kira berapa perbedaan
ketebalan antara jalan semula dengan tambalan jalan, semula saya kurang
percaya, namun setelah berjalan beberapa ratus meter, ternyata kondisinya
hampir sama, saya perkirakan perbedaan ketebalan antara jalan semula dengan
tambalan jalan kira-kira 1 cm atau kerang lebih sedikit. Ditambah dengan
tambalan jalan yang kurang landai pinggirannya sehingga apabila dilewati
kenderaan dengan laju kecepatan sedang maka kenderaan akan berguncang dan ban
kenderaan akan melayang sekitar 1 atau 2 detik. Tentu guncangan ini di samping
mengganggu kenyamanan berkendara juga mengganggu kenyamanan bernegara. Mengapa
demikian ? Karena nama besar jalan lintas tengah Sumatra dan Kementrian PU
sebagai pengelolanya menjadi terganggu akibat bentuk dan tambalan jalan yang
kurang baik.
Saya sendiri bukan sarjana teknis
sipil, namun saya menilai penambalan jalan tersebut tidak sesuai dengan kaidah
keteknikan. Tentunya pemadatan antara material aspal sebelum dan sesudah
digilas dengan mesin gilas memiliki koefisien. Namun secara kasat mata, seharusnya
produk penambalan jalan bisa disiasati secara sederhana tanpa harus
pusing-pusing dengan koefisien pemadatan. Dengan modal sebilah kayu lurus dan
kaki di ujungnya bisa dijadikan alat pengatur ketebalan awal material aspal dan
apabila digilas akan menjadi padat kira-kira datar dengan jalan semula. Bisa
saja diujicoba berapa ketebalan material awal diperbandingkan dengan kondisi
permukaan pasca penggilasan. Saya memprediksi apabila ketebalan material awal berbeda
kira-kira 1 cm dengan permukaan jalan semula dan apabila digilas akan memiliki
permukaan yang hampir lurus dengan permukaan jalan semula.
Di sini diperlukan seni dan
estetika dalam pekerjaan keteknikan.
Selain faktor pengerjaan, faktor
kualitas material aspal juga perlu untuk dievaluasi. Beberapa ruas jalan
nasional yang dikerjakan oleh perusahaan bonafid ternyata kualitasnya selama
masa umur bangunan ternyata sudah memerlukan pemeliharaan dan perawatan. Di
sini faktor kualitas material aspal sudah harus menjadi perhatian serius. Sudah
waktunya Kementrian PU berkoordinasi dengan seluruh Dinas PU untuk mengevaluasi
dan mengkaji pentingnya penerapan sertifikasi produk aspal berupa SNI atau
produk sertifikasi lainnya. Sehingga antara bonafiditas perusahaan, kualitas
pengerjaan apabila didukung dengan material berkualitas bersertifikat akan
menghasilkan produk konstruksi yang berkualitas juga.
Namun walau didukung oleh semua
kondisi di atas, tetap saja akan terjadi kegagalan bangunan oleh berbagai
faktor dan sebab. Proses penggunaan konstruksi yang apabila tidak didukung
dengan perawatan dan pemeliharaan yang memadai akan menimbulkan benih-benih
kerusakan kecil yang apabila dibiarkan bisa berakibat terjadinya kegagalan
bangunan. Faktor umur bangunan dan kegagalan bangunan belum sepenuhnya menjadi
dasar dalam menilai sebuah kasus kerusakan konstruksi. Di sini diperlukan
penilaian dari semua sudut dalam menilai sebuah kerusakan konstruksi, jangan
hanya dari sisi pidana saja. Oleh karena itu UU Jasa Konstruksi harus
diterapkan secara konsisten di mana faktor umur dan kegagalan bangunan harus
dinilai oleh tim penilai ahli persertifikat. Sementara keberadaan dan jumlah
SDM yang memiliki sertifikat ahli penilai kegagalan bangunan masih sangat minim
jumlahnya. Oleh karena itu Kementrian PU dan LPJK sebagai instansi tertinggi
pembina jasa konstruksi harus memacu dan mempercepat penambahan jumlah SDM
penilai ahli bersertifikat minimal 3 orang perkabupaten/kota. Hal ini tentunya
bukan masalah karena negeri ini memiliki sarjana terknik sipil terbanyak di dunia.
Keberadaan SDM ahli penilai
kegagalan bangunan di setiap daerah selain untuk menangani kasus kegagalan
bangunan juga bisa mencegah terjadinya kegagalan bangunan dalam bentuk
pembinaan menyeluruh terhadap seluruh aktor pekerjaan konstruksi baik itu
pimpro, perusahaan, tenaga ahli dan tenaga trampil yang menjadi ujung tombak
pekerjaan konstruksi.
Konstruksi sehat negara kuat.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
24 april 2014.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar