Alkisah, konon kabarnya, si
Fulan, tamatan terbaik di suatu sekolah menengah atas di suatu daerah
perdesaan, ingin menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Namun apa daya,
kondisi ekonomi keluarga mereka tidak memungkinkan untuk membiayainya kuliah di
tempat perguruan tinggi berdomisili yaitu di perkotaan. Kalau hanya sekedar
membiayai biaya pendidikannya saja keluarganya masih mampu tapi untuk membiayai
hidup di perantauan keluarganya tidak mampu lagi. Akhirnya si Fulan berwirausaha
menjadi penjual makanan tenda di pinggir jalan seperti nasi goreng, mie goreng,
mie kuah, cap cai dan sebagainya di depan ruko milik orang lain pada malam
hari. Hasilnya lumayan dengan omzet berpenghasilan bersih antara 100 ribu
sampai 200 ribu tiap malam yang kalau dihitung perbulan berkisar antara 3 juta
sampai 6 juta perbulan. Sudah menyerupai gaji pokok pegawai negeri sipil
golongan III. Walaupun dari segi penghasilan si Fulan sudah tidak kekurangan
lagi namun di lubuk hatinya yang terdalam dia masih ingin menikmati bangku
perguruan tinggi dan masih ingin memiliki titel sarjana yang akan membuat
keluarganya bangga di desanya.
Kisah di atas hanyalah kisah
fiktif namun pada dasarnya mewakili potret pendidikan di pedesaan.
Bagaimanapun juga perguruan
tinggi merupakan impian semua pelajar. Perguruan tinggi juga merupakan amanah
UUD 1945 dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Perguruan tinggi diatur dalam UU
pendidikan tinggi di mana penyelenggaranya adalah pemerintah pusat (dalam hal
ini kementrian tertentu) dan kelompok masyarakat seperti yayasan. Pemerintah daerah
tidak punya kewenangan mengelola perguruan tinggi namun pemerintah daerah bisa
bekerjasama dengan pemerintah pusat dalam mengembangkan perguruan tinggi kejuruan
sesuai potensi daerahnya. Potensi daerah terutama seperti pertanian, perikanan,
perkebunan, kehutanan, kelautan maka wajarlah apabila jurusan yang sesuai di
kembangkan di pedesaan. Tidak wajar apabila potensi pedesaan tapi jurusannya
dikembangkan di perkotaan. Atau mengembangkan jurusan yang dibutuhkan di
pedesaan seperti keguruan dan kebidanan/keperawatan
Pedesaan, dalam hal ini diwakili
oleh pemerintah daerah, masih tergantung pada dinamika birokrasi daerah. Berbeda
dengan perkotaan yang digerakkan oleh sektor swasta. Pemerintah daerah identik
dengan PNS. Sampai saat ini potensi PNS masih kurang maksimal untuk
dikembangkan. Salah satu potensi yang sudah dikembangkan adalah asuransi
kesehatan yang dulu dikenal dengan ASKES yang kini bergabung dalam BPJS
kesehatan. Kesehatan gratis sudah dinikmati mereka. Sedangkan potensi
pendidikan belum dikembangkan. Seandainya di suatu pemerintah daerah memiliki
PNS berjumlah 7 ribu orang dengan gaji rata-rata Rp. 3 juta perbulan. Bila setiap
orang perbulan dipotong gajinya sebesar 2 % maka Rp. 3 juta X 7 ribu X 2 % = Rp.
420 juta perbulan yang bila dikalikan 12 bulan menjadi Rp. 5,04 milyar pertahun
atau Rp. 25.2 milyar dalam lima tahun atau Rp. 50,4 milyar dalam sepuluh tahun.
Bila potongan 2 % perbulan ini dipergunakan sebagai modal untuk mendirikan perguruan
tinggi daerah berbasis potensi daerah seperti di atas maka di setiap daerah
mestinya sudah bisa memiliki beberapa perguruan tinggi kejuruan. Modal awal
tentunya besar dan ini bisa diselesaikan dengan bantuan perbankan dan hutang
ini dicicil dengan cara potongan 2 % perbulan tadi. Potongan ini dipandang
sebagai modal dari setiap orang PNS yang akan diperhitungkan apabila deviden
sudah mencukupi jumlahnya. Mengingat pemerintah daerah tidak punya kewenangan
untuk mengelola pendidikan tinggi maka Korpri bisa membentuk Yayasan Pendidikan
Tinggi Korpri sehingga tidak melanggar UU Pendidikan tinggi. Sehingga PNS bukan
hanya berfungsi sebagai abdi masyarakat dalam pelayanan administrasi tapi juga
menjadi motor pengembangan pendidikan tinggi di pedesaan. Apalagi bila UU Desa
telah diterapkan maka anggaran desa yang milyaran pertahun sebagian bisa
dipakai untuk mengembangkan pendidikan tinggi kejuruan milik Yayasan Pendidikan
Tinggi Korpri tadi.
Bila ini terwujud maka cita-cita
mencerdaskan kehidupan bangsa tidak lagi menjadi monopoli kehidupan perkotaan. Pelajar
seperti si Fulan pun sudah pasti bisa menikmati pendidikan tinggi.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
28 maret 2014.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar