Saya yakin dan percaya ketika Jokowi menjadi walikota solo, tidak
terbersit sedikitpun dalam hatinya untuk suatu saat nantinya akan menjadi
gubernur Jakarta. Dan saya yakin dan percaya pada saat awal kepemimpinan Jokowi
menjadi gubernur Jakarta, tak terbersit sedikitpun dalam hatinya untuk suatu
saat nantinya menjadi calon presiden RI.
Di awal kepemimpinannya sebagai gubernur Jakarta, Jokowi mulai
mengenali masalah Jakarta, mulai dari yang paling kronis seperti kemacetan dan
banjir, sampai pada permasalahan perkotaan pada umumnya seperti kawasan kumuh, urbanisasi,
kriminal, birokrasi dan lainnya. Ternyata Jakarta bukanlah sebuah daerah otonom
biasa tapi sebuah daerah otonom luar biasa. Hampir semua masalah kronis Jakarta
saling kait mengkait dengan daerah sekitarnya terutama daerah Jabodetabek.
Kemacetan Jakarta ternyata bukan disebabkan oleh mobilitas keseharian
penduduknya sendiri tapi mobilitas keseharian penduduk luar Jakarta yang bergerak
dari rumah kediaman menuju tempat beraktifitas terutama bekerja mencari nafkah
pada jam yang hampir bersamaan melewati titik lalu lintas tertentu pada waktu
yang hampir bersamaan sedangkan keterbatasan daya tampung jalan terhadap
pengguna jalan sangat terbatas sehingga terjadilah kemacetan. Solusi jangka
pendek adalah membangun rumah susun terhadap pekerja buruh sebagai jumlah
terbanyak berdekatan dengan kawasan industri tempatnya bekerja. Jalan layang
dibangun untuk memperlancar arus kenderaan tanpa harus menjalani antrian lampu
merah perempatan jalan. Bus transjakarat diperbanyak jumlah dan rutenya. Kereta
rel listrik diperbanyak. Namun solusi jangka pendek ini tidak begitu efektif.
Hanya sekedar memindahkan penggunaan sarana transportasi dari bis kota ke bus
transjakarta atau kereta rel listrik. Belum maksimal perpindahan dari
penggunaan mobil pribadi ke saraana angkutan umum. Di sini Gubernur Jokowi
mulai gelisah. Sudah mulai muncul pemikiran bahwa masalah Jakarta takkan terselesaikan
oleh hanya seorang gubernur. Muncul pemikiran sarana transportasi massal
seperti MRT dan monorail yang terbukti urusannya tak terbatas hanya pada
seorang gubernur tapi terkait dengan beberapa menteri terkait seperti Menteri
PU dan Menteri Perhubungan. Setelah melalui jalan berliku akhirnya MRT dan
monorail proyeknya mulai dibangun. Gubernur Jokowi kembali gelisah karena MRT
dan monorail adalah sebuah proyek jangka menengah yang baru bisa dinikmati
hasilnya belasan tahun lagi dan bisa saja berhenti di tengah jalan oleh sesuatu
hal. Belum lagi proyek jangka menengah selesai, muncul kebijakan mobil murah
yang diprediksi akan membanjiri jalanan Jakarta. Gubernur Jokowi kembali
gelisah, akankah kemacetan bisa diatasi hanya oleh seorang gubernur Jakarta ?
Begitu juga dengan banjir. Tiada hujan tiada badai, kok banjir ? Demikian
kira-kira keluhan rakyat Jakarta. Jakarta merupakan hilir dari beberapa sungai
besar. Berkurangnya daya resap tanah terhadap air, berkurangnya daya alir
sungai akibat pendangkalan oleh endapan dan sampah, daerah aliran sungai (DAS)
yang dipenuhi pemukiman kumuh di luar Jakarta berakibat tumpahan air hujan
mengalir deras ke Jakarta. Sedangkan sungai yang bersifat lintas daerah
merupakan domain kerja kementrian terutama Kementrian PU. Namun akibat dari
sungai yang meluap dan tidak maksimal fungsinya sebagai penampung air dan
mengalirkan air dari hulu ke hilir. Gubernur Jokowi kembali gelisah, akankah
banjir Jakarta hanya bisa diselesaikan oleh hanya seorang gubernur Jakarta ?
Permukiman kumuh terutama pada daerah aliran sungai diselesaikan
dengan relokasi ke rumah susun. Rumah susun hanya solusi sementara. Untuk
jangka menengah rumah susun terancam ledakan penduduk ketika anak-anak di rumah
susun beranjak dewasa. Permukiman kumuh adalah efek urbanisasi di mana kaum
urban yang kalah bersaing sebagian besar terdesak ke pinggiran sungai. Urbanisasi
terkait magnet Jakarta sebagai tempat paling menjanjikan untuk mencari kerja.
Urbanisasi takkan berhenti hanya dengan menyediakan rumah susun. Urbanisasi
terkait pemerataan pembangunan dan strategi pembangunan daerah. Gubernur Jokowi
kembali gelisah, akanlah urbanisasi bisa diselesaikan oleh hanya seorang
gubernur Jakarta ?
Uraian di atas hanya sebagian kecil dari kegelisahan Jokowi sebagai
gubernur. Jokowi sebagai gubernur semata bagaimanapun maksimalnya peranan
gubernur DKI tetap saja takkan bisa menyelesaikan permasalahan jakarta karena
penyebab permasalahan Jakarta bukan dari dalam Jakarta sendiri tapi dari luar Jakarta
terutama Jabodetabek. Bahkan menyangkut urbanisasi bukan hanya sebatas dari Jabodetabek
tapi dari seluruh penjuru negeri nusantara. Jokowi sebagai gubernur sudah
sangat menyadari hal ini. Dan Jokowi sebagai gubernur sudah melihat koordinasi
dengan birokrasi luar Jakarta begitu njelimet dan tidak linear, bahkan beberapa
di antaranya abstrak. Konsep megapolitan Jabodetabek ternyata hanya didukung
dengan sebatas hubungan koordinatif tanpa struktur permanen dan anggaran
tersendiri.
Ya, tidak ada jalan lain, masalah Jakarta hanya bisa diselesaikan dengan
kombinasi solusi intern Jakarta dan solusi ekstern Jakarta. Solusi ekstern
Jakarta hanya bisa direalisasikan apabila Jokowi sebagai gubernur harus
bertransformasi menjadi Jokowi sebagai presiden. Bukan hanya Jokowi sebagai
gubernur yang menyadari hal ini tapi banyak pihak sudah menyadari hal ini. Transformasi
Jokowi harus terealisasi.
Salah satu jalan wajib yang harus dilalui untuk menjadi Jokowi transformatif
adalah dukungan parpol peserta pemilu dan itu sudah dimiliki. Jalan wajib
selanjutnya adalah akankah perolehan suara pemilu legislatif mencukupi untuk
mencalonkan diri menjadi capres tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Tapi
itu bukan masalah primer. Berdasarkan pengalaman dari presiden dan kabinet
sebelumnya maka keberhasilan seorang presiden terutama sangat tergantung siapa
wakil presiden dan siapa personel kabinetnya. Akankah menteri dalam kabinet
memiliki daya dukung atau justru menjadi beban tersendiri bagi presiden. Jokowi
tentu sangat menyadari hal ini. Dalam benak Jokowi tentu sudah menari-nari
sosok calon wapresnya dan sosok calon menterinya. Masalah selanjutnya adalah
akankah kabinet harus koalisi lagi ? Walau secara peraturan kita menganut
kabinet presidensial namun realita politik menunjukkan bahwa untuk menjaga
kondusifitas di parlemen diperlukan akomodasi parpol di kabinet. Walaupun
pengalaman menunjukkan justru wakil parpol di kabinet tidak mampu meredam
potensi gejolak yang muncul dari parpolnya di parlemen. Di sini diperlukan seni
memilih orang di mana politisi dan profesional ternyata tidak bisa dipandang
secara hitam putih. Seorang politisi belum tentu tidak profesional. Dan seorang
profesional belum tentu tidak berpolitik. Untuk itu diperlukan komposisi zaken
kabinet dengan kira-kira minimal 60 % profesional murni dan maksimal 40 %
politisi profesional. Sedangkan keberadaan oposisi tentu tetap sangat
dibutuhkan untuk melakukan check and balance.
Tentu banyak kekhawatiran bila Jokowi menjadi calon presiden,
terutama kekhawatiran Jakarta akan telantar kembali. Jokowi harus bisa
meyakinkan bahwa salah satu misinya adalah menyelesaikan masalah Jakarta
langsung dari pusat kekuasaan dan ini akan lebih efektif daripada tetap menjadi
gubernur. Apalagi penciptaan Jakarta baru di tempat lain sebagai magnet baru
uebanisasi untuk mengurangi arus urbanisasi ke Jakarta hanya bisa diwujudkan
oleh seorang Jokowi transformatif. Jakarta baru di setiap pulau besar hanya
bisa diwujudkan bila Jokowi menjadi presiden.
Tingginya elektabilitas Jokowi yang tercermin lewat beberapa hasil
survei masih harus diuji dan dibuktikan pada pemilu presiden. Dan hasil dari
pemilu legislatif sangat menentukan langkah Jokowi selanjutnya. Tingginya
harapan masyarakat takkan bisa dipenuhi oleh seorang Jokowi. Isu terpenting ke
depan bukan pada dukungan atau penolakan pada Jokowi tapi lebih urgen pada
dukungan pembentukan zaken kabinet. Siapapun presidennya takkan efektif bekerja
tanpa didukung oleh zaken kabinet. Bahkan Jokowi sendiri bila terpilih menjadi
presiden bila tidak didukung dengan zaken kabinet maka kabinet akan berjalan
tidak maksimal.
Tentu presiden harus mengurusi seluruh rakyat dan seluruh wilayah
nusantara, bukan hanya Jakarta semata.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
24 maret 2014
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar