Sebagai pusat segalanya maka
Jakarta menjadi pusat berkumpulnya orang yang menjadi pelaku pusat segalanya
tersebut. Berkumpulnya orang ini dimulai dari tempat tinggal bergerak menuju
tempat beraktifitas dan bekerja baik itu dengan memakai fasilitas kenderaan
umum berupa bis kota, mobil pribadi, kereta api rel listrik ataupun kenderaan
roda 2. Kemacetan terjadi karena pergerakan orang dari tempat tinggal menuju
tempat beraktiftas berada pada kisaran yang sama melewati tempat dan jalan tertentu
yang sama di banyak tempat. Maka terjadilah kemacetan akibat ketidakmampuan
jalan menampung dan mengalirkan pergerakan semua kenderaan ini. Bila dilihat
komposisi kenderaan yang tumpah ruah di jalan tertentu dan jam tentu maka
kemacetan didominasi oleh kenderaan pribadi baik itu kenderaan roda 2 maupun
kenderaan pribadi roda 4. Sedangkan transportasi umum seperti bis kota
menenpati jumlah urutan ketiga.
Dari hal ini maka muncul
pemikiran untuk membuat sarana transportasi massal. Saat ini yang baru
terealisasi adalah kereta rel listrik. Sedangkan MRT dan monorail sedang dalam
proses pengerjaan pendahuluan.
Orang yang bergerak dengan
kenderaan berbagai jenis ini bisa dikategorikan secara umum menjadi tiga
golongan. Golongan pertama adalah golongan ekonomi lemah seperti buruh pabrik
dan karyawan/staf perusahaan. Golongan ini biasanya memakai jasa transportasi
umum seperti bis kota atau kenderaan roda 2. Golongan kedua adalah golongan
ekonimi menengah seperti karyawan kantoran dan manajemen lini bawah dan lini
tengah. Golongan ini sebagian memakai jasa transportasi umum dan sebagian
memakai mobil pribadi bukan mewah. Golongan ketiga adalah golongan ekonomi atas
seperti pejabat negara, pejabat teras swasta dan lainnya. Golongan ini sudah
pasti memakai mobil mewah atau kenderaan dinas.
Ketika kereta rel listrik dibangun
dan dioperasikan maka bila dilihat komposisi pemakainya maka sebagian besar
penumpang adalah peralihan dari penumpang bis kota dan kenderaan roda 2, hanya
sebagian kecil dari pemakai kenderaan roda 4. Dari sini maka kontribusi kereta
rel listrik terhadap usaha mengatasi kemacetan masih rendah. Diprediksi jika
MRT dan monorail sudah dioperasikan maka penumpangnya akan berasal dari mantan
penumpang kereta rel listrik, bis kota, kenderaan roda 2. Sedangkan pemakai
kenderaan pribadi bersedia beralih ke MRT dan monorail masih sangat diragukan
mengingat jalur MRT dan monorail tidak bisa menjangkau semua tujuan
beraktifitas dan bekerja.
Dari analisa di atas maka
pengkajian mengatasi kemacetan Jakarta belum bisa berhenti sampai pada program
transportasi massal seperti MRT dan monorail. Masih harus ada pemikiran lain
yang lebih realistis dalam upaya pengalihan kebiasaan memakai kenderaan pribadi
penyebab kemacetan ke sarana transportasi lainnya.
Satu sarana transportasi yang
selama ini terlupakan adalah taxi. Taxi sebagai jasa transportasi umum mmeiliki
kelebihan bisa bergerak lebih leluasa karena tidak memiliki trayek tertentu dan
bisa bergerak kemana saja secara leluasa dan di waktu yang tidak terbatas.
Kelemahannya adalah bila menuju tempat yang sepi dari keramaian dikhawatirkan
bisa terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Kelebihan taxi ini sama dengan
kelebihan yang dimiliki oleh mobil pribadi hanya saja dari segi fasilitas plus
yang dimiliki oleh mobil mewah tentu taxi tak bisa mengimbangi.
Bila masalah utama kemacetan
ternyata pada jumlah kenderaan umum yang membanjiri jalanan tertentu dan pada
jam tertentu maka perlu kiranya dikaji taxi sebagai solusi pengurangan jumlah
kenderaan pribadi yang menimbulkan macet. Taxi bisa dijadikan solusi kemacetan
dengan memperbaiki kenyamanan, kemanan dan pembiayaan. Pembiayaan di sini
maksudnya menyamakan biaya yang diperlukan antara memakai mobil pribadi dengan
biaya menumpang taxi. Caranya adalah penumpang cukup membayar argo sebesar
harga BBM yang dikonsumsi taxi sedangkan komponen keuntungan taxi ditanggung/disubsidi
oleh APBN dan APBD seJabodetabek. Subsidi ini hanya berlaku pada jam tertentu
yang sudah menjadi jadwal macet rutin. Sedangkan kalau jam tidak macet seperti
jam 9 malam tidak perlu subsidi lagi. Di sini perlu modifikasi argo taxi dengan
menambahkan komponen waktu pemakaian argo dan rumus pembayaran subsidi dan
nonsubsidi. Serta komponen pencatat total subsidi yang akan diklaim ke pihak
pemberi subsidi. Subsidi taxi menurut saya masih jauh lebih murah dari pada
harga subsidi BBM mobil pribadi yang macet berjam-jam, kerugian ekonomi akibat
macet, stress dan lain sebagainya.
Hal ini memang masih membutuhkan
pengkajian yang lebih mendalam namun sebagai sebuah alternatif baru tentu ini
patut untuk direnungkan dan diperhitungkan.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
6 februari 2014
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar