Tak terasa hajatan pemilu
legislatif sudah di depan mata. Harapan demi harapan kembali berseliweran di
pikiran para intelektual. Sebanding dengan kekhawatiran akan kebobrokan politik
yang didominasi oleh aliran uang dalam bentuk jual beli suara yang begitu
vulgar dan semua tak berdaya memandangnya.
Sudah banyak didiskusikan di
berbagai media tentang cara untuk menjadikan pemilu 2014 menjadi lebih baik
dari pemilu sebelumnya. Namun semua itu hanyalah diskusi tinggal diskusi. Kaum
inteletual sibuk dengan diskusinya sementara penyelenggara pemilu juga sibuk
dengan urusannya dengan masalah yang tidak ringan. Yang agak menyita perhatian
adalah kewajiban pelaporan penggunaan dana parpol dari rekening kampanye
parpol. Parpol diwajibkan memiliki rekening khusus dana kampanye dan wajib
melaporkan penggunaanya kepada KPU.
Dan ini edan.
Kekhawatiran akan terulangnya
politik uang masih sedemikian besar, dan kekhawatiran itu justru menjurus pada
keadaan yang semakin memburuk. Politik uang akan melibatkan uang dalam jumlah
besar. Ukurannya bukan ikat atau kardus lagi tapi ukuran truk besar. Dan
satu-satunya lembaga yang mengurusi uang tunai dalam jumlah sebesar itu adalah
perbankan. Maka dari itu kebijakan tentang rekening dana kampanye parpol dan
pelaporan penggunaan dana kampanye adalah kebijakan mubazir dan sia-sia. Negara
ini tak punya sumber daya manusia yang mencukupi untuk mengawasi dana kampanye
ilegal yang dipakai untuk jual beli suara. Apalagi jual beli suara ini berjalan
dengan azas saling menguntungkan. Pembeli suara memiliki uang dan membutuhkan
dukungan suara. Sementara penjual suara membutuhkan uang untuk biaya hidup dan
memiliki suara untuk dijual. Apalagi jual beli suara ini akan berjalan absurd
dan fatamorgana. Semua pihak yang menawarkan untuk membeli suara uangnya akan
diterima dan dimasukkan ke kantong pemilih. Toh barang yang dijual yang bernama
suara ini takkan terbuktikan apakah sesuai dengan janji jual beli karena pembuktiannyas ada di bilik
pencoblosan atau pencontrengan. Bayangkan bila 3 orang broker suara untuk 3
orang caleg DPRD kabupaten/kota, 3 orang broker suara untuk 3 orang caleg DPRD
propinsi, 3 orang broker suara untuk 3 orang caleg DPR, 3 orang broker suara
untuk 3 orang calon DPD berarti semua berjumlah 12 broker suara dikalikan 100
ribu persuara maka uang sejumlah 1,2 juta akan masuk kantong pemilih tanpa
harus membuktikan kemana suara akan diberikan. Agar tidak dikatakan ingkar
janji maka bisa saja si pemilih akan mencoblos atau mencontreng kedua belas nama
tersebut. Itu kalau 12 broker suara. Bagaimana kalau lebih ? Di sini arti
penting kampanye “ambil uangnya pilihan tetap hati nurani”. Namun sampai
sekarang kampanye seperti ini tak pernah terdengar satupun. Bahkan kelompok
pemantau pemilu independe pun nyaris tak terdengar eksistensinya. Dulu masih
KIPP (komite independen pemantau pemilu). Sekarang tak ada.
Praktek jual beli suara akan
melibatkan uang tunai bertruk-truk pada waktu tertentu terutama menjelang hari
pencoblosan/pencontrengan. Bahkan mulai sekarang uang tunai berjumlah besar
sudah mulai berseliweran terutama perebutan broker suara yang handal mendulang
suara. Memang tidak bisa dipastikan bahwa uang tunai berjumlah besar dipastikan
akan dipakai untuk politik uang karena ada juga perusahan atau proyek besar
menggaji karyawannya dalam jumlah ratusan atau ribuan dengan gaji harian atau
mingguan atau bulanan dalam bentuk gaji uang tunai namun uang tunai seperti ini
sudah bisa dipastikan siapa pelakunya. Yang harus diwaspadai adalah orang-orsng
yang selama ini tak pernah menarik uang tunai berjumlah besar namun dalam waktu
dekat ini menarik uang tunai dalam jumlah besar dan mengisi form penarikan uang
tunai pada isian tujuan penggunaan dana untuk bisnis tanah atau bisnis lain.
Ini berjumlah banyak dan negara takkan mampu memantau semuanya. Paling-paling
PPATK dan jaringannya melakukan pendataan dan menyatakan terjadi transaksi
mencurigakan sebanyak ribuan atau ratusan ribu transaksi namun untuk mengejar
lebih jauh mereka tak memiliki SDM yang mencukupi.
Sedangkan kalau pebisnis murni
sudah jarang memakai uang tunai. Bahkan para tuan tanah dan pedagang besar
tingkat kampungpun sudah memakai jasa transaksi keuangan elektroknik atau
check/giro untuk menjalankan bisnisnya. Gaji karyawan buruh kasar dengan jumlah
5.000 orang dengan gaji harian 100 ribu perorang perhari toh hanya membutuhkan
uang tunai 500 juta rupiah. Uang sebanyak ini tak perlu menyewa truk untuk
membawanya.
Oleh karena itu maka satu-satunya
cara paling efektif untuk meminimalkan jual beli suara adalah dengan membatasi
transaksi keuangan tunai mulai saat ini juga. Cara ini tetap takkan bisa
menghapus politik uang karena dalam skala kecil dan skala sedang mereka akan
memakai ATM dan menguras uangnya tiap hari namun ini akan membuat mereka repot
dan aliran uang untuk jual beli suara akan tidak sehebat sebelumnya.
Selain membatasi transaksi
keuangan tunai, perlu juga merazia setiap truk apa isi muatannya secara
berkala, tak perlu setiap hari. Hal ini penting karena bisa saja truk besar itu
dibawa keliling dari ATM ke ATM yang lain menguras uangnya sampai truk itu
penuh dengan uang tunai.
Bagaimanapun juga kita semua
berharap pemilu 2014 harus menghasilkan kualitas wakil rakyat yang lebih baik
dari pemilu sebelumnya. Paling tidak jumlah persentase politisi yang baik sudah
meningkat dan jumlah persentase politisi busuk sudah menurun.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
5 februari 2014.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar