Remunerasi adalah salah satu
produk reformasi birokrasi dalam mewujudkan clean government. Kondisi birokrasi
yang buruk terutama kinerja pelayanan publik, perilaku KKN, disiplin dan
penerapan/penguasaan peraturan yang lemah dipandang sebagai akibat dari
rendahnya penghasilan dan kesejahteraan PNS. Maka lahirlah konsep remunerasi
sebagai solusi utama di mana dengan meningkatnya penghasilan maka pikiran PNS
tak perlu lagi memikirkan tentang biaya hidupnya dan bisa berkonsentrasi
menjalankan tugas-tugas birokrasi sesuai tempat tugasnya. Dengan adanya
remunerasi membawa konsekuensi dihapuskannya penghasilan tambahan lain di luar
gaji seperti honorarium dalam berbagai bentuk dan jenisnya.
Sampai saat ini pada APBN 2014
diperkirakan total kementrian/lembaga yang akan menikmati remunerasi berjumlah
76 kementrian/lembaga dengan remunerasi 100 % dan dperkirakan menyedot anggaran
sekitar 45 trilyun. Kementrian/lembaga yang lain dan seluruh pemerintah daerah
masih harus bersabar entah sampai kapan mengharungi suasana diskriminatif ini.
Sejak mencuatnya kasus bang GT di
direktorat jenderal pajak maka suara kritik terhadap efektifitas remunerasi
mulai naik ke permukaan. Dengan gaji total kira-kira 12 juta perbulan atau
rata-rata 400 ribu perhari ternyata bang GT masih bermain-main dengan tugasnya.
Walaupun kalau dipikir-pikir apalah artinya 12 juta bila dibandingkan dengan
godaan hibah puluhan milyar.
Beberapa alasan munculnya kritik
terhadap efektifitas remunerasi adalah remunerasi tidak efektif merubah sifat
dan gaya materialistis birokrasi, remunerasi belum terbukti meningkatkan
kinerja birokrasi, remunerasi menyedot anggaran negara dalam jumlah besar,
remunerasi tidak serentak dan diskriminatif dan lain sebagainya.
Selain remunerasi, beberapa
jabatan penting seperti SKK Migas memiliki gaji lebih tinggi dari presiden,
beberapa atau mungkin semua dirut BUMN juga memiliki gaji lebih tinggi dari
menteri BUMN. Semua itu memiliki tujuan yang kurang lebih sama dengan
remunerasi yaitu menuju birokrasi yang lebih baik.
Namun setelah sekian tahun maka
sistem penggajian berlebihan ini sudah saatnya dievaluasi secara jernih
keefektifannya. Harus diukur dengan parameter yang jelas dalam menilai sudah
sejauh mana efektifitas remunerasi dan faktor-faktor apa yang harus ditambahi
dalam menunjang keberhasilan remunerasi. Atau jangan-jangan obat utama penyakit
birokrasi bukan remunerasi ?
Saya sendiri berpikir demikian.
Remunerasi bertujuan baik namun remunerasi bukan prioritas pertama dan takkan
bisa berdiri sendiri.
Saya melihat bahwa yang harus
dibereskan pertama kali adalah kesesuaian antara bakat dan minat SDM birokrasi
dengan penugasannya. Minat dan bakat ini bisa dilihat dari latar belakang
pendidikan dan latar belakang pengalaman serta keharusan untuk uji psikotest
minimal setiap awal tahun. Apa yang terjadi bila sarjana ekonomi ngurusin
pertanian atau sebaliknya sarjana sosial politik ngurusin keuangan ? Yang lebih
parah adalah sarjana politik menjadi pimpinan di instansi pekerjaan umum. Apa
jadinya bila SDM dengan bakat konseptor ditugaskan pada tugas penerapan ? Atau
dengan bakat perencanaan ditugaskan melakukan post audit ? Di sini pentingnya
the right man on the right job serta pentingnya the man behind the gun. Dan
yang lebih penting lagi adalah harus disusun pola psikotest untuk menseleksi
kadar kecenderungan KKN terutama korupsi. Pola psikotest khusus ini diharapkan
bisa mendeteksi sejak awal bakat korupsi yang dimiliki seseorang dan bila perlu
bisa mendeteksi ke tingkat gen dan yang memiliki gen korupsi bisa dikumpulkan
di satu instansi untuk diberi treatment khusus. Instansi bergelimang uang
jangan sampai ditempati SDM bergen korupsi ini.
Yang kedua adalah penyesuaian
kebutuhan instansi dengan keterampilan SDM yang dibutuhkan. Apa jadinya bila
instansi yang mengurusi keuangan ternyata SDMnya hanya sedikit yang menguasai
dan berlatang belakang sarjana akuntansi ? Atau instansi LPSE (layanan
pengadaan secara elektronik) atau dengan istilah lain tender online ternyata
SDMnya tidak faham sistem komputer ? Oleh karena itu reposisi SDM dan instansi
menjadi sangat penting untuk dibenahi.
Yang ketiga adalah pola promosi
jabatan. Bayangkan bila seorang berkinerja buruk, berkompetensi rendah,
berdisiplin rendah ternyata terpilih untuk menduduki jabatan membawahi para
staf berkinerja tinggi, berkompetensi tinggi dan berdisiplin tinggi. Suasana
seperti ini sangat merusak kinerja birokrasi. Ini juga penting untuk dibenahi.
Yang keempat adalah reward and
punishment. Disini remunerasi menempati posisi strategis. Remunerasi harus
menjadi pola reward dan harus bersanding dengan metode punishment di mana
instansi yang direncanakan akan mendapat remunerasi harus dibersihkan dulu dari
SDM terkena punishment dengan kata lain semua SDM dalam instansi yang akan mendapat
remunerasi sudah bebas dari SDM yang di bawah standar dalam banyak parameter
dan instansi tersebut hanya dihuni SDM berkualitas lebih dan layak mendapat
remunerasi.
Yang kelima adalah minimalisasi pengeluaran
terbesar. Salah satu pengeluaran terbesar PNS adalah biaya sekolah dan biaya
kuliah anak-anak. Bayangkan seorang PNS rendahan di daerah harus menyekolahkan
anaknya di perguruan tinggi merantu ke kota apalagi ke kota besar, berapa biaya
perbulan yang harus disediakan. Apalagi biaya besar ini ternyata didominasi
oleh biaya hidup bukan biaya pendidikannya. Oleh karena itu perlu dibuat
program asuransi pendidikan anak dengan pola mirip Askes (asuransi kesehatan) potong
gaji perbulan dengan persentase tertentu yang tidak memberatkan dengan jumlah PNS
sekitar hampir 5 juta orang tentu akan bisa saling subsidi silang mengingat
tidak semua punya anak yang harus disekolahkan dan dikuliahkan bisa mensubsidi
yang lain yang butuh biaya sekolah dan biaya kuliah anak-anaknya. Bila perlu
Korpri bisa membentuk unit usaha perguruan tinggi khusus untuk anak-anak PNS di
tiap propinsi atau setiap 4 kabupaten/kota mendirikan 1 perguruan tinggi milik
Korpri.
Masih banyak lagi aspek yang
harus dikaji ulang namun lima hal di atas rasanya sudah akan mewakili dan sudah
bisa meningkatkan dan memiliki daya dukung tinggi terhadap pencapaian tujuan
remunerasi.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
5 februari 2014.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar