Tidak akan ada yang memungkiri
bahwa KPK untuk saat ini dan beberapa tahun ke depan sudah menjadi lembaga yang
paling dibanggakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Sejak berdiri tahun
2003 sampai sekarang sudah berumur 10 tahun. Sebuah umur yang demikian lama
untuk sebuah lembaga yang dilahirkan bukan untuk niatan berdiri selamanya.
Pada periode ketiga kemimpinan
KPK, patut direnungkan tentang perjalanan keberadaan KPK baik perjalanan yang
telah lalu maupun perjalanan ke depan. Apakah perjalanan KPK sudah sesuai
dengan cita-cita reformasi dan cita-cita para pendiri dan penggagas berdirinya
KPK.
Hal pertama yang harus dievaluasi
adalah struktur dari KPK itu sendiri. Struktur dan tugas pokoknya sedemikian luas
dengan beban koordinasi dengan seluruh lembaga penegak hukum. Terbatasnya SDM,
anggaran dan struktur yang hanya ada di Jakarta membuat KPK harus membuat skala
prioritas di atas prioritas. Banyaknya kasus hukum yang melibatkan elit penting
negeri ini terutama pada mega skandal ditambah semakin menumpuknya kasus yang
diungkap, belum selesai yang satu sudah datang lagi kasus yang lain, membuat
kinerja KPK lebih dominan pada penindakan. Padahal KPK terdiri dari 4 deputi
yaitu deputi penindakan, deputi pencegahan, deputi infornasi dan data, deputi
pengawasan internal dan pengaduan masyarakat ditambah dengan sekretariat
jenderal.
Tindakan pencegahan jauh
tenggelam di bawah bayang-bayang penindakan. Sudah banyak kritik tentang hal
ini di mana penindakan belum menghasilkan konsep pencegahan korupsi yang
memadai. Saya tidak paham bagaimana proses rekrutmen SDM di KPK namun yang saya
amati KPK didominasi oleh para penyidik KPK yang berasal dari unsur kepolisian
dan kejaksaan. Lembaga kepolisian dan lembaga kejaksaan adalah lembaga yang
dominan penindakan. Saya melihat bahwa rekrutmen dari kepolisian dan kejaksaan
ini menjadi salah satu penyebab kenapa KPK lebih dominan bertindak penindakan.
Sedangkan rekrutmen pada pucuk pimpinan KPK sendiri didominasi dari unsur
kepolisian, kejaksaan, LSM, pengacara dan perguruan tinggi. Rekrutmen dan
seleksi pimpinan KPK juga mengedepankan kapasitas di bidang hukum. Namanya
hukum sudah barang tentu bukan mencegah tapi menindak.
Dari uraian singkat di atas maka saya
melihat bahwa anatomi KPK yang demikian akan terus melahirkan penindakan, bukan
pencegahan.
Bila kita ingin melihat
penampilan KPK dalam bentuk pencegahan maka deputi pencegahan harus diisi oleh
unsur birokrasi dan pengusaha. Tindak pidana korupsi melibatkan unsur dominan
yaitu oknum birokrasi dan oknum pengusaha. Walaupun ada unsur politisi sebagai
oknum namun unsur ini mempergunakan oknum pengusaha sebagai mitra strategisnya.
Bagaimanapun juga berbagai model dan modus korupsi lebih dikuasai oleh para
oknum birokrat dan oknum pengusaha. Maka yang bisa memberantas dan mencegah
korupsi adalah pelakunya sendiri yaitu oknum birokrat dan oknum pengusaha. Satu-satunya
yang menjadi kelemahan oknum birokrat dan oknum pengusaha ini adalah
penyadapan, selain itu mereka bisa atasi. Seandainya KPK tidak diberi
kewenangan penyadapan maka saya yakin KPK juga tidak berdaya menghadapi oknum
birokrat dan oknum pengusaha ini. Oleh karena itu saya melihat bahwa SDM di
deputi pencegahan harus ditata ulang dan merekrut para birokrat dan pengusaha
dari berbagai sektor baik itu sektor anggaran, sektor pemilihan pejabat, sektor
tender, sektor kontrak pengadaan dan lainnya. Bagaimana mereka bermain dan
bagaimana cara mencegahnya maka para birokrat dan pengusahalah yang memahaminya.
Deputi pencegahan sendiri saya melihat harus dipegang oleh dari unsur
birokrasi. Bila prioritas di bidang tender maka deputi yang direkrut harus
berasal dari birokrat yang berpengalaman dari bidang tender, demikian juga bila
prioritasnya yang lain.
Hal kedua yang saya soroti adalah
kerjasama antar lembaga. KPK hanya ada di Jakarta dan SDM yang dimilikinya
kira-kira 700-800 orang. Sudah tentu SDM yang sangat terbatas ini takkan mampu
menjangkau dengan rentang kendali Sabang sampai Merauke. Di sini arti penting
kerjasama antar lembaga. Selama ini kerjasama antar lembaga yang dilakukan
masih seputar kejaksaan dan Polri saja. Sudah waktunya kerjasama antar lembaga
ini dikembangkan dengan lembaga inspektorat baik itu inspektorat pemerintah
daerah ataupun inspektorat jenderal kementrian. Kerjasama ini terutama dalam
pengembangan pencegahan dan monitoring kelembagaan pemerintahan.
Hal ketiga adalah semakin
banyaknya kritik terbuka kepada KPK baik itu dari para politisi maupun para
tokoh nasional. Kritik di sini saya lihat masih berada pada batas kritik
membangun dan kritik pertanda kecintaan kepada KPK. Apalagi sebagian kritik
yang menghadapkan KPK dengan Kuhap. Tentu ini tidak bisa dipandang sebelah
mata. Kritik yang tak kalah pentingnya adalah semakin heroik KPK bertindak
justru korupsi semakin tumbuh subur di tempat dan waktu yang berbeda serta
bermutasi dengan cara yang acak dan seperti jurus mabuk tak terduga gerakannya.
KPK bisa mengadakan seminar atau diskusi tertutup dengan mengundang para tokoh
yang selama ini kritis terhadap KPK dengan maksud dan tujuan yang sama yaitu
semakin membawa KPK pada khittah pendiriannya.
Dalam usia yang kesepuluh ini
saatnya KPK melakukan evaluasi perjalanan masa lalu dan menyusun langkah ke
depan dengan semangat introspeksi diri. Tujuan pendirian KPK adalah hanya
menjadi lembaga sementara sampai kejaksaan dan kepolisian bisa bertambah kuat.
Semakin cepat KPK menyelesaikan tugasnya sesuai cita-cita pendiriannya akan
berbanding lurus dengan semakin cepat kita berhadapan dengan KPK jilid
terakhir.
KPKmu, KPKku, KPK kita semua.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
3 februari 2014.
***.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar