Dalam beberapa kejadian bencana
alam pemerintah pusat maupun pemerintah daerah terkesan gagap melakukan
penanganan bencana alam. Salah satu sebabnya adalah ketidakcukupan anggaran
penanganan bencana alam. Anggaran yang tidak mencukupi sangat membelenggu
gerakan penanganan bencana alam.
Bila kita telaah UU nomor 17
tahun 2003 tentang Keuangan Negara pada pasal 27 ayat (4) dan pasal 28 ayat (4)
menyebutkan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam keadaan
darurat dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya yang
selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN/APBD dan atau disampaikan
dalam laporan realisasi anggaran. Pada penjelasan dijelaskan bahwa pengeluaran
belanja untuk keperluan mendesak kriterianya ditetapkan dalam UU tentang APBN
atau peraturan daerah tentang APBD.
Pasal di atas diterjemahkan lebih
lanjut pada Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 162 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah
dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya yang selanjutnya
diusulkan dalam rancangan perubahan APBD. Hanya saja pasal ini kemudian
dibelenggu oleh dirinya sendiri dengan menyatakan bahwa pengeluaran yang belum
tersedia anggarannya hanya menggunakan pos belanja tak terduga, penjadwalan
ulang program/kegiatan dan memanfaatkan uang kas yang tersedia.
Hal ini diperparah lagi oleh
Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah
pasal 13 yang melarang pejabat pembuat komitmen (dulu pimpro) untuk tidak boleh
mengadakan kontrak pengadaan apabila belum tersedia anggarannya.
UU tentang keuangan negara telah
memberi ruang gerak yang sangat luas tentang penganggaran penanganan bencana
alam namun ruang gerak yang sangat luas itu dibelenggu oleh peraturan teknis di
bawahnya baik itu peraturan presiden tantang pengadaan barang/jasa pemerintah
maupun peraturan menteri dalam negeri tentang pedoman pengelolaan keuangan
daerah. Hal ini membuat para kepala daerah tergagap menangani bencana alam yang
terjadi di daerahnya. Kurangnya antisipasi terhadap terjadinya bencana alam di
daerahnya dalam bentuk minimnya anggaran cadangan biaya tak terduga seharusnya
bisa dicover dengan memakai payung hukum UU keuangan negara tersebut.
Saya melihat bahwa diperlukan
payung hukum yang lebih fleksibel dan sesuai dengan situasi kondisi pada saat
bencana alam terjadi dan diterjemahkan dalam sebuah peraturan teknis dan
aplikatif. Situasi kondisi bencana alam biasanya situasi tidak normal baik metode
kerja, ketersediaan barang, harga barang cenderung naik, transportasi
terganggu, administrasi kacau balau dan lain sebagainya. Sulit untuk
mengharapkan tata kelola administrasi berjalan dengan baik, harga normal,
transportasi lancar, bekerja dengan lancar. Oleh karena itu payung hukum yang
fleksibel ini harus disusun oleh para penyelenggara negara yang sudah
berpengalaman menangani kejadian bencana alam. Bila payung hukum ini disusun
oleh para penyelenggara negara yang tidak pernah menangani kejadian bencana
alam dan hanya birokrat yang terbiasa duduk di belakang meja maka payung hukum
tersebut tidak akan aplikatif dan tidak terterapkan di lapangan sehingga bila
dijalankan akan menjerat para penyelenggaranya ke meja penegak hukum. Pengganggaran
tidak terduga selain berasal dari dana cadangan, penjadwalan ulang program
kegiatan dan kas negara/daerah juga harus memungkinkan untuk melakukan dana
pinjaman kepada pihak yang bisa dipertanggungjawabkan seperti pinjaman dana
swasta, perbankan, yayasan sosial, pinjaman dana cadangan antar pemerintah
daerah dan lainnya sehingga permasalahan dana bisa luwes dan fleksibel.
Hal lain selain penggaran adalah
kerjasama antar lembaga negara seperti badan penanggulangan bencana
pusat/daerah, TNI, Polri, Satpol PP, Kesbang Linmas, SAR, PMI di mana metode
kerja antar mereka harus diatur sedemikian rupa dalam bentuk standar
operasional dan prosedur tetap dan telah menjalani pelatihan berkali-kali
sehingga ketika terjadi bencana alam mereka semua bisa bergerak cepat menangani
bencana alam. Jangan sampai mereka bergerak secara sendiri-sendiri.
Selain SOP juga diperlukan
peralatan standar yang harus sudah tersedia sebelumnya dan bila belum tersedia
bisa memakai peralatan dari instansi pemerintah terdekat atau meminjam dari swasta.
Kendala peralatan juga menjadi masalah tersendiri di lapangan.
Kondisi alam nusantara yang
rentan terhadap bencana alam memerlukan sebuah kelembagaan penanganan bencana
alam yang tangguh yang didukung ketersediaan dana yang cukup dan fleksibel serta
SDM terlatih disertai peralatan mendukung.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
24 januari 2014.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar