Inalum merupakan singkatan dari
Indonesia Asahan Aluminium. PT Inalum didirikan pada tahun 1975 setelah melalui
rangkaian panjang mulai dari studi kelayakan sampai pengoperasian. PT Inalum
sebelum pindah tangan ke Indonesia, sahamnya dimiliki oleh pemerintah RI dan
Nippon Asahan Aluminium Co yang merupakan gabungan pemerintah Jepang dengan 12
investor sebelumnya. Komposisi saham antara RI dan NAA bergerak dinamis mulai
dari RI : NAA sebesar 10 % : 90 %, kemudian 25 % : 75 %, kemudian 41,13 % :
58,87 %, kemudian 41,12 % : 58,87 %.
Sesuai dengan kontrak kerjasama maka
pengelolaan PT Inalum berakhir pada 31 Oktober 2013 dan harus diserahkan ke
pemerintah RI. Namun pelaksanaan ketentuan penyerahan ini tidak berjalan mulus.
Pemindahtanganan semula dilakukan dengan pemindahan saham kemudian berubah
dengan pemindahan aset yang diamanahkan oleh perjanjian kerjasama. Dengan
kepemilikan saham 58,87 % maka NAA sebagai representase Jepang mematok harga
aset sebesar 650 juta dolar AS yang kemudian turun menjadi 626 juta dolar AS.
Sedangkan pemerintah RI setelah melalui audit BPKP mematok harga 424 juta dolar
AS. Selisih harga ini tidak mencapai titik tengah sehingga harus melalui proses
sengketa di arbitrase. Namun sengketa di arbitrese dibatalkan dan setelah
melalui negosiasi akhir disepakati pada angka 556,7 juta dollar AS.
Kerjasama seharusnya menyenangkan
dan juga berakhir menyenangkan, bukan menegangkan. Namun pengakhiran kerjasama
pengelolaan PT Inalum berlangsung cukup menegangkan. Ada beberapa istilah yang
muncul dan rasanya kurang sreg untuk didengar pada akhir sebuah proses
kerjasama seperti : kembali ke pangkuan RI dan mengusir direksi dari Jepang.
Istilah ini saya menilai merupakan perlambang dan bentuk inferior dari kita terhadap
Jepang. Dan istilah ini mengesankan bahwa kerjasama selama ini tidak ikhlas
atau dibenci.
PT Inalum merupakan kerjasama
peleburan aluminium dengan memanfaatkan sungai Asahan sebagai sumber energi
listrik. Bentuk kerjasama seperti ini layak untuk diterapkan di tempat lain
dengan variasi bentuk kerjasama mengingat keterbatasan teknologi, pendanaan dan
SDM yang dimiliki oleh Indonesia. Hanya saja proses pengakhiran kerjasama ini
saya melihat kurang baik untuk diterapkan. Saya menilai bahwa kerjasama ini
harus terus dilaksanakan selama perusahaan tersebut terus dioperasikan. Yang
dilakukan cukup melakukan perpanjangan kontrak kerjasama dengan melakukan
revisi dan divestasi saham sampai pada tingkat konstan dan tetap.
Sebuah kerjasama seperti PT
Inalum dengan perbandingan saham tertentu di awal antara RI dan investor asing harus
diatur sedemikian rupa dan berjalan dinamis sehingga pada tahun ke-10
pengoperasian komposisi saham sudah 51 % milik RI. Dan pada akhir kerjasama
pengoperasian komposisi saham RI sudah 80 % - 85 %. Akhir kerjasama tak perlu
dengan pengambilalihan 100 % baik aset maupun saham. Kepemilikan investor asing
pada komposisi saham konstan 15 % - 20 % dalam rangka penyeimbang baik dari
segi kualitas manajemen, untung rugi perusahaan, alih teknologi baru maupun
maintenance hubungan baik selanjutnya. Divestasi saham secara dinamis ini bisa
melalui kesepakatan dan bisa juga mengukur nilai saham dengan mengujicoba
langsung melempar saham misalnya 5 % ke bursa saham dan harga pasarnya
dijadikan patokan untuk divestasi saham secara dinamis tadi.
Di samping membentuk komposisi
saham konstan, pasca kerjasama pengoperasian maka sebuah produk kerjasama
seperti PT Inalum selayaknya menjadi BUMN baru dengan status sebuah perusahaan
profit. Jadi yang seharusnya terjadi bukan pengambilalihan ke pangkuan bumi
pertiwi dan mengusir direksinya tapi dengan melakukan perubahan bentuk dari
perusahaan kerjasama operasi menjadi BUMN baru dengan saham konstan milik
investor asing maksimal 20 % dan sebagai akibat dari kepemilikan saham ini maka
pemegang saham akan memiliki hak suara untuk menempatkan orang – orangnya di
jajaran direksi. Penempatan orang asing ini perlu untuk transfer teknologi dan
manajemen serta maintenance hubungan baik.
Pasca PT Inalum, maka sebentar
lagi akan datang blok Siak, blok Mahakam dan lainnya. Tentu ini kabar baik bagi
kita semua.
Bila proses yang dilakukan adalah
kembali ke pangkuan bumi pertiwi serta mengusir direksi orang asing maka
dikhawatirkan adalah penyakit birokrasi akan menjangkiti dan manajemen tidak
memiliki check and balance. Dan jajaran komisaris akan diperebutkan oleh yang
bukan bidangnya.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
6 desember 2013.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar