Dari beberapa pemberitaan dan
hasil penelusuran di google ternyata jumlah kasus korupsi pengadaan alat
kesehatan jumlahnya semakin meningkat, bukan hanya di pemerintahan daerah tapi
sudah merambah ke tingkat pemerintah pusat.
Ada beberapa dilema yang dihadapi
pemerintah daerah ketika berhadapan dengan pengadaan alat kesehatan yang dari
segi dananya biasanya puluhan milyar dan harus tender.
Masalah pertama berada pada
penentuan dan penetapan spesifikasi. Namanya juga spesifikasi, tentu isinya adalah
tentang identitas barang secara spesifik. Setiap merek barang akan memiliki
spesifikasi yang berbeda satu sama lain walaupun fungsi umum dan fungsi
khususnya sama. Di sini masalahnya. Pada peraturan tender disebutkan bahwa
dalam penetapan spesifikasi barang dilarang mengarah pada merek tertentu. Bagaimana
menterjemahkan dan menerapkan hal ini ? Bagaimana mungkin menetapkan
sepsifikasi barang tanpa mengarah pada merek tertentu padahal setiap barang
memiliki spesifikasi yang berbeda ? Di sini saja para pengelola tender sudah
dibuat pusing tujuh keliling. Biasanya para pengelola tender mengambil jalan
aman dengan menggabung-gabungkan spesifikasi beberapa barang minimal 3
spesifikasi barang, makin banyak makin baik.
Permasalahan kedua adalah pada
penentuan harga survei (HPS = harga perkiraan sendiri). Pada umumnya alat
kesehatan adalah barang impor. Barang impor berarti ada importir dan
distributor utama. Setiap barang importirnya tidak banyak, malah ada yang
setiap barang hanya memiliki 1 importir. Artinya setiap barang hanya akan
memiliki 1 harga. Setiap merek hanya akan memiliki 1 harga. Sedangkan HPS harus
dibuat secara survei harga minimal 3 sumber harga. Di sinilah masalahnya.
Bagaimana cara mencari minimal 3 sumber harga apabila ternyata barang tersebut
hanya punya 1 distributor sebagai sumber harga ? Apakah harus mencari sumber
harga ke beberapa subdistributor, bukankah ini pemborosan karena harganya sudah
pasti sama atau hampir sama ? Biasanya para pengelola tender mengambil jalan
aman dengan menggabung-gabungkan beberapa harga dari subdistributor atau
menggabungkan sumber harga dari distributor dari beberapa merek.
Permasalahan ketiga terjadi pada
waktu tender. Sebagai barang berteknologi menengah atau berteknologi tinggi
maka metode evaluasi yang dilakukan biasanya sistem nilai dengan memberi skor
kepada aspek teknis dan skor tertinggi menjadi pemenang tender. Dengan metode
ini maka harga terendah belum tentu jadi pemenang. Dengan sistem skor ini maka
kesesuaian spesifikasi menjadi salah satu aspek teknis sehingga bisa saja
barang yang ditawarkan meleset 100 % dari spesifikasi yang ditentukan dalam
dokumen tender namun tidak membuatnya gugur tapi hanya memperoleh skor nol pada
aspek teknis kesesuaian spesifikasi. Hanya saja terjadi paradoks pada peraturan
tender karena walaupun metode evaluasi sudah sistem nilai teknis namun juga
diatur bahwa besaran bobot biaya bervariasi antara 70 % - 90 %. Aspek teknis
yang dinilai mestinya didominasi oleh skor aspek teknis, tapi justru aspek harga
diberi skor sangat tinggi sampai minimal 70 % dan maksimal 90 %. Sehingga bila
perusahaan peserta lelang menawar pada posisi penawaran terendah maka akan
memperoleh skor teknis sangat tinggi dan punya peluang menjadi pemenang.
Permasalahan keempat adalah pada
saat pelaksanaan kontrak. Namanya juga barang impor belum tentu memiliki
ketersediaan stok barang di dalam negeri. Kalaupun ada stok barang namun
menjadi rebutan dari beberapa perusahaan. Sehingga pengadaan barang tersebut
harus pesan lagi ke produsen luar negeri dan membutuhkan waktu untuk menjadi
barang jadi dan bisa dikirim ke Indonesia. Apabila kontrak ditandatangani setelah
pertengahan tahun atau di akhir tahun maka bisa dipastikan bahwa kontrak tidak
akan terpenuhi dan harus putus kontrak.
Dari keempat permasalahan di atas
dalam berbagai variasinya sudah menjadi penyebab utama kasus-kasus penyimpangan
pengadaan alat kesehatan baik yang terjadi di instansi pemerintah pusat maupun
di instansi pemerintah daerah. Spesifikasi yg mengarah pada satu merek, harga
tidak sesuai yang seharusnya, tender tidak prosedural dan gagal kontrak menjadi
mendominasi permasalahan yang terungkap ke permukaan. Dan ini masih terus
terjadi tanpa ada upaya pencegahan yang sistematis dan menyeluruh.
Kalau dipikir-pikir, alat
kesehatan adalah barang yang sangat terbatas jumlahnya baik secara merek maupun
pangsa pasar. Produsen alat kesehatan yang berkualitas bisa dihitung jumlahnya.
Sedangkan industri dalam negeri belum mampu untuk memproduksi alat kesehatan. Juga
pangsa pasarnya masih terbatas pada rumah sakit pemerintah dan puskesmas
pemerintah di tambah rumah sakit/klinik swasta. Oleh karena itu maka bukan hal
yang sulit bila alat kesehatan dimasukkan dalam prioritas utama program
e-kataloque LKPP. Untuk lebih prioritas lagi maka semua instansi pemerintah
yang punya anggaran pengadaan alat kesehatan diwajibkan untuk memberikan
spesifikasi barang yang dibutuhkan kemudian oleh Kemenkes dan LKPP melakukan
komunikasi dengan semua importir, distributor utama dan ATPM untuk berdialog
tentang penentuan harga jual yang layak dgn keuntungan bervariasi, baik dalam
bentuk rupiah maupun dollar. Apabila ini bisa dilakukan selain pencegahan
korupsi juga merupakan penghematan anggaran negara karena tak perlu lagi mengeluarkan
anggaran negara untuk survei harga dari seluruh penjuru Indonesia ke Jakarta, honorarium
panitia tender, dan biaya administrasi tender. Tinggal memanfaatkan fasilitas
e-kataloque LKPP yang berisi spesifikasi, harga dan distributor serta
subdistributor yang bisa dihubungi dan selanjutnya negosiasi untuk tanda tangan
kontrak. Tentu ini juga akan membantu waktu pelaksanaan pengadaan barang karena
bila kontrak ditandatangani di awal tahun maka sudah mencukupi waktu untuk
pesan barang ke produsen di luar negeri dan paling lambat akhir tahun sudah
bisa dipakai di rumah sakit atau puskesmas pemerintah. Dan ini juga bisa
menghambat masuknya barang-barang murah namun kurang berkualitas tapi memiliki
spesifikasi yang hampir sama dengan barang-barang berkualitas tapi mahal.
Lelang sehat negara kuat.
Rahmad Daulay
6 nopember 2013.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar