Pasca operasi tangkap tangan AM
oleh KPK dan operasi ini diduga terkait langsung dengan urusan pilkada, muncul
beragam komentar tentang hubungan dan kewenangan MK dalam menanganai sengketa
pilkada.
MK menjadi pilihan dalam
penanganan sengketa pilkada, selain alasan yuridis, juga terkait dengan
rendahnya kepercayaan kepada lembaga peradilan umum dalam penanganan sengketa
pilkada. Sedangkan MK sebagai lembaga baru tentu masih steril dan belum banyak
digempur oleh noda kepentingan. Maka jadilah MK sebagai lembaga yang menangani
sengketa pilkada dengan segala macam hiruk pikuknya. Terlepas dari puas atau
tidak namun bagaimanapun juga keputusan MK final mengikat dan tidak ada proses
banding atau kasasi.
Sejak operasi tangkap tangan MK
maka kesaktian MK dalam menangani sengketa pilkada kembali dipertanyakan.
Berbagai macam isu dan tuduhan miring terlontar dari berbagai pihak. Harus
diakui bahwa sejak MK menangani sengketa pilkada maka mayoritas pekerjaan MK
adalah mengurusi sengketa pilkada. MK menjadi sedemikian sibuk. Dan kesibukan
ini justru saya menilai telah menghilangkan kesakralan MK sebagai sebuah
lembaga tinggi negara. Maka dari itu belenggu sengketa pilkada harus dilepaskan
dari MK. Ada pendapat yang mengusulkan agar sengketa pilkada dikembalikan saja
kepada peradilan umum. Tentu pengadilan umum akan menangani sengketa pilkada
sesuai wilayah dan daerahnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sengketa
pilkada diserahkan saja pada PTUN dengan catatan apabila ditemukan unsur pidana
maka urusan unsur pidana diserahkan kepada pengadilan umum. Hal ini disamping
tidak efisien juga merepotkan dari segi waktu. Ada pendapat yang mengatakan
agar KPU membentuk Badan Arbitrase Sengketa Pilkada. Namun usulan ini mentah
akibat kelembagaan KPU yang berada di bawah eksekutif rentan terhadap
kepentingan penguasa eksekutif.
Berbagai macam pendapat di atas
lengkap dengan segala unsur positif negatifnya. Dan muncul pendapat lain yang
menyatakan bahwa sengketa pilkada tetap saja ditangani oleh MK.
Semula saya lebih setuju agar
sengketa pilkada jangan lagi ditangani oleh MK karena secara suasana kebatinan
saat ini sengketa pilkada di tangan MK sudah terasa hambar. Namun kalau
dipikir-pikir lagi bila sengketa pilkada diserahkan pada peradilan umum,
peradilan tata usaha negara atau bentuk badan baru di bawah KPU apakah keadaan
akan semakin baiki, apakah sudah dipikirkan matang-matang ? Ataukah ini hanya
sekedar emosi sesaat atas MK yang lagi tersandung masalah ?
Di antara berbagai macam pilihan
tersebut, setelah dipikirkan matang-matang, pilihan masih tetap kepada MK,
dengan berbagai perbaikan di sana sini, terutama kepada perkuatan SDM
penyidikan. Saya sendiri tidak tahu apakah MK dilengkapi dengan SDM penyidikan.
SDM penyidikan terkesan menyerupai peradilan umum atau KPK namun saya melihat
keberadaan SDM penyidikan di MK perlu dalam penanganan kasus sengketa pilkada
karena pada umumnya sengketa pilkada berkaitan dengan tuduhan perbuatan pidana
seperti penggelembungan suara atau TPS, pilitik uang, suara fiktif, pengerahan
pejabat pemda untuk menggalang suara dan tindakan curang lainnya. Tindakan-tindakan
ini takkan bisa diurai dengan pemikiran cemerlang para hakim konstitusi di
persidangan saja tapi hanya bisa diurai oleh keterampilan penyidikan yang
berujung pada pembuktian tuduhan benar atau salah.
Segera bentuk penyidik MK untuk
perkuatan MK dalam penanganan sengketa pilkada.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
13 november 2013.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar