Jokowi memang fenomenal,
setidaknya sampai saat ini. Dan diprediksi masih akan terus bersinar. Banyak
partai yang berminat meminangnya, baik sebagai capres atau cawapres, namun
sampai saat ini Jokowi belum menanggapinya.
Di tengah gundah gulana politik
tentang mahalnya biaya politik pilkada, justru di jantung negara ini muncul
pemimpin kharismatik yang telah menjungkirbalikkan semua analisa dan logika
politik pilkada. Di tengah frustasi di segala lini tentang masa depan otonomi
daerah di bidang politik, justru di pusat pemerintahan muncul pemimpin yang
menjadi antitesis terhadap kenyataan politik yang selama ini menjadi arus utama
politik kontemporer.
Jakarta sudah terlalu ruwet, bagai
sebuah gelindingan bola yang tak tentu lagi bentuknya, sebuah benang kusut yang
takkan terurai lagi. Memperbaikinya justru semakin mempersulit keadaan. Sebuah
kota yang sudah terlalu banyak menanggung beban. Bagaikan gula yang tak mampu
lagi mengenyangkan para semut namun para semut itu justru semakin mengerubungi.
Hujan tak ada tapi rakyat kebanjiran. Macet di mana-mana, tua-tua di jalan. Di
mana penghuninya siang hari ada di jakarta tapi malam hari di luar jakarta. Sorga
sekaligus neraka dunia. Jalan penuh sesak oleh kendaraan namun pertambahan
kenderaan tak kunjung berhenti. Jokowi hadir di tengah itu semua. Secara
perlahan tapi pasti selangkah demi selangkah semua masalah dipetakan dan diurai
sedemikian rupa.
Belum selesai semua itu, kini
harapan atau beban baru justru diletakkan di bahu Jokowi. Beban itu bernama
nyapres. Survei demi survei meletakkan Jokowi di urutan pertama semua capres.
Magnet itu semakin kuat. Godaan untuk nyapres semakin kuat. Namun iman politik
jokowi cukup ampuh untuk menolak semua godaan tersebut.
Tidak mudah untuk menolak semua ajakan
politik tapi juga ternyata tidak cukup sulit untuk menepisnya. Sampai saat ini
Jokowi masih tegar dan menyerahkan sepenuhnya keputusan politik kepada
partainya. Benarkah Jokowi tidak berminat untuk nyapres ?
Saya melihat bahwa teka-teki ini
harus segera diakhiri. Bukan nyapres atau tidaknya yang diakhiri tapi dikotomi
membenahi Indonesia atau jakarta harus diakhiri. Artinya bahwa memang benar
bahwa Jakarta bukan mewakili Indonesia namun jakarta adalah wajah dan jantung
Indonesia. Kesemrawutan dan kompleksitas jakarta akan mempengaruhi kondisi
keIndonesiaan. Membenahi kesemrawutan dan kompleksitas jakarta menurut saya
akan mempengaruhi kondisi keIndonesiaan. Figur Jokowi harus ditempatkan pada
tempatnya dan menempatkannya sebagai manusia biasa dengan segala
keterbatasannya. Memaksakan semua harapan kita ke bahu Jokowi sama saja dengan
kita menjerumuskannya. Dan itu jangan terjadi. Jangan paksakan beliau masak
sebelum waktunya. Justru pemaksaan Jokowi untuk nyapres akan menjatuhkannya ke
rimba birokrasi politik yang berdasarkan pengalaman masa lalu telah memakan
banyak korban orang-orang baik di negeri ini.
Saya memandang bahwa akan lebih
realistis bila kita memberi waktu dulu pada Jokowi untuk membenahi Jakarta
namun Jokowi membutuhkan ruang gerak yang lebih luas dari hanya sekedar
Jakarta. Saya melihat bahwa ruang gerak yang lebih luas itu adalah Jabodetabek.
Ya, ruang gerak itu bernama Jabodetabek, lebih tepatnya Gubernur Jendral Kota
Megapolitan Jabodetabek. Eksperimen tata negara dalam bentuk ini harus
dipikirkan dan dianalisa urgensitasnya. Pembenahan Jakarta oleh Jokowi akan
sia-sia bila tidak ada ruang gerak keluar Jakarta. Koordinasi kepala daerah
seJabodetabek juga akan penuh dengan kepentingan. Perlu komando satu tangan dan
komando itu bernama Gubernur Jenderal Kota Megapolitan Jabodetabek. Gubernur
Jendral ini setingkat menteri muda jaman orde baru dulu dan masuk dalam jajaran
kabinet. Bila Jokowi sukses sebagai gubernur jenderal maka magnetnya akan
semakin kuat untuk nyapres dan situasi kondisi akan semakin matang.
Bila eksperimen ini berhasil maka
eksperimen selanjutnya bisa bergeser ke eksperimen Gubernur Jenderal Kota megapolitan
Surabaya Raya (Surabaya-Gresik-Sidoarjo) dan Medan Raya (Medan-Deli
Serdang-Langkat-Binjai).
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
3 september 2013.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar