Pemerintah pusat melalui Kementrian Pendidikan
semakin agresif dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan salah satu programnya
yaitu dana BOS (bantuan operasional sekolah) yang kini menjangkau tingkat
SMU/SMK yang sebelumnya hanya menjangkau sampai tingkat SD/SMP.
Dana BOS pada prinsipnya untuk membiayai biaya
operasional sekolah dari semula berasal dari SPP siswa menjadi ditanggung
negara melalui dana BOS dan mewajibkan penghapusan semua kutipan kepada siswa.
Sayang sekali yang dihapus cuma kutipan siswa, seharusnya menghapus semua beban
orang tua siswa seperti pembelian seragam, buku tulis, alat tulis, sepatu, tas
dan lainnya terutama pada siswa tidak mampu.
Namun dalam perjalanannya perlu penyempurnaan
berkelanjutan. Salah satu yang harus dibenahi adalah alokasi maksimal 20 %
untuk gaji guru non PNS. Patokan angka maksimal 20 % ini mengakibatkan
bervariasinya gaji yang diterima walau beban mengajarnya hampir sama. Apalagi
untuk sekolah pedalaman dan terpencil sangat mengandalkan keberadaan para guru
non PNS tersebut.
Dalam hal ini, perlu kiranya patokan angka maksimal
20 % dana BOS ini diperbaharui dengan menjadikan patokan gaji guru non PNS
menjadi setara dengan gaji CPNS dengan beban mengajar standar 24 jam mengajar.
Yang apabila mereka mengajar di bawah 24 jam maka tinggal mempersentasekan saja
jam mengajar aktual dibagi 24 jam kalikan gaji CPNS. Contohnya bila beban
mengajar hanya 16 jam berarti 16/24 x (gaji CPNS) = 2/3 x (gaji CPNS). Demikian
juga bila mereka mengajar di atas 24 jam juga tinggal mengkalkulasikan saja
seperti di atas.
Standarisasi gaji guru non PNS ini penting untuk
meningkatkan daya konsentrasi mengajar dengan menghilangkan masalah ketidakpastian
dan ketidakcukupan gaji dari pikiran mereka. Jumlah dana BOS yang cukup besar
akan lebih bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan guru non PNS daripada
membelanjakan ke ATK dan penggandaan yang tak jelas juntrungannya.
Masalah yang hampir sama juga dialami oleh para
guru PNS yang telah lulus ujian sertifikasi guru namun tidak dapat memenuhi
kewajiban mengajar minimal 24 jam dikarenakan kesulitan memenuhi jam
mengajarnya akibat fluktuasi jumlah murid, banyaknya jumlah guru bermata
pelajaran sama, keterbatasan jumlah sekolah dan sebagainya. Sebaiknya kewajiban
24 jam mengajar pada mata pelajaran yang sama ini difleksibelkan menjadi
kewajiban 24 jam mengajar pada mata pelajaran yang serumpun seperti fisika yang
serumpun dengan kimia dan matematika. Juga ketidakmampuan memenuhi target
minimal 24 jam mengajar ini tidak menggugurkan gaji sertifikasinya tapi cukup
dengan mengurangi gajinya dengan menggunakan persentase jumlah mengajar aktual
dibagi 24 jam dikali gaji sertifikasinya. Contohnya bila beban mengajarnya
hanya 16 jam maka gaji sertifikasinya 16/24 x (gaji sertifikasi). Harus
difahami bahwa untuk kondisi daerah terutama di pedalaman dan pedesaan jumlah
sekolah dan murid sangat terbatas sedangkan jarak antar sekolah bisa sangat
jauh dan tidak terjangkau untuk mengajar di dua atau lebih sekolah untuk
mengejar target 24 jam mengajar tersebut. Sehingga sangat tidak adil bila
keterbatasan di luar diri guru tersebut justru ditanggung oleh guru yang
bersangkutan dengan tidak bisa dapat gaji sertifikasinya. Padahal keberadaan
gaji sertifkasi guru adalah untuk mengingkatkan kualitas pendidikan dengan
salah satu cara meningkatkan kesejahteraan guru tanpa harus menstreskannya
dengan paksaan 24 jam mengajar tanpa menghiraukan batasan situasi kondisi yang
ada. Akan lebih arif kekurangan jam mengajar tersebut cukup dengan mengurangi
gaji sertifikasinya secara persentase seperti di atas.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
3 juli 2013
·
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar