UN telah usai.
Beragam penilaian berseliweran di atmosfer nasional. Segala macam hiruk pikuk
UN telah usai namun perdebatan ttg UN masih akan terus bergema.
Tadi saya
secara iseng membuka website dari Kemdikbud dan membuka daftar pejabat Kemdikbud.
Ternyata elit pejabat Kemdikbud didominasi oleh para profesor doktor PhD dan
sejenisnya. Direktorat jendral yang berkaitan dengan pendidikan anak usia dini,
direktorat jenderal yang berkaitan dengan pendidikan dasar dan menengah serta
kejuruan didominasi oleh para profesor doktor dan PhD.
Untuk kondisi
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan kejuruan
secara nasional sebagian besar di daerah dengan segala keterbatasannya. Dalam
penilaian skala 100, hanya sebagian kecil bisa memiliki di atas 70, sebagian
besar di bawah 70. Terbukti dari hasil nilai UN dari tahun ke tahun sebagian
besar berada berdekatan dengan ambang batas nilai kelulusan.
Sedangkan para
profesor doktor dan PhD dari titel ini secara akademik merupakan perwakilan
dari orang terbaik dan untuk penilaian skala 100 mereka ini berada pada posisi
mendekati 100. Pejabat dengan kualitas tinggi seperti ini akan memandang
sesuatu berdasarkan kacamata dirinya dan lingkungannya. Apalagi titel profesor
doktor dan PhD selalu dilekatkan dengan perguruan tinggi. Maka kualitas SDM dan
lingkungannya akan sangat mempengaruhi produk kebijakan yang dibuat. Bisa kita
lihat bagaimana kebijakan dan peraturan dari Kemdikbud begitu perfect sehingga
sulit untuk diterapkan pada sebagian besar sekolah yang berada di daerah dan
pedesaan. Bisa diumpamakan bagaimana sebuah mobil mewah harus berjalan di jalan
tanah becek berlumpur. UN merupakan perwakilan dari kebijakan perfect produk Kemdikbud
yang merupakan puncak gunung es kebijakan pemerintah pusat yang harus
diterapkan di sekolah daerah dan pedesaan.
Hiruk pikuk UN
yang terjadi merupakan akibat dari kesenjangan kondisi real sekolah dasar dan
menengah dengan kacamata pemerintah pusat dengan kualitas SDM profesor doktor
dan PhD. Malah mereka berpikiran akan menyelenggarakan UN secara online. Waduh,
mereka semakin menunjukkan bahwa mereka memandang negeri ini hanya dari
kacamata mereka dan lingkungannya yg memang familier dengan online-isme. Mereka
tak pernah memakai kacamata daerah dan pedesaan yg jauh dari situasi
online-isme. Mereka tidak memahami bahwa jangankan untuk online, listrik saja
tidak ada. Walaupun ada dayanya naik turun, komputer dan internet masih
merupakan barang yang aneh. Ketika dana alokasi khusus kemdikbud turun ke
daerah di mana salah satu barang yang diadakan adalah komputer dan sarana
teknologi informasi. Peralatan tersebut bukannya dipakai tapi disimpan di
gudang atau dipajang di etalase lemari kepala sekolah. Alasan pertama adalah
listrik tidak mendukung. Alasan kedua guru tidak ada yg pandai lagi mengoperasikannya.
Alasan ketiga takut rusak. Asalan keempat takut listrik korslet. Ini hanyalah
salah satu contoh bahwa pola pikir SDM berkualitas tinggi yang mendominasi elit
Kemdikbud memiliki kesenjangan tinggi dalam penerapan di daerah. Contoh paling
mutakhir adalah ketika ujian kompetensi guru (UKG) dilaksanakan online, apakah
semua daerah bisa ikut serta ?
Saya melihat
bahwa Kemdikbud harus mengakomodir keanekaragaman situasi dan kondisi serta
kesenjangan di bidang pendidikan dari seluruh wilayah Indonesia untuk kemudian
dirumuskan dalam bentuk kebijakan dan peraturan. Dalam beberapa hal kebijakan
dan peraturan memang harus seragam dan berlaku nasional. Namun akibat dari
perbedaan dan kesenjangan antar daerah yang terjadi akibat berbagai penyebab
maka perlu juga dibuat kebijakan dan peraturan yang berbeda antar daerah. Dalam
skala 100 tentu daerah yang masih bernilai 10 kebijakan untuk mereka adalah
bagaimana agar nilai 10 bisa diangkat menjadi 20 atau 30. Sedangkan untuk
daerah yang sudah benilai 50 tentu kebijakan untuk mereka adalah bagaimana
menaikkan angka 50 menuju 60 atau 70. Demikian seterusnya.
Untuk itu maka
walaupun birokrasi pemerintahan menganut pola otonomi namun untuk mencapai
tujuan di atas maka Kemdikbud perlu merekrut semua mantan kepala dinas
pendidikan propinsi/kabupaten/kota dan menempatkannya pada direktorat yang
sesuai seperti direktorat pendidikan dasar dan menengah serta kejuruan. Juga
mereka bisa ditempatkan di badan litbang. Mereka bisa ditempatkan di jabatan
eselon ataupun staf sesuai kapasitasnya. Bila tidak bisa semua, paling tidak
dalam jumlah yang mewakili dan representasi keanekaragan kondisi pendidikan
nasional. Pengalaman mereka di daerahnya sangat diperlukan sebagai sumber data
dan perumusan kebijakan peraturan pendidikan dasar dan menengah serta kejuruan
seIndonesia. Serta bagaimana meramu kebijakan dan peraturan nasional dengan
mengakomodir situasi lokal dan regional.
Bila hal ini
terjadi saya yakin kontroversi UN sebagai faktor utama penentu kelulusan tidak
akan segaduh ini.
Dan tentunya
bukan hanya Kemdikbud tapi semua kementrian seharusnya melakukan rekrutmen
terhadap mantan kepala dinas daerah yang sejenis dengan kementriannya. Tidak sedikit
mantan kepala dinas atau sekretaris daerah yang berkualitas nasional dan layak
untuk direkrut oleh kementrian.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
17 mei 2013
·
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar