Bagaimanapun juga Jakarta sebagai ibukota negara adalah tempat tujuan dari
segala – galanya.
Jakarta merupakan pusat pemerintahan, pusat bisnis dan ekonomi, pusat
pendidikan, dan sebagainya. Orang mau cari kerja, datang ke Jakarta. Orang mau
mengadu nasib, datang ke Jakarta. Ingin karir PNSnya bertambah baik, datang ke
Jakarta. Karir pekerjaannya bagus, ditarik ke Jakarta. Hampir semua ke Jakarta.
Bahkan preman, pengemis dan tukang copet yang ingin pekerjaannya lebih
meningkat penghasilannya, datang ke Jakarta. Mau diapain lagi ? Semua berjalan
alami bahkan mulai dari zaman Belanda, yang dulunya bernama Sunda Kelapa atau
Batavia, yang mana duluanpun aku sudah lupa.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi, jadilah rakyat Jakarta
menjadi rakyat berpenghasilan menengah ke atas dalam jumlah yang sangat banyak
yang minimal 1 rumah memiliki 1 mobil. Sedangkan kelas bawah, dengan sistem
cicilan yang sangat murah perbulannya, jadilah 1 rumah memiliki minimal 1
kenderaan roda 2.
Dan akibat dari itu pertumbuhan bisnis, perdagangan barang dan jasa,
industri menjadi tumbuh sedemikian pesat dengan sebagian besar karyawan yang
berasal dari luar Jakarta.
Terjadilah kemacetan yang luar biasa, terutama pada jam – jam tertentu.
Timbullah pemikiran untuk mengatasi kemacetan, salah satunya dengan
membangun angkutan massal seperti busway, monorail, subway, dan sebagainya.
Semua diskusi dari banyak ahli dan pakar digelar dalam usaha mengatasi
kemacetan Jakarta. Namun Jakarta masih tetap Jakarta yang macet.
Boleh boleh saja berpikir bahwa angkutan umum masal adalah salah satu
solusi penting mengatasi kemacetan Jakarta. Tapi yang lebih penting lagi adalah
pencegahan dengan mengkaji apa penyebab Jakarta macet, atau kenapa semua orang
datang ke Jakarta yang berujung kemacetan ???
Menurut saya, status Jakarta sebagai pusat segalanya harus dikurangi satu
persatu. Dan menurut saya, dengan kondisi yang seperti sekarang ini, cukuplah
Jakarta hanya sebagai pusat bisnis, pusat perdagangan barang dan jasa dan pusat
industri saja. Sedangkan status yang lain mulai dipindahkan secara bertahap ke
kota lain.
Dan satu hal strategis yang harus dipisahkan dari Jakarta adalah statusnya
sebagai ibukota negara. Status ini merupakan magnet utama kenapa semuanya
bertumpuk di Jakarta.
Banyak analisis yang muncul ke permukaan tentang rencana pemindahan ibukota
negara. Saya akan coba kupas dari segi dampak terhadap PNS pemerintah pusat.
Bagaimanapun juga, dalam beberapa tahun ke depan, Jakarta akan tetap macet.
Dan bila ibukota negara masih tetap di Jakarta, akan terus macet sampai puluhan
tahun ke depan, bila tidak lumpuh seperti prediksi beberapa pakar. Bagi para
penyelenggara negara dan PNS pemerintah pusat, kemacetan ini merupakan problem
tersendiri. Dari segi waktu merupakan pemborosan waktu. Bagi yang berkenderaan,
macet menyebabkan pemborosan BBM. Belum lagi dari segi biaya hidup yang tinggi
akan mendorong seorang PNS untuk korupsi.
Rencana pemindahan ibukota negara merupakan hal menarik bagi mereka. Ada
rencana ibokota negara akan dipindah ke Kalimantan. Mungkin dari segi geografis
jelas ini sangat mendukung, apalagi Kamlimantan dikenal sebagai pulau dengan
tingkat kemungkinan terjadi gempa kecil sekali. Namun dari segi sosial ini
masih merupakan hal yang tidak mungkin. Ibukota pindah sama saja dengan
memindahkan SDM / PNS dan seluruh perlengkapannya. Bila si PNS adalah asli
penduduk Jakarta maka barang tentu memiliki rumah di Jakarta atau di
sekitarnya. Bila si PNS adalah seorang pendatang, mungkin sudah memiliki rumah
di Jakarta atau di sekitarnya, atau mungkin masih mengkontrak rumah, atau
ngekos. Bila ibukota negara pindah, ada
dua pilihan, ikut pindah atau tetap di Jakarta dengan konsekuensi pindah kerja
dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah terdekat. Bila ibukota negara
dipindah ke Kalimantan maka saya memprediksi sebagian besar PNS, terutama level
menengah ke bawah akan memilih tetap bertahan di Jakarta dengan konsekuensi
pindah kerja ke pemerintahan daerah terdekat. Sedang PNS menengah ke atas,
sebagian bersedia pindah ke Kalimantan, sebagian memilih tetap di Jakarta
dewngan konsekuensinya. Sehingga pergantian ibukota negara akan berakibat
pergantian SDM / PNS pemerintahan pusat.
Saya melihat bahwa resiko di tingkat PNS akan sangat tinggi bila ibukota
negara pindah ke luar Jawa. Namun bila ibukota negara hanya digeser sedikit,
seperti ke Bogor sebagaimana usulan pak Harto, maka potensi kemacetannya masih
akan bergerak sangat cepat juga. Demikian juga bila dipindah ke kota di wilayah
pantura Jawa seperti Semarang, Surabaya. Daerah pantura Jawa masih merupakan
pusat bisnis dan perdagangan serta industri yang memiliki potensi kemacetan
yang luar biasa. Maka menurut saya lebih baik pemindahan ibukota masih tetap di
pulau Jawa tetapi jangan di wilayah pantai utara Jawa. Berarti pilihannya di
wilayah pantai selatan Jawa, seperti Jogjakarta atau Solo. Jogjakarta sudah
kita kenal sebagai kota budaya dan pendidikan. Tentu kondisi Jogjakarta ini
patut untuk dikembangkan terus sehingga akan terganggu bila dijadikan sebagai
ibukota negara. Saya melihat bahwa akan lebih baik apabila ibukota negara
dipindah ke Solo saja. Solo didesain hanya akan menjadi ibukota negara saja
dengan membuat peraturan yang sangat ketat sehingga memperkecil kemungkinan
menjadikan ibukota negara menjadi daerah tujuan segalanya. Dengan demikian
potensi kemacetan juga bisa diatur dan dihindari. Dan dari segi PNS, akan lebih
besar kemugkinan bagi PNS baik dari level atas, menengah dan bawah untuk pindah
kerja dari Jakarta ke Solo. Ataupun bila memang tidak memungkinkan untuk pindah
rumah, mereka bisa bekerja senin – jumat di ibukota negara dan sabtu – minggu
pulang ke rumahnya di Jakarta.
Kualitas pemerintahan pusat sangat ditentukan oleh kualitas
penyelenggaranya yaitu PNS. Pemindahan ibukota negara juga berarti pemindahan
para penyelenggara negara / PNS.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
20 agustus 2010.
* *
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar