Bila kita bedah anatomi SDM suatu
parpol di daerah, dari 100 % pengurus maupun aktifisnya, berapa persenkah dari
mereka yang tahu nama ketua umum dan Sekjen DPP/DPWnya, wakil parpolnya di
kabinet, ataupun memiliki / pernah membaca ataupun memahami AD/ART parpolnya ?
Yang lebih mengkhawatirkan adalah berapa persen dari mereka yang benar – benar
memperjuangkan aspirasi masyarakat lewat parpolnya / fraksinya di DPRD ?
Secara eksak pertanyaan di atas
tak bisa dijawab tanpa memiliki data yang sah sebagai dasar pemberian nilai,
namun secara abstrak bisa kita jawab walaupun akan banyak pihak yang
mempertanyakan dasar penilaian yang abstrak tersebut.
Tanpa bermaksud mengecilkan arti
penting parpol di daerah, saya pribadi mengeluhkan rendahnya kualitas SDM dan
pengabdian pengurus / aktifis parpol di daerah dalam berpolitik keseharian.
Pertanyaan di atas sering saya lontarkan secara guyonan kepada teman – teman
aktifis parpol di daerah dan jawabannya sungguh mengecewakan.
Kenapa kualitas SDM parpol di
daerah begitu minus nilainya ?
Bila kita lakukan kilas balik
pada masa awal kehidupan parpol di Indonesia yang dimulai sejak jaman
penjajahan Belanda maka akan terlihat jelas bahwa parpol pada waktu itu
didominasi oleh para mahasiswa / sarjana yang sadar akan arti penting
perjuangan bangsa melalui parpol. Dengan kata lain parpol pada waktu itu
didominasi oleh para putra terbaik bangsa. Hal yang sama terjadi pada masa orde
lama, para putra terbaik bangsa masih mendominasi kehidupan parpol. Perubahan
mulai terjadi ketika rezim orde baru mulai melaksanakan pembangunan ekonomi
yang memberi dampak pada berkembangnya usaha swasta yang kemudian menarik minat
para putra terbaik bangsa untuk berkecimpung di sektor swasta baik itu sebagai wirasawasta
maupun sebagai pekerja profesional. Persentase para putra terbaik bangsa yang
berkiprah di parpol semakin sedikit.
Di era reformasi, ketika sektor
swasta mengalami kegoncangan dan sektor politik mengalami booming parpol, para
putra terbaik bangsa mulai kembali melirik parpol, sayangnya ini hanya terjadi
di perkotaan. Dan memang para putra terbaik bangsa tersebut lebih memilih untuk
berdomisili di perkotaan tempatnya menuntut ilmu daripada tinggal di daerah
asalnya yang tidak menjanjikan pekerjaan dan penghargaan kepada ilmu yang
dimilikinya. Hal ini membawa dampak kurangnya distribusi para putra terbaik
bangsa tersebut ke daerah dalam berpolitik.
Ketentuan dalam UU Parpol yang
boleh ikut pemilu adalah parpol yang memiliki pengurus di 60 % dari jumlah
propinsi, pengurus di 50 % kabupaten pada propinsi tersebut dan pengurus di 25
% kecamatan pada kabupaten tersebut membawa dampak keterpaksaan bagi parpol
untuk membentuk kepengurusan di kabupaten dan kecamatan tanpa perlu
mempertimbangkan kualitas SDM yang ada pada daerah tersebut. Dan ini juga
membutuhkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Telah banyak terjadi di mana
pengurus parpol di daerah tak pernah menjalankan mekanisme organisasi dan hanya
sebatas pergantian pengurus serta sekretariat yang selalu kosong tanpa
aktifitas. Dan tak jarang pada pengurus kecamatan malah tidak punya kantor yang
layak. Jumlah kepengurusan di daerah sudah tidak lagi mencerminkan kekuatan
suatu parpol, malah mencerminkan rapuhnya suatu kekuatan semu yang dimiliki parpol.
Hal – hal di atas tak bisa
dibiarkan terus berlarut – larut. Parpol di daerah masih tetap merupakan aset
terpenting dan merupakan mitra pemerintah daerah dalam melakukan pembangunan
daerah. Banyak hal yang bisa ditempuh untuk memperbaiki kualitas parpol di
daerah. Dua hal penting yang bisa ditempuh adalah :
- UU Parpol yang mewajibkan komposisi kepengurusan 60 % propinsi, 50 % kabupaten dan 25 % kecamatan harus dirubah menjadi 80 % propinsi, 80 % kabupaten / kota terseleksi (terseleksi dalam hal kualitas SDM yang berkualitas yang ditandai dengan adanya distribusi jumlah sarjana di daerah tersebut dan perguruan tinggi dengan nilai akreditasi tertentu) dan tidak perlu mewajibkan kepengurusan di kecamatan. Hal ini akan membuat banyaknya parpol yang bisa memenuhi syarat jumlah kepengurusan untuk ikut pemilu. Dan ini lebih baik sebagai pilihan di mana geliat politik di tingkat atas akan lebih baik daripada memaksakan geliat politik di tingkat bawah. Akan rumit di tingkat atas tapi hanya pada waktu pemilu saja dan akan sederhana di tingkat bawah. Walaupun pada akhirnya parpol membentuk kepengurusan di daerah dasarnya bukan keterpaksaan untuk boleh ikut pemilu lagi tapi sudah merupakan dinamika organisasi. Parpol yang ramping kepengurusan tapi berkualitas dan handal tapi memiliki keuangan pas - pasan akan bisa ikut pemilu, dan mungkin malah harapan masyarakat terletak di tangan partai yang ramping tersebut.
- Parpol melakukan rekrutmen kepada para putra terbaik bangsa yang umumnya berdomisili di perkotaan tempatnya menuntut ilmu. Dan ini bukan perkara gampang karena arus pragmatisme sudah mendominasi di banyak perguruan tinggi. Apalagi wajah parpol di mata mereka cukup miring. Parpol di perkotaan perlu membentuk struktur fungsional yang jauh dari gesekan politik, dan ini akan mewadahi para putra terbaik bangsa tersebut dalam berkiprah dalam kepartaian. Bentuk struktur tersebut bisa sebagai litbang atau lembaga pengkajian strategis dan bila perlu sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang dimilikinya. Dan ketika pelaksanaan pemilu mereka didistribusikan ke daerah asalnya sebagai calon legislatif / DPRD. Mereka akan cukup efektif meraup suara rakyat karena umumnya mereka cukup dikenal oleh masyarakat daerahnya terutama oleh generasi muda seusianya.
Kedua hal di atas cukup
sederahana sebagai sebuah ide tapi akan sulit dalam hal penerapan mengingat
kuatnya pengarus kepentingan antar parpol dalam menyusun aturan main kepartaian
yang cenderung untuk menguntungkan parpolnya sendiri.
Semoga.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
31 desember 2007.
- * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar