UN sudah sedemikian sakral,
melebihi sakralitas pemberantasan korupsi. Ini harus segera diakhiri.
Ada pemikiran agar UN dihapus
saja.
Ada juga pemikiran UN masih
dibutuhkan yang salah satu alasannya adalah untuk mengetahui tingkat pendidikan
secara nasional.
Saya pribadi berpendapat bahwa UN
masih dibutuhkan dengan beberapa modifikasi terutama pada desakralisasi UN dan
mempermurah biaya baik biaya finansial maupun biaya sosial. Semua cerita haru
biru UN yang hanya diketahui oleh para pengambil kebijakan di jakarta melalui
media cetak dan elektronik tapi tidak menyaksikan langsung dan semua cerita
haru biru ini harus segera diakhiri. Negara didirikan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, bukan untuk menstreskan kehidupan bangsa.
Dimulai dari desakralisasi UN. UN
sedemikian sakral. Sampai ada doa bersama dan istighosah maupun ritual lainnya
agar bisa lulus UN. Ataupun ritual negatif dalam bentuk contekan, kunci
jawaban, cari bocoran soal, dugaan pengawas yang membantu murid, hanya saja belum
terdengar ada dugaan joki. Ini semua terjadi akibat UN dalam persentase
tertentu ikut menentukan lulus tidaknya murid. Kelulusan bukan hanya masalah
prestasi tapi prestise dan harkat martabat keluarga. Apabila murid tidak lulus
maka nama baik keluarga akan tercoreng. Bukan hanya keluarga, nama baik sekolah
juga tercoreng. Atau jangan-jangan nama baik kecamatan dan kabupaten/kota juga
ikut tercoreng. Maka dari itu sakralitas UN harus diakhiri dengan tidak perlu
membuat keterkaitan antara UN dengan kelulusan murid. Serahkan saja urusan
kelulusan murid kepada wali kelas dan kepala sekolah. Dengan demikian maka UN
bisa dilangsungkan secara rileks dan tenang. Gambaran yang sebenarnya tentang
kondisi riel pendidikan justru akan bisa diperoleh dalam suasana rileks dan
tenang ini. Hanya akan ada segelintir siswa yang bekerja keras demi nilai UN
yang ini terjadi hanya pada beberapa siswa yang punya kecenderungan berprestasi
tinggi yang biasanya adalah para rangking atas kelas dan rangking atas sekolah.
Sebagian besar akan santai-santai saja. Sebagian kecil lagi mungkin justru akan
memandang rendah pada UN atau bahkan tidak ikut UN. Yang memandang rendah UN
tapi ikut ujian, biar sajalah bila ternyata bisa lulus. Kita kan sedang mencari
gambaran riel, bukan bayang ilusi pendidikan. Yang tidak ikut ujian
dipersilahkan ikut UN ulang yang bila masih tetap tidak ikut ujian, apa boleh
buat, tidak bisa lulus sekolah. Jadi, kelulusan sekolah cukup pada ikut atau
tidak ikut UN saja.
Agar UN masih demikian sakral
untuk sebagian kecil siswa maka agar UN menjadi penentu utama terhadap
fasilitas bebas testing yang dulu bernama PMDK yang sekarang entah apa namanya.
Saya malah berpikir perlu dibentuk sakralitas baru UN tapi cukup kepada siswa
yang suka prestasi. Mereka ini sebenarnya harapan bangsa. Mereka yang
berprestasi yaitu para peraih nilai UN 10 besar kabupaten dan 3 besar
perkecamatan agar diberi fasilitas bebas testing masuk perguruan PTN dan PTS
tertentu dengan kombinasi biaya Kemendibud, Dinas Pendidikan Propinsi dan Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota dan variasi PTN/PTS terutama jurusan kependidikan, kesehatan,
pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan. Untuk 10 besar
perkabupaten/kota bisa masuk bebas testing di PTN perpropinsi. Sedangkan para 3
besar rangking perkecamatan menjadi urusan kabupaten/kota untuk masuk bebas
testing di PTS terdekat. Atau bila pemerintah daerah memiliki perguruan tinggi
sendiri bisa memperbesar persentase bebas testing untuk memenuhi kebutuhan
aparat birokrasi di pedesaan terutama keguruan dan kesehatan. Sakralitas
seperti ini akan menumbuhkembangkan semangat berprestasi siswa.
Dari segi efektifitas pembuatan
soal, sebaiknya tim pembuatan soal ujian dibentuk di setiap propinsi dengan
gabungan unsur dinas pendidikan propinsi, perguruan tinggi dan pakar pendidikan
setempat. Pembuatan soal ujian terlalu kecil untuk ditangani langsung oleh
Kemdukbud. Sedangkan Kemdikbud cukup sebagai pembinaan dan pengawasan saja. Ini
penting mengingat perbedaan dalam banyak hal antar propinsi membuat tidak layaknya
soal bersifat sama secara nasional. Kualitas soal tergantung bagaimana standar dan
kriteria yang diberikan oleh Kemdukbud dan bagaimana mengakomodir faktor lokal.
Sedangkan pencetakan soal dan jawaban diserahkan saja kepada lembaga percetakan
yang dimiliki negara tanpa tender dengan memberikan waktu yang mencukupi untuk
pencetakan tanpa harus diburu waktu. Sedangkan distribusi juga diserahkan saja
kepada organisasi negara yang mengurusi jasa pengiriman dengan atau tanpa
pengawalan ketat. Pengiriman naskah soal dan jawaban juga harus memberi waktu
yang mencukupi sehingga apabila ditemukan kesalahan pengiriman ataupun
kesalahan jumlah atau lainnya masih ada waktu yang cukup untuk memperbaiki baik
melalui pengiriman ulang atau lainnya.
Lanjutkan UN, dengan
desakralisasi dan biaya murah meriah.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
23 april 2013.
- * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar