Saya tidak begitu faham bagaimana mekanisme dan parameter serta rumusan
dalam membagi alokasi anggaran perdaerah, baik itu oleh legislatif maupun
eksekutif. Namun yang membuat miris adalah isu tentang adanya upaya dari beberapa
daerah untuk menaikkan jumlah alokasi anggaran untuk daerah mereka dengan
berbagai cara. Sepertinya negara ini dibangun dengan lobying. Hal ini apabila
dibiarkan berlangsung terus selain tidak mendidik, juga akan mengganggu proses
reformasi birokrasi yang semakin sayup – sayup dan sering menjadi bahan
tertawaan beberapa teman birokrasi.
Bahkan sering terjadi penambahan anggaran yang tidak pada tempatnya,
seperti penambahan anggaran pengembangan hutan padahal hutan di daerah tersebut
tidak seberapa luas, sementara daerah yang memiliki hutan yang sangat luas
justru hanya mendapat tambahan anggaran yang minim. Di bidang lain ini juga
sering terjadi yang seperti ini.
Harus ada rumusan yang jelas bagaimana anggaran dialokasikan perdaerah. Dan
pintu lobying harus ditutup rapat dengan menciptakan sistem dan prosedur yang
ketat dan kaku sehingga tak perlu lagi para pejabat daerah melakukan lobying ke
pemerintah pusat.
Secara garis besar, perlu dibuat rumusan minimum dan maksimum yang terukur
dalam membagi anggaran antar daerah yang diwujudkan dalam APBD.
Rumusan minimum bisa berupa jumlah penduduk, luas daerah, potensi daerah,
kualitas SDM, gaji aparat, desa tertinggal, fasilitas umum dan lain sebagainya.
Dan ini sebenarnya sudah merupakan hal yang biasa.
Yang akan menjadi hal yang baru adalah apabila penambahan anggaran selain
batas minimal tadi disusun dengan rumusan yang berbasis merit poin. Penambahan
anggaran harus disusun dengan formulasi dan perkalian yang terukur dan jelas,
bukan abstrak seperti halnya lobying. Rumusannya bisa berasal dari hasil
pemeriksaan audit rutin BPK yang dilaksanakan setiap tahun, dan audit jangan
hanya menilai aspek keuangan saja tapi harus meliputi aspek peningkatan
kualitas SDM, pola promosi jabatan, kualitas infrastruktur, pengadaan barang /
jasa pemerintah, penghematan anggaran, laju investasi, maintenance aset,
pencapaian reformasi birokrasi dan lainnya. Audit akan menghasilkan progress
report dan ini akan ditabulasikan secara nasional. Rekapitulasi ini dianggap
merupakan prestasi dan menjadi dasar pemberian koefisien penambahan anggaran
selain anggaran minimal sebelumnya. Semakin tinggi nilai koefisien maka akan
semakin banyak tambahan anggaran yang mereka peroleh. Di sini diperlukan
konsistensi dari para auditor untuk menolak segala godaan yang akan muncul. Selain
berbasis audit, perlu juga diberikan pola penambahan anggaran berbasis
proposal. Proposal akan diseleksi berdasarkan tingkat kelayakannya. Proposal
ini lebih difokuskan pada peningkatan potensi lokal seperti pariwisata dan
kekhasan daerah lainnya.
Seandainya ini bisa terwujud, mungkin istilah lobying anggaran sudah bisa
dihapus dari perbendaharaan kata birokrasi.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
14 desember 2010.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar