Pada beberapa pemberitaan
menyebutkan minimnya minat para generasi muda untuk berwirausaha. Pendapat
tersebut tidak sepenuhnya benar. Yang benar adalah minimnya pengetahuan para
generasi muda tentang cara memulai wirausaha.
Bila kita lihat perbandingan
jumlah pengusaha jasa konstruksi di daerah antara sebelum dan sesudah reformasi
di mana sebelum reformasi asosiasi wadah tempat berkumpul para perusahaan jasa
konstruksi adalah Gapensi dan jumlah perusahaannya terbatas jumlahnya. Setelah
reformasi maka wadah asosiasi tidak dimonopoli Gapensi lagi dan bermunculanlah
wadah – wadah baru yang konon katanya menurut kabar terakhir ada 53 asosiasi
pengusaha jasa konstruksi. Dengan banyaknya jumlah asosiasi maka informasi
tentang cara berusaha di bidang jasa konstruksi, termasuk liku – liku hitam
putihnya, menjadi menyebar di kalangan masyarakat, dan umumnya mereka adalah
aktifis kepemudaan / OKP.
Dalam skala kecil, ini juga
terjadi pada usaha cuci sepeda motor / mobil, warnet, toko HP dan pulsa dan sebagainya.
Usaha sejenis ini menjamur
dengan cara contoh – mencontoh cara berusahanya.
Terlihat bahwa masalahnya bukan pada minat
tapi pada pengetahuan dan cara memulai usaha.
Bagaimanapun juga tingginya angka
pengangguran hanya bisa diatasi dengan menggalakkan wirausaha. Lapangan kerja
profesional, di samping terbatas, juga memiliki tingkat kompetisi yang sangat
tinggi dan sering harus bersaing dengan tenaga kerja asing sehingga tidak bisa
diandalkan sebagai sarana mengatasi pengangguran. Wirausaha harus digalakkan
secara kontinu dan sistematis dengan beberapa rekayasa sistematis sehingga
generasi muda bisa tahu bagaimana cara memulai usaha.
Beberapa media elektronik sudah memiliki
acara wirausaha namun tidak begitu diminati oleh masyarakat. Masyarakat lebih
menikmati acara sinetron.
Beberapa perguruan tinggi telah memasukkan
mata kuliah wirausaha sebagai mata kuliah wajib. Ini menarik. Karena pada
umumnya, walau tidak semua, kaum wirausahawan tergerak akibat kondisi terdesak
oleh keadaan. Sementara mahasiswa berada dalam kondisi belum terdesak oleh
keadaan. Keterpaksaan keadaan berada pada kondisi setelah menjadi sarjana. Mata
kuliah wirausaha ini, agar tidak mubazir, harus memiliki unsur praktis dan
mendatangkan narasumber yang memang seorang wirausahawan. Pada beberapa kasus,
mahasiswa yag terjun berwirausaha mengalami hambatan pada kondisi akademiknya
karena asyik berwirausaha menyebabkan kuliahnya terganggu, beberapa di
antaranya drop out. Harus ada upaya tertentu untuk memperkecil angka drop out
di kalangan mahasiswa yang berwirausaha. Dosen wali harus mengambil inisiatif.
Dosen wali bisa menganjurkan cuti atau mengambil mata kuliah minimal sehingga
walaupun agak lama tapi si mahasiswa masih bisa menyelesaikan kuliahnya. Atau
paling tidak dibuat kebijakan baru sehingga walaupun seseorang mahasiswa adalah
belajar pada program S1 tapi boleh menyelesaikan kuliahnya hanya sampai tahap
sarjana muda / diploma III. Walau bagaimanapun juga seseorang menjadi mahasiswa
dan sarjana tujuan utamanya adalah untuk mencari penghidupan yang layak. Ketika
bayangan penghidupan yang layak tersebut sudah di depan mata maka wajar saja
status mahasiswanya menjadi terabaikan. Saya malah melihat mata kuliah
wirausaha diberikan saja pada semester III, tidak perlu menunggu sampai pada
semester akhir.
Bila kita lihat komposisi angka pengangguran,
sebagian besar justru berada pada tingkatan usia pelajar. Artinya pelajar
tamatan SMU / SMP / SD dan mereka tidak mampu melanjutkan ke tingkat pendidikan
yang lebih tinggi, serta tidak punya modal dan keterampilan untuk berusaha. Sehingga
pada tingkatan ini diperlukan juga pengkondisian wirausaha. Bisa melalui
pendidikan formal bisa juga melalui pendidikan informal. Malah pada pendidikan
SMK lebih mudah mengarahkan mereka untuk berwirausaha. Balai latihan kerja
merupakan salah satu sarana yang efektif untuk membina para calon wirausahawan
baru dari kalangan angkatan pelajar.
Wirausaha harus direkayasa untuk menjadi
sebuah trend.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
6 agustus 2010.
*
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar