Apa saja yang menyebabkan pemilukada jadi begitu mahal ???
Mulai dari pencetakan stiker di
jalan dan gang sempit, pembuatan baliho di sepanjang jalan utama, poster besar
di pemukiman penduduk, uang jalan / uang makan / uang rokok relawan dan tim
sukses sampai pada ongkos saksi di semua TPS. Itu masih yang positif. Ini saja menghabiskan ratusan juta sampai milyaran.
Bagaimana dengan pembiayaan yang
tidak positif ??? Itu sudah rahasia umum dan tidak perlu dibahas panjang lebar.
Yang perlu dibahas adalah : “Kenapa
ada orang sampai berani mengeluarkan biaya milyaran, belasan milyar bahkan
puluhan milyar (ratusan milyar ada nggak ya ???) hanya untuk merebut jabatan
kepala daerah yang sebenarnya gajinya kalau ditotal selama menjabat 5 tahun
takkan mencapai 1 milyar ???”
Sudah pasti karena ada keyakinan
bahwa berapapun biaya politik yang dikeluarkan pasti akan bisa dikembalikan. Pada
umumnya pintu utama pengembalian biaya politik tersebut adalah pada proyek –
proyek APBD. Jadi bila pintu utama ini bisa ditutup maka besar kemungkinan
tidak akan ada lagi yang bersedia mengeluarkan biaya milyaran tersebut. Proyek
APBD seharusnya dilaksanakan melalui tender. Dan pada umumnya tender masih
bersifat manual dan sifat manual tersebut rawan terjadi “kesalahan”. Dan
“kesalahan” tersebut merupakan lahan untuk membayar hutang politik. “Kesalahan”
tersebut harus ditutup dengan melakukan pelelangan secara elektronik /
e-procurement. Dengan e-procurement maka “kesalahan” akan terhindarkan.
Satu lagi pintu utama
pengembalian biaya politik adalah “bagi-bagi jabatan”. Ini mengakibatkan banyak
terjadi ketidaksesuaian antara pejabat dengan jabatannya. Ini harus ditutup dengan memperketat peraturan
pola promosi jabatan dan persyaratan pemilihan pejabat daerah. Dengan
pengetatan tersebut maka jabatan sebagai instrumen pengembalian biaya politik
bisa ditiadakan.
Dalam pemilukada, terjadi jor-joran spanduk, stiker, baliho, poster yang
pada intinya adalah untuk memperkenalkan seseorang sebagai calon kepala daerah.
Banyak pihak berkesimpulan bahwa dengan cara seperti ini tidak membuat rakyat
mengenal sang calon kepala daerah. Ini dikarenakan alat publikasi seperti
spanduk, stiker, baliho, poster hanya memperkenalkan gambar, nama, titel, dan
sedikit kalimat politik. Apalagi masyarakat daerah adalah bukan masyarakat
informatif. Bisa dibayangkan dengan alat pengenal seperti baliho dll tersebut
hanyalah berfungsi untuk memeriahkan pemilukada saja. Sedangkan fungsi
informatifnya kurang tersampaikan. Untuk ini perlu dipikirkan metode pengenalan
calon yang lebih efektif efisien dan hemat biaya. Ada baiknya pengenalan calon
ini diserahkan kepada KPUD saja. KPUD memasang baliho besar berisi semua
gambar, nama dan motto calon. Kemudian untuk lebih mengenal cang calon lebih mendalam
lagi maka KPUD memfasilitasi brosur 2 halaman penuh dari masing-masing calon yang
berisi latar belakang, pendidikan, organisasi, pekerjaan dan visi misi yang
semuanya diuraikan secara naratif. Brosur tersebut dibagikan kepada semua
pemilih bersamaan dengan masa kampanye atau pada saat pembagian undangan
pencontrengan. Keberadaan brosur akan memberi kesempatan kepada pemilih untuk
mengenal dan membanding-bandingkan antar calon kepala daerah.
Keberadaan tim sukses dan relawan juga merupakan sumber pengeluaran
tersendiri yang menelan biaya besar. Keberadaan mereka sebenarnya bisa
diminimalisir apabila pemilukada menerapkan sistem elektronik voting /
e-voting. Dengan e-voting maka saksi – saksi di TPS tidak diperlukan lagi. Yang
diperlukan hanya seorang pakar IT untuk mengaudit hasil pemungutan suara metode
e-voting tersebut. Selain keberadaan saksi – saksi dari tiap calon, keberadaan
kertas suara dan kotak suara serta tinta sudah tidak diperlukan lagi. Hanya
saja e-voting menimbulkan pembiayaan baru berupa perangkat keras dan perangkat
lunak e-voting. Namun perangkat tersebut bisa dipakai bergantian antar daerah
bila perlu antar propinsi sehingga pembiayaannya bisa diseimbangkan.
Satu lagi yang menjadi titik lemah pemilukada adalah keberadaan Panwas yang
tidak punya ruang gerak yang luas akibat dari keterbatasan anggaran dan
personil yang dimilikinya. Anggaran Panwas perlu diperbanyak karena Panwas
harus merekrut person yang selama ini menjadi beban biaya tinggi bagi para
calon kepala daerah. Hampir semua tokoh masyarakat dan tokoh agama menjadi tim
sukses dan uang makan mereka tentu tidak bisa disamakan dengan tim sukses
biasa. Apabila Panwas merekrut mereka sejak dini dengan imbalan yang memadai
maka pembiayaan politik calon kepala daerah menjadi berkurang.
Dengan uraian di atas, apakah masih akan ada yang berani mengeluarkan biaya
milyaran, belasan milyar atau puluhan milyar hanya untuk sebuah kursi kepala
daerah ?
Salam reformasi
Rahmad Daulay
28 Juni 2010.
* *
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar